Orthotanasia, Seorang Dokter di Jepang Menemani Pasien Mati Secara Bermartabat
Tokyo - Seorang pasien kanker yang divonis tak punya harapan hidup bertanya pada sang dokter. "Dok, bukankah Anda berjanji akan berada di samping tempat tidur saya saat saya ajal?"
Sang dokter, Fumio Yamazaki (75) namanya, mengangguk lembut. "Begitulah rencanaku... mungkin aku bisa melakukannya," katanya.
Untuk seorang dokter, jawaban Yamazaki terkesan ragu. Padahal, dia adalah dokter perawatan paliatif terkemuka Jepang. Ia menyantuni pasien dan keluarganya yang memiliki penyakit 'yang tak dapat disembuhkan'.
Yamazaki ingin menemani pasien menjalani hari-hari terakhirnya secara bermartabat atau Orthotanasia. Menurut wikipedia, Orthotanasia adalah semacam seni mempromosikan kematian yang manusiawi dan benar, tidak menyingkat kematian seperti eutanasia.
"Saya ingin pasien saya hidup bermartabat sampai akhir," ujarnya, seperti dikutip Japan Times, Jumat (11/8) malam.
Sekadar Anda tahu, Yamazaki juga adalah penderita kanker Stadium-4. Ia tidak tahu kapan hidupnya akan berakhir. Semula ia mengidap kanker usus pada musim panas 2018, pada Maret tahun berikutnya kanker telah merambah ke paru.
Menurutnya, pembedahan dan radioterapi bukanlah pilihan yang tepat. Koleganya menyarankan Yamazaki menerima obat antikanker.
Tetapi dia menolak karena khawatir efek sampingnya. Ia tidak mau mengakhiri pelayanan paliatifnya. Yamazaki lebih peduli nyawa sesama penderita kanker.
Sebagai dokter penderita kanker, dia memiliki perspektif baru bagaimana menghadapi kematian secara bermartabat. Di Jepang saat ini, satu dari tiga pasien kanker tak tertolong. Jumlah kematian diperkirakan akan menjadi 50 persen pada tahun 2025.
Fumio Yamazaki memulai karir dokter di sebuah rumah sakit pada tahun 1970-an. Ia menyaksikan secara langsung penderitaan dan keputusasaan orang yang sekarat karena kanker di bangsal rumah sakit.
Pada saat itu dianggap tabu seorang dokter di Jepang memberi tahu pasien tentang diagnosis yang sebenarnya. Akibatnya pasien kanker dibiarkan dalam kegelapan.
Meskipun tahu tidak ada harapan sembuh, para dokter sering melakukan terapi 'menyakiti pasien' dengan teknik resusitasi berlebihan, seperti pernapasan buatan dan pijat jantung.
Lewat buku terlarisnya, Byoin de Shinu to Iukoto (Mati di Bangsal Rumah Sakit) --terbit pada 1990-- Yamazaki mempertanyakan praktik di rumah sakit Jepang. Ia mengingatkan bahwa pasien pantas mendapatkan penghormatan tertinggi saat kematian mendekat, alih-alih diberi pengobatan yang menyakitkan.
Peduli terhadap perawatan medis akhir hayat yang ideal, sejak itu Yamazaki mulai terlibat dalam perawatan paliatif. Ia telah mendampingi lebih dari 2.500 orang di rumah atau di tempat lain pada saat kematian mereka.
Dia membaca buku dan mencoba metode pengobatan alternatif berdasarkan teori tertentu, seperti diet dan kombinasi obat, untuk menekan pertumbuhan kanker. Empat tahun sejak diagnosis stadium-4, kankernya tak lagi menyebar.
Setiap hari Yamazaki bekerja di sebuah rumah sakit di Tokyo, lalu melakukan kunjungan ke rumah pasien sesudahnya. Seorang diri, tanpa asisten atau sopir.
Sebagai penderita kanker, Yamazaki sekarang memiliki pandangan yang lebih serius tentang kematian. Itulah yang ia terapkan pada pasiennya.
"Membantu pasien menjalani sisa hari-hari mereka dengan cara yang menegaskan siapa mereka dan apa yang mereka alami," katanya.
Seorang warganet menulis di kolom komentar Japan Today bahwa seharusnya ilmu kedokteran memasukkan konsep Orthotanasia sebagai pilihan daripada eutanasia.
"Biarkan pasien memilih pengobatan tanpa memperpanjang penderitaan. Ini adalah pilihan yang benar-benar tidak dimiliki oleh banyak pasien di Jepang dan harus diubah," ujarnya.
- Source : www.publica-news.com