www.zejournal.mobi
Minggu, 22 Desember 2024

Luhut : Tentang Penundaan Pemilu Dan Jokowi 3 Periode. Ismail Fahmi Malah Gagal Fokus!

Penulis : Erika Ebener | Editor : Anty | Senin, 14 Maret 2022 09:00

Mendengarkan Podcast Deddy Corbuzer dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan, saya menyobek beberapa kesimpulan yang cukup jelas dan bagus.

Pertama, Luhut menyatakan bahwa siapapun orang yang bicara, mau dia rakyat biasa, elit politik, atau anggota DPR sekalipun, tetap suara orang-orang itu SATU.

Jadi kalau ada ratusan orang berbicara, bukan berarti itu mewakili jutaan rakyat Indonesia. Itu hanya suara ratusan orang itu saja. Bahkan seorang influencer sekalipun, suaranya tetap hanya SATU suara. Kalau kemudian suara yang satu ini berhasil menggiring opini dan lain-lain, itu tidak kemudian menjadikan suara si influencer menjadi 100. Dan bersuara itu adalah bagian dari demokrasi. Jadi boleh-boleh saja. Namun di dunia ini tidak ada yang namanya kebebasan absolut, yang ada adalah kebebasan yang bertanggung jawab.

Kedua, soal masa jabatan 3 periode untuk Jokowi. Semua itu akan dikembalikan pada konstitusi. Jokowi sebagai presiden menyatakan, "Saya taat pada konstitusi". Perkataan Luhut sangat jelas ketika menjawab pertanyaan DC, "Itu memungkinkan tidak". Luhut menyatakan, "Soal mungkin dan tidak mungkin itu, nanti DPR dan MPR juga yang menetukan".

Perkataan Luhut ini cukup ampuh memangkas gosip-gosip yang ada tentang jabatan presiden 3 periode. Artinya, jika konstitusi menyatakan hanya 2 periode, maka tahun 2024 adalah akhir dari jabatan periode ke-2 Jokowi. Sementara adanya suara-suara yang menggemakan 3 periode jabatan presiden bagi Jokowi, itu ranahnya ada di DPR/MPR, apakah akan ditanggapi atau tidak. Jika DPR dan MPR menanggapi suara-suara ini dan membuat amandemend undang-undang konstitusi dengan menyatakan jabatan presiden menjadi 3 periode, lalu Jokowi dicalonkan kembali sebagai petahana oleh partai politik (dengan catatan Jokowi-nya juga menerima untuk dicalonkan), lalu yang tidak setuju mau apa? Menyalahkan Jokowi? Tentu tidak bisa. Yang pasti Konstitusi itu dibuat oleh DPR/MPR sebagai wakli dari rakyat. Jika DPR/MPR memutuskan merubah konstitusi masa jabatan presiden menjadi 3 periode, maka 3 periodelah masa jabatan presiden, terlepas dari siapapun presidennya. Namun, selama DPR/MPR tak meng-amandemen konstitusi RI tentang masa jabatan presiden, sebesar apapun teriakan tentang Jokowi 3 periode hanya gaung echo di pegunungan.

Poin ke-2 ini menarik bagi saya. Kenapa? Karena sepertinya banyak orang sudah lupa tentang "konstitusi RI" yang menjadi dasar pijakan bernegara. Sementara konstitusi RI ini dibuat dirancang dan disahkan oleh DPR/MPR. Dan ini cukup memangkas gosip-gosip di dunia maya tentang kemungkinan Jokowi 3 periode.

Ketiga, soal masalah penundaan Pemilu. Luhut menyatakan "100 triliun lebih biaya untuk Pemilihan Presiden dan Pilkada serentak".

Seratus triliun rupiah lebih itu uang semua loh!! Dan orang-orang yang menyuarakan soal penundaan pemilu, bisa dipastikan tak memasukkan faktor "100 triliun rupiah lebih" ini dalam omongannya. Soal adanya beberapa ketua partai yang katanya terpancing atau dipancing soal masalah penundaan Pemilu ini, lagi-lagi hanya suara beberapa orang. Ingat kawan, mau dia rakyat jelata ataupun ketua partai, suara mereka tetap hanya SATU suara.

