Bagaimana Jika Susi Pudjiastuti Menjadi Menteri Pertahanan
Keberanian dan nyali besar ternyata bukan sesuatu yang dapat dipelajari di bangku sekolah, perguruan silat, atau lembaga-lembaga pendidikan militer. Sifat dan sikap berani itu anugerah atau bawaan lahir, dan mungkin pula karena ditempa oleh pengalaman hidup. Kesimpulan ini dibuat oleh penulis ketika menyaksikan dan mendengar sendiri beberapa peristiwa dan berita yang terjadi akhir-akhir ini di negeri kita.
Banyak hal yang mencengangkan dan tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Seperti misalnya dalam pembentukan anggota Kabinet Indonesia Maju 2019 - 2024, Presiden Jokowi secara mengejutkan--meski tidak terkejut-kejut banget sih--menunjuk seorang militer berpangkat jenderal untuk menjadi menteri agama.
Polemik pun ramai, sebab semua orang menduga bahwa posisi itu pasti jatuh ke orang-orang NU atau Muhammadiyah, atau sosok yang punya ilmu agama yang mumpuni. Terlebih di era digital ini, tokoh agama, ahli agama, kiai, ustadz, penceramah agama, banyak bermunculan. Maka seandainya ada yang menghitung, bisa saja tokoh agama malah lebih banyak jumlahnya dari umat? Ya, bisa saja.
Sekarang ini, seorang bupati atau walikota, bisa saja malah lebih banyak mengurusi agama ketimbang membangun perekonomian rakyat atau pengadaan infrastruktur. Seperti Bupati Bogor Ade Yasin, yang melarang warga meniup terompet di malam pergantian tahun, sebab itu bisa membuatmu mendadak menjadi kafir, dan terancam masuk neraka.
Tragis, padahal terompet kertas hasil karya masyarakat desa, bisa mendatangkan untung besar bagi masyarakat perajin dan penjual, di momen-momen pergantian tahun. Namun setelah ada larangan berbau agama, peluang masyarakat desa memperoleh uang halal di pergantian tahun pun hanya tinggal kenangan.
Di tengah polemik dan berbagai ketidakpuasan banyak pihak, seorang jenderal purnawirawan menjadi menteri agama. Tapi Jokowi bukan sembarang pilih dan asal tunjuk. Ada tugas besar dan berat yang ingin dipasrahkan kepada "menteri agama-agama" ini. Menguatnya fenomena sikap intoleran dan aksi kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu yang membawa-bawa agama, harus diberangus sebelum menjadi bencana bagi negeri ini.
Ingat, banyak negara tiba-tiba menjadi kacau dan rusuh, seperti di Irak, Suriah, dll., gara-gara ulah kelompok yang membawa-bawa agama dalam setiap aksi dan ambisi politiknya. Maka kelompok ini harus diberantas pelan-pelan. Maka langkah awal diharapkan dirintis oleh menteri agama yang punya keberanian menggertak, menggebuk dan menutup ruang pergerakan kelompok-kelompok ini.
Harapan sempat mencuat di hati banyak warga yang selama ini sudah resah dan muak oleh aksi gerombolan yang sejatinya hanya dibodoh-bodohi "pake" agama tersebut. Tapi apa yang terjadi, kita bagai melihat kerupuk yang awalnya gagah keras, yang begitu terkena kuah bakso: mengerut, melempem dan tak punya sosok lagi karena sudah hanyut, menyatu dengan kuah bakso. Sudah habis dia, tiada guna lagi.
Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh berita-berita tentang kembali maraknya kapal-kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia, untuk mencuri ikan. Tragis, peristiwa semacam ini padahal sudah sempat hilang ketika Susi Pudjiastuti, seorang wanita, ibu rumah tangga, yang karena sukses sebagai pengusaha, dipercaya oleh Kepala Negara menjadi menteri kelautan dan perikanan (2014 - 2019). Penunjukannya sebagai menteri oleh Jokowi, mungkin supaya pengalaman, kiprahnya, sosoknya menjadi patron bagi kaum wanita Indonesia untuk mandiri dan maju.
Dan Susi Pudjiastuti membayar kepercayaan itu dengan lebih. Dia bukan hanya sekadar menjadi menteri, namun ibaratnya dia juga bertindak layaknya panglima dan pendekar yang berani melawan, mengusir dan bila perlu menenggelamkan kapal-kapal asing yang kedapatan menggarong kekayaan laut kita, yang selama beberapa dekade membuat nelayan tradisional kita tidak kebagian apa-apa. Indonesia berdaulat atas lautannya yang luas.
Periode kedua Jokowi, tanpa disangka-sangka, Susi Pudjiastuti lengser, digantikan oleh seorang pria berlatar-belakang militer, Edhy Prabowo. Tak perlu waktu yang lama untuk memberikan penilaian atas politisi Partai Gerindra ini, yang di tahun-tahun politik sangat garang dan "nyinyir" menyerang segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan Jokowi beserta kebijakannya. Maklum, dia orang kepercayaan capres Prabowo Subianto, rival capres Jokowi.
Karena dalam politik tak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan sesaat, maka Edhy Prabowo diberikan kursi menteri kelautan dan perikanan, yang selama lima tahun terakhir dijabat Susi Pudjiastuti. Hanya dalam hitungan hari, sudah nyata perbedaan antara pejabat baru dan lama, terutama yang sempat nyaring adalah menyangkut lobster. Setelah melalui banyak perdebatan sengit, akhirnya kebijakan Susi Pudjiastuti jualah yang akhirnya diteruskan soal lobster dan pembubidayaannya itu.
Namun tak lama kemudian, rakyat Indonesia kembali jengkel dan mempertanyakan kapasitas dan kapabilitas Edhy. Perairan laut Natuna kembali diramaikan oleh kapal-kapal asing yang ingin kembali mencuri hasil laut kita. Sampai kini belum terdengar sikap menteri terkait soal kejadian ini. Yang pasti masyarakat langsung teringat Susi Pudjiastuti. Sayang sekali, beliau tidak punya wewenang lagi untuk menenggelamkan kapal-kapal maling itu. Banyak suara, agar Susi dikembalikan lagi ke posisinya yang dulu itu.
Belum reda soal kapal-kapal asing pencuri ikan yang berkeliaran di ZEE Indonesia, kita semakin dongkol dengan masuknya kapal perang Tiongkok ke perairan Natuna, seraya mengklaim kawasan yang kaya ikan itu milik mereka. Karena sudah menyangkut ranah pertahanan negara, kita mengharapkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengambil tindakan tegas dan keras terhadap Tiongkok. Namun sungguh di luar dugaan, beliau cuma mengatakan agar masalah itu diselesaikan dengan baik, sebab Tiongkok itu negara sahabat. "Kita cool saja. Kita santai kok," ujarnya di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2019.
Banyak pihak yang menyesalkan sikap santai Menhan ini. Mestinya kan harus tegas karena Tiongkok jelas telah melanggar kedaulatan RI. Kalau sudah begini, apa lagi yang kita harapkan? Ini soal keberanian dan ketegasan. Mosok kalah dengan Susi Pudjiastuti?
- Source : seword.com