www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Penindasan Islam Uighur Buka Luka Lama Pembantaian 1975

Penulis : Nur Hidayati | Editor : Anty | Selasa, 13 April 2021 11:40

Islamofobia telah menyebar jauh melampaui minoritas Uighur yang dianiaya.

“Assalamualaikum,” Ma Zhijun menyapa Matthew Chitwood dari Foreign Policy dalam bahasa Arab, mengulurkan kedamaian dan senyum lebar. Chitwood bertemu dengan Ma di depan Masjid Agung Shadian, yang terbesar di barat daya China, pada akhir Ramadan 2019.

“Apakah Anda salah satu dari Muslim kami?” tanyanya ketika Chitwood membalas sapaannya, mungkin bingung dengan jenggotnya yang panjang tapi bahasa Arab yang buruk.

“Tidak,” jawabnya.

Hampir sepanjang sore, Ma membagikan kisah keimanannya dengan Chitwood sampai azan memanggilnya pergi.

Muslim di Shadian, kota kecil yang sekarang menjadi pinggiran kota Gejiu di Yunnan, berada di ujung tombak negara yang semakin paranoid dan Islamofobia, terutama karena sejarah kota itu sebagai titik konflik antara kekuatan Partai Komunis China dan keyakinan Islam.

Kebijakan agama China telah diperketat, termasuk peraturan baru yang diberlakukan pada 2018 dan 2020, dan komunitas Muslim di seluruh China merasakan tekanan. Muslim Uighur, yang berjumlah sekitar 12 juta, telah menghadapi kebijakan yang semakin represif di Xinjiang sejak konflik etnis tahun 2009.

Diperkirakan 1 juta orang telah ditempatkan di kamp penahanan untuk apa yang oleh negara sebut sebagai “pendidikan ulang” dan “pelatihan kontra-ekstrimisme”. Muslim Hui hampir sama banyaknya tetapi jarang menjadi berita utama karena integrasi yang lebih baik dengan mayoritas Han di China.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, sikap terhadap Hui telah berubah, dan beberapa komunitas takut akan dampaknya. Chitwood pergi ke Shadian untuk mencari tahu bagaimana penduduk mengalami perubahan dan ke mana arah kebijakan agama China.

Pada awal tahun 2000-an, pemerintah daerah memutuskan untuk mengubah Shadian menjadi tujuan wisata Islam bintang empat, dan masjid baru menjadi pusat visi mereka. Muslim lokal, yang dibanjiri dengan uang tunai dari pertambangan swasta dan ekonomi China yang berkembang pesat, menyumbang dengan murah hati sementara pemerintah menyediakan tanah dan menandatangani desain gaya Timur Tengah itu.

Pejabat partai, yang secara resmi ateis, bahkan mempelopori larangan alkohol untuk membuat Shadian lebih otentik Muslim. Daerah itu bukan satu-satunya: Ningxia, wilayah mayoritas Hui lainnya, mengubah dirinya menjadi pusat perdagangan daging halal. China haus akan investasi asing, dan itu termasuk uang Timur Tengah.

Itu adalah visi yang ironis mengingat sejarah kota tersebut, tulis Chitwood di Foreign Policy. Yunnan telah menjadi jantung Pemberontakan Panthay, pemberontakan Muslim di tahun 1850-an untuk mendirikan kesultanan independen yang efektif di China tenggara selama hampir 20 tahun. Kenangan lain lebih dekat dan lebih berdarah, yakni Insiden Shadian, masih bertahan dalam benak orang-orang.

Pada 1968, China berada di puncak kampanye untuk “menghancurkan Empat Elemen Lama”. Kampanye untuk menghancurkan elemen budaya China pra-Komunis (adat istiadat lama, budaya lama, kebiasaan lama, dan gagasan lama) dimainkan dengan semangat fanatisme dalam berbagai cara di seluruh China, meninggalkan gedung-gedung yang hancur dan buku-buku yang terbakar di belakangnya.