Oh by the way, ada artikel yang mengangkat pendapat Ismail Fahmi yang katanya menelanjangi Luhut soal big data 110 juta netizen yang katanya ingin menunda Pemilu. Pertanyaan Ismail Fahmi adalah 'sumber klaim big data 110 juta netizen itu dari mana? Ini pertanyaan lucu bagi saya. Apa iya Luhut harus membuka nama sumber big data itu? Ya tidaklah! Sekalipun mengatas namakan transparansi dan lain-lain. Yang kedua, Luhut pada podcast DC, tidak pernah menyatakan "110 juta netizen". Dia hanya menyatakan "kita ini punya big data. Dari big data itu menggrab (menjaring) kira-kira 110 juta, MACAM-MACAM, facebook, segala macam-macam. Karena orang main twitter, twitter itu kira-kira 10 juta lah...". Ismail Fahmi sebagai Pakar Media Sosial gagal fokus. Seharusnya yang dia soroti adalah pernyataan Luhut yang menyatakan "Karena orang main twitter, twitter itu kira-kira 10 juta lah...". Kenapa? Karena Twitter adalah media sosial dan itu keahlian Ismail Fahmi. Kalau yang disoroti angka 110 juta-nya, Ismail Fahmi tidak mumpuni untuk menguliti kata "macam-macam" yang diucapkan Luhut. Apalagi Luhut menyatakan "kita ini punya big data. Dari big data itu MENGGRAB (menjaring) kira-kira 110 juta..., artinya 110 juta itu hanya bagian dari big data yang jumlahnya lebih besar dari 110 juta. Ke 110 juta data yang membicarakan isu penundaan Pemilu itu macam-macam, media sosialnya hanya facebook dan twitter yang disebutkan. Kok bisa yah kemudian Ismail Fahmi menyimpulkan bahwa angka 110 juta itu jumlah netizen? Ah, bikin ribut aja!

Ambil contoh, tulisan-tulisan di Seword atas isu penundaan Pemilu yang kemudian dikomentari pembacanya, masuk ga menjadi bagian dari data 110 juta itu? Apakah kemudian Seword itu media sosial? Bagaimana dengan televisi dan radio? Bagaimana dengan media cetak? Bagaimana dengan obrolan-obrolan di dunia nyata? Apakah semua itu masuk ke dalam "big data 110 juta"? Masuk lah!! Wong Luhut tidak menyatakan secara spesifik 110 juta itu netizen kok!


Berita Lainnya :

Anyway, overall Podcast DC dan Luhut Binsar Panjaitan cukup bagus dan tak perlu ditanggapi dengan kesinisan. Dan sobekan favorit saya adalah ketika luhut bicara bahwa Indonesia ini (negara ini) terlalu besar, saya ulang yah, terlalu besar, untuk berpihak pada kekuatan manapun. Indonesia juga tidak akan mungkin dijajah oleh negara manapun.

"Aku ngalamin loh. Waktu saya tahun 75, 76, 77, 78. Itu operasi TNI di Timtim, itu kita sempat hampir 50 ribu atau leih TNI yang dideploy di sana. Penduduknya cuma 500 ribu aja. Kita ga bisa bikin apa-apa tuh di Timor itu.... kalau penjajahan teritoral itu tidak mungkin terjadi.... Hari ini ga ada ceritalah". Di jaman sekarang, invasi pisik bukan lagi cara. Tapi invasi teknologi dan invasi ekonomi yang sangat mungkin akan terjadi pada negara besar ini. Dan bagi saya, kedua gaya baru invasi itu jauh lebih mengerikan dari invasi pisik. Karena kalau invasi fisik, yang menjadi korban adalah kita sendiri. Tapi invasi teknologi dan invasi ekonomi, yang menjadi korban adalah anak-anak dan bahkan cucu dan cicit kita.

Coba kalian luangkan barang 5 menit lalu tatap wajah anak-anak kalian yang masih bersekolah. Masukkan dulu ke dalam kepala kepesatan teknologi yang merabah dunia, kemudian tanya diri kalian masing-masing, "10 tahun dari sekarang, akan jadi apa anakku...". Mengerikan tidak? Namun saya berdo'a semoga bangsa ini diselamatkan dari berbagai macam invasi, menjadi bangsa yang lebih cerdas dan mandiri. Dan untuk Opung Luhut Binsar Panjaitan, "Thank you very much for your service to our country!!!"


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar