Blunder Big Data Luhut, Ditelanjangi oleh Pengamat dan Lembaga Survei
Sudah menjadi rahasia umum kalau Luhut itu merupakan salah satu menteri kepercayan Jokowi. Terbukti dengan banyaknya jabatan yang diamanahkan kepada-nya.
Mulai dari Menko Marves, Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Menko Polhukam, Plt Menteri ESDM, hingga Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional pernah dijabat oleh Luhut.
Kalau di zaman SBY dulu, si Luhut ini persis seperti Hatta Rajasa.
Banyak banget posisi menteri yang dia pegang. Mulai dari Menteri Perhubungan, Mensesneg, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian.
Bahkan sekarang, hubungan SBY dan Hatta Rajasa sudah bukan lagi dalam hal pekerjaan. Tapi keduanya sudah menjadi besan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa putra SBY, Ibas menikah dengan putri Hatta, Aliya.
Kembali ke Luhut tadi, Jokowi memberinya banyak jabatan penting itu bukan tanpa alasan.
Luhut ini bisa dibilang orang yang sarat akan prestasi.
Pertama, ia pernah meraih predikat lulusan terbaik AKMIL (dulu namanya AKABRI) pada 1970. Dan karena prestasinya itu, ia mendapat Adhi Makayasa.
Kedua, Luhut ini pernah menjadi lulusan terbaik berbagai macam kursus. Diantaranya kursus dasar kecabangan infanteri, kursus komando dan kursus lintas udara.
Di samping itu, ia juga pernah mengikuti pelatihan militer di unit-unit pasukan khusus terbaik dunia di berbagai negara. Di Inggris, Jerman, hingga di Amerika Serikat.
Dan jangan salah-salah, opung Luhut ini merupakan komandan pertama sekaligus pendiri Sat-81/Gultor Kopassus. Yang tercatat sebagai salah satu pasukan khusus penanggulangan teroris terbaik dunia.
Jadi kalau melihat rekam jejaknya itu, Rizal Ramli tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan lord Luhut.
Kecuali kalau soal ngebacot di Twitter, Rizal tiada tandingnya.
Nah, mungkin karena terlalu dipercaya ini juga membuat Luhut jadi jumawa serta ingin mempertahankan masa jabatan yang diamanahkan kepadanya itu.
Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba dia menyuarakan wacana penundaan Pemilu 2024.
Luhut pun sesumbar berdasarkan big data yang dia punya, ada 110 juta warganet Indonesia yang ingin Pemilu 2024 ditunda. Dan menurutnya lagi, di antara warga dunia maya yang menginginkan Pemilu ditunda itu adalah mayoritas pemilih Partai Demokrat, PDIP serta Gerindra.
Terlepas dari big data tersebut benar atau tidaknya, tapi kurang etis juga Luhut mengumbar wacana penundaan Pemilu itu. Karena orang yang ada di sekitar Jokowi, Parpol pengusungnya PDIP, bahkan Presiden Jokowi sendiri sudah mengatakan menolak penundaan Pemilu, dengan alasan inkonstitusional atau melanggar konstitusi.
Selain itu, akibat dari pernyataan Luhut tersebut membuat Indonesia jadi gaduh.
Banyak orang yang mikir Presiden Jokowi pengen nambah kekuasaan. Padahal Luhut yang pengen jadi Wapres. Hehehe
Lihat saja tanggal 11 April kemarin, ada sekelompok mahasiswa (BEM-SI) menggelar demo menolak penundaan Pemilu di depan gedung DPR. Hingga terjadi penganiayaan terhadap pegiat Medsos Ade Armando.
Itu tidak lepas dari isu perpanjangan masa jabatan presiden yang dihembuskan oleh Luhut dkk.
Terakhir, big data ala Luhut itu jadi blunder untuk dirinya sendiri.
Pertama, ia didesak oleh banyak pihak untuk membuka big data itu. Seperti yang dilakukan oleh mahasiswa UI.
Sampai-sampai mereka memplesetkan lagu anak-anak segala agar keinginannya dituruti oleh Luhut.
"Potong bebek angsa masak di kuali, mana big datanya kok malah kesini, kok punya nyali, gak tau diri, lalalalala,"
Hahaha
Yang lagu itu dinyanyikan oleh mahasiswa saat Luhut berkunjung ke salah satu kampus terbaik di Indonesia tersebut.
Ujung-ujungnya, karena didesak terus agar membuka big data, Luhut terpaksa pakai jurus ngeles dengan mengatakan, 'saya punya hak untuk tidak meng-share sama kalian'.
Begitupun dengan pakar keamanan siber, Pratama Persadha, menanyakan dari mana Luhut dapat data 110 juta itu?
Karena kalau dari Twitter (Medsos yang paling banyak anggotanya ngomongin politik), penggunanya yang aktif hanya 15 juta saja. Jauh dari angka 110 juta.
Sementara, berdasarkan hasil penelitian CISSReC, justru warga dunia maya yang kontra terhadap penundaan Pemilu lebih banyak dari yang pro yakni 83,6 persen. Sedangkan yang pro hanya 16,4 persen saja.
Pada media daring diketahui hanya 23,1 persen saja yang setuju Pemilu ditunda, sisanya tetap ingin Pemilu digelar pada 2024 mendatang.
Itu artinya apa?
Warga dunia maya dan sekitarnya lebih banyak menolak penundaan Pemilu daripada yang pro.
Ayo Luhut, baju big datanya mulai ditelanjangi oleh pakar. Hehehe
Untuk yang menelanjangi bagian bawahnya adalah lembaga survei.
Menurut hasil penelitian SMRC, mayoritas pemilih PDIP dan Golkar menolak perpanjangan masa jabatan presiden.
Bahkan tidak hanya pemilih kedua partai itu sih, hampir merata semua pemilih 9 partai yang masuk parlemen menolak perpanjangan masa jabatan presiden.
Berikut persentase pemilih Parpol yang menolak Pemilu 2024 ditunda tersebut,
PDIP 73 persen, Golkar 78 persen, PKB 75 persen, Gerindra 89 persen, Partai Demokrat 96 persen dan PAN 84 persen.
Gede banget angkanya.
Yang Ini sebenarnya sudah cukup untuk membantah klaim Luhut soal big datanya itu.
Memang sih kalau Jokowi lanjut jadi presiden lagi, Luhut bisa jad Wapres atau minimal jadi menteri lagi. Tapi gak segitunya juga keles.
Pakek main klaim 110 juta warganet setuju penundaan Pemilu tapi sumbernya gak jelas.
Terakhir, dia sendiri kan yang repot.
- Source : seword.com