BPIH 2023 Naik Tajam, Dana Haji Dipakai Membangun IKN di Penajam?
Sejak pembatalan keberangkatan ibadah haji pada musim haji 2020 yang lalu, Dana Haji menjadi isu yang liar dan selalu dikaitkan dengan kebutuhan pembiayaan proyek-proyek pemerintah. Isu yang berkembang luas saat itu adalah kas BPKH kosong, karena uangnya habis dipakai Pemerintah untuk membangun infrastruktur.
BPKH yang dimaksud adalah Badan Pengelola Keuangan Haji yang diserahi tugas mengelola Keuangan Haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban Keuangan Haji, berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UU PKH).
Ketika pada musim haji 1442 H/2021 M pemerintah kembali membatalkan keberangkatan ibadah haji, isu tahun yang lalu diputar ulang, dan ditambah dengan isu baru, yaitu karena Pemerintah Indonesia belum membayar utang kepada Kerajaan Arab Saudi terkait penyelenggaraan haji pada tahun-tahun sebelumnya. Padahal fakta sebenarnya adalah Kerajaan Arab Saudi belum membuka pintu untuk calon jamaah haji yang datang dari berbagai belahan dunia, karena Pandemi Covid-19 masih marak dan akan berisiko besar terhadap semakin luasnya paparan SARS-Cov2 baik diantara para jamaah sendiri maupun semakin meningkatnya kasus positif di negara kaya minyak itu. Pada musim haji tahun itu, Kerajaan hanya mengizinkan kepada warga negara Arab sendiri, dan beberapa jamaah asing yang bermukim di Arab Saudi atau yang telah lama tinggal di sana karena alasan pekerjaan dan lainnya.
Kini, ketika Pemerintah ic Kementerian Agama berencana menaikkan BIPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) yang menjadi beban langsung calon jamaah dari Rp 39,8 juta menjadi Rp 69,2 juta, berbagai isu liar kembali disemburkan oleh pihak-pihak yang selalu menolak apapun kebijakan pemerintah. Selain diputarnya kembali kaset lama musim haji 2020 dan 2021, juga ditambah isu baru, kas BPKH tekor karena dipakai untuk membangun Ibukota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Kemungkaran yang dilontarkan oleh mereka yang dzalim menarasikan seolah-olah Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta agar calon jamaah mengikhlaskan dana haji digunakan untuk membiayai pembangunan IKN. Padahal kenaikan yang signifikan dan terasa memberatkan calon jamaah haji itu tidak ada hubungan sama sekali dengan pembangunan IKN, melainkan bertujuan menjaga sustainabilitas dana kelolaan haji agar tetap dapat memberikan nilai manfaat dana haji (NMDH) untuk meringankan beban para calon jamaah haji yang telah mendapatkan nomor antrean sesuai kuota dari Kerajaan Arab Saudi.
Menurut UU PKH, yang dimaksud dana haji adalah dana setoran BIPIH, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam. Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana haji, pada sistem akuntansi BPKH per akhir Desember 2022 kita dapat melihat saldo sebesar Rp 166,01 triliun, sebanyak Rp 10,04 triliun diantaranya berupa NMDH yang siap digunakan untuk meringankan setoran BIPIH para calon jamaah haji.
Nilai manfaat tersebut diperoleh dari hasil pengembangan dana haji, baik dari hasil investasi dalam Surat Berharga Syariah Negara (SBSN atau Sukuk) maupun penempatan dana di produk perbankan dengan prinsip syariah selama setahun terakhir. Ini berarti imbal hasil yang diperoleh dari investasi dan penempatan dana yang dilakukan BPKH berpotensi memperoleh imbal hasil (return)sebesar ± 6,41 persen per tahun.
Untuk musim haji 2023 ini, Pemerintah ic Kementerian Agama menghitung besaran BIPIH secara total sebesar Rp 98.893.909,11. Dimana Rp 69.193.734 atau 70 persen diantaranya akan menjadi beban langsung calon jamaah --selanjutnya disebut BIPIH, dan Rp 29.700.175,11 atau 30 persen bersumber dari NMDH, yaitu return dari kelolaan dana haji yang dipercayakan kepada BPKH. Hasil kalkulasi BPIH untuk musim haji tahun 1444 Hijriah ini selanjutnya disampaikan kepada DPR-RI untuk dilakukan pembahasan bersama sebelum nanti ditetapkan oleh Presiden.
Usul besaran BIPIH yang mencapai Rp 69,2 juta tersebut membuat gaduh baik di media online maupun di berbagai media sosial. Kegaduhan yang dilontarkan oleh pers maupun pegiat sosial politik pada umumnya berkisar pada kenaikan yang tajam dibandingkan dengan BIPIH tahun lalu yang hanya Rp 39,8 juta, atau mengalami kenaikan 73,9 persen. Kenaikan BIPIH yang dirasa sangat tajam tersebut menjadi amunisi untuk menyerang Pemerintah.
Sebenarnya, calon jamaah sadar, bahwa setiap tahun setoran BIPIH memang selalu meningkat. Namun, lazimnya kenaikan tersebut hanya berkisar 15 - 25 persen, yang masih dalam jangkauan kemampuan para calon jamaah haji.
Apakah naik tajamnya ongkos haji dari Indonesia tersebut menunjukkan mahalnya ongkos haji yang dihitung Pemerintah Indonesia? Ternyata tidak. Malaysia, negara jiran terdekat, ternyata ongkos hajinya tahun ini ditetapkan sebesar RM. 28.632 atau sebesar Rp 100.956.532 (kurs RM. 3.526) atau ± Rp 2 juta lebih mahal. Bahkan beberapa negara yang secara geografis letaknya tidak jauh dari Arab Saudi pun ongkos ibadah hajinya jauh lebih tinggi dari Indonesia. Misalnya: Qatar Rp 166 juta; Uni Emirat Arab Rp 162 juta; Tunisia Rp 149 juta; Lebanon Rp 135 juta; Maroko Rp 116 juta; Kuwait dan Bahrain Rp 114 juta. Bahkan Mesir juga menetapkan ongkos hajinya lebih mahal dari Indonesia, yaitu Rp 104 juta. Itu artinya, kalkulasi BPIH oleh Kementerian Agama RI dapat dinilai cukup wajar.
Penyebab BPIH dari seluruh belahan bumi menjadi sangat mahal dibandingkan sebelum Pandemi Covid-19 ternyata ada kaitannya dengan kebijakan Kerajaan Arab Saudi untuk meningkatkan kontribusi sektor pariwisata yang selama ini hanya 3,5 persen dari PDB menjadi 10 persen pada 2030. Arab Saudi yang saat ini telah dikunjungi lebih dari 40 juta wisatawan per tahun --termasuk jamaah haji dan umrah, ingin meningkatkan menjadi 100 juta kunjungan wisatawan pada tahun 2030 di 38 destinasi. Kebijakan baru Kerajaan Arab Saudi tersebut ingin menjadikan sektor wisata --termasuk wisata religi, menjadi sumber pendongkrak pertumbuhan ekonomi, ketika penghasilan dari sektor minyak bumi mulai menurun. Arab Saudi berkeyakinan akan mampu melayani jumlah jamaah haji dari yang selama ini 2 juta menjadi 3 juta per musim, dan jamaah umrah meningkat dari 20 juta menjadi 30 juta per tahun.
Kebijakan Kerajaan Arab Saudi tersebut diwujudkan sejak negara itu kembali membuka pintu kepada semua umat Islam dari seluruh dunia untuk menunaikan Rukun ke-5 Islam pada musim haji 2022 yang lalu, dibarengi dengan kenaikan biaya masyair yang dikenakan per jamaah, semula SR 1.800 atau Rp 7,22 juta menjadi SR 5.656 atau Rp 22,71 juta (kurs Rp 4.015). Kenaikan yang sangat signifikan.
Kenaikan biaya haji juga dipicu oleh dinaikannya tarif PPN yang semula sebesar 5 persen menjadi 15 persen. Kenaikan tarif pajak tersebut memicu naiknya biaya akomodasi, transportasi darat dan konsumsi yang merupakan komponen utama BPIH di luar biaya penerbangan.
Celakanya, keputusan dimaksud diberitahukan secara mendadak ke Pemerintah Indonesia, sesaat sebelum kloter pertama Jamaah Haji tahun 2022 akan diberangkatkan. Itu artinya, kenaikan biaya dimaksud tidak mungkin lagi dibebankan sebagai BIPIH, karena semua calon jamaah haji pada musim haji tahun yang lalu sudah melunasi kewajiban mereka. Sehingga dampak semua kenaikan yang mengakibatkan bertambahnya BPIH sebesar ± Rp 15 juta per jamaah dimaksud mau tidak mau dibebankan kepada BPKH, yang jumlah seluruhnya mencapai Rp 1,5 triliun.
Pembebanan tambahan sebesar Rp 1,5 triliun dimaksud mengubah komposisi BIPIH : NMDH yang semula 49 : 51 persen menjadi 41 : 59 persen. Komposisi ini sangat tidak sehat, dan tidak mencerminkan azas istitoah, yaitu ibadah haji hanya wajib bagi umat Islam yang memiliki kemampuan baik secara fisik maupun finansial.
Sejatinya, penetapan awal porsi BPIH 49 : 51 persen tersebut pun bukan langkah yang tepat secara matematika keuangan, karena dapat menggerus imbal hasil yang diperoleh dari investasi dan penempatan dana haji setiap tahunnya. Ketika itu pemerintah dan DPR-RI silau melihat saldo nilai manfaat yang jumlahnya hampir mencapai Rp 20 triliun. Padahal, saldo nilai manfaat sebesar itu karena terakumulasinya nilai manfaat selama 2 tahun yang tidak dibelanjakan akibat dibatalkannya pemberangkatan ibadah haji pada tahun 2020 dan 2021.
Kini, kebijakan yang sembrono tersebut harus dibayar mahal. Para pengamat menyerang rencana Kementerian Agama yang akan menaikkan BIPIH 2023 hampir sebesar 74 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Padahal, seperti yang diuraikan panjang-lebar di atas, seandainya pemberitahuan dinaikkannya biaya masyair sebesar Rp 15 juta per jamaah tersebut dilakukan sebelum terbitnya Keppres Nomor 5 Tahun 2022 tentang BPIH 2022 tanggal 29 April 2022, niscaya BIPIH 2022 akan ditetapkan sebesar ± Rp 55 juta. Itu artinya, BIPIH 2023 hanya naik sebesar ± 25 persen, masih dalam batas wajar.
Sekarang, posisi pemerintah memang sangat sulit mengambil keputusan, bak makan buah simalakama. Jika berkeras memberlakukan BPIH sebesar Rp 98,9 juta tersebut pembebanannya mengikuti skema 70 : 30, maka akan berbuah hujatan dari kanan-kiri, dan jika mengikuti aspirasi publik, yaitu tetap mempertahankan skema 41 : 59 seperti musim haji tahun lalu, maka NMDH akan habis, dan jumlah kelolaan dana haji semakin terdilusi. Akibatnya mulai musim haji 2028 dan tahun-tahun berikutnya calon jamaah haji terpaksa harus menyetor 100 persen atas BPIH yang ditetapkan. Kalau ini benar-benar terjadi, maka pasti menimbulkan ketidakadilan dalam sejarah penyelenggaraan ibadah haji di negara kita.
Semoga pemerintah dan DPR-RI berhasil merumuskan BPIH yang sebaik-baiknya dan seadil-adilnya buat bangsa kita, sehingga kegaduhan yang terjadi dapat diredam dengan penuh bijak.
- Source : www.publica-news.com