Di Shadian, masjid ditutup, ibadah salat dilarang, Alquran dibakar, dan sebagian besar kisah menyebutkan Han memaksa Hui makan daging babi. Satu masjid di Shadian diubah menjadi pusat propaganda tempat tim kerja Partai Komunis China tinggal, memelihara, dan menyembelih babi, dan diduga melemparkan tulangnya ke dalam sumur yang digunakan untuk wudhu sebelum salat.

Hui membentuk milisi dan mengirim permohonan kepada pemerintah provinsi dan pusat untuk kebebasan beragama yang seharusnya diberikan kepada warga di bawah konstitusi 1954 dari Republik Rakyat China. Namun petisi itu tidak diindahkan, dan pejabat partai melihat perlawanan itu sebagai pemberontakan.

Akhirnya, pada Juli 1975, Tentara Pembebasan Rakyat China diperintahkan untuk menumpas perlawanan Hui di Shadian. Pasukan mengepung kota itu sebelum fajar pada 29 Juli dan selama tujuh hari berikutnya mengebomnya dengan artileri berat. “Shadian tampak seperti tumpukan reruntuhan,” tulis Ma Ping, kepala Institut untuk Hui dan Studi Islam di Akademi Ilmu Sosial Ningxia, dikutip dari Foreign Policy.

“Terdapat potongan lengan dan kaki tercabik-cabik. Udara dipenuhi dengan bau dari mayat-mayat yang membusuk.” Beberapa perkiraan menunjukkan 1.500 orang tewas, hampir seperempat dari populasi Shadian pada saat itu.

Pada 1979, setelah Mao Zedong meninggal dan kekacauan Revolusi Kebudayaan mereda, pemimpin nasional yang berpikiran liberal Hu Yaobang, yang pernah dua kali dilengserkan, menulis surat yang membebaskan Shadian Hui dari kesalahan dan meluncurkan upaya reparasi. Tentara yang sama yang telah membuat Shadian menjadi puing-puing diperintahkan untuk kembali dan membangunnya kembali. Pada 2000-an, para pejabat menata kembali kota yang pernah terkenal dengan bentrokan agama sebagai situs pariwisata yang damai.

Namun ambisi Shadian untuk pariwisata lenyap pada Maret 2014. Delapan orang Uighur dari Xinjiang mempersenjatai diri dengan pisau, memasuki Stasiun Kereta Api Kunming, dan mulai menusuk penumpang tanpa pandang bulu. Tiga puluh satu orang tewas dan lebih dari 140 luka-luka sebelum empat penyerang ditembak dan satu ditangkap. Tiga lainnya melarikan diri ke Shadian, di mana mereka ditangkap dua hari kemudian.

Sebelum peristiwa ini, mayoritas Han di China memandang Muslim Hui dan Uighur berbeda. Banyak yang menganggap Hui sebagai teladan minoritas Muslim. “Hui memiliki pandangan seperti orang Han, berbicara seperti orang Han, dan telah berasimilasi dengan lebih baik ke dalam masyarakat yang berpusat pada Han,” kata Darren Byler, pakar teknopolitik Uighur, kepada Foreign Policy.

“Uighur terlihat asing, memiliki bahasa mereka sendiri, dan memiliki tanah air teritorial.” Menurut Byler, ancaman ganda separatisme dan terorisme Islamis adalah alasan mengapa kebijakan Partai Komunis China terhadap Uighur di Xinjiang begitu brutal.

Namun, setelah serangan Kunming, sentimen publik terhadap Muslim Hui mengeras, dan Shadian dicap sebagai pusat “ekstremisme etnoreligius”. Netizen mengeluhkan fakta bahwa aplikasi pengiriman makanan nasional menyediakan opsi halal dan tentang larangan alkohol di Shadian dan beberapa wilayah mayoritas Muslim lainnya.

Protes menentang penyiksaan di Uighur China terus mengalir deras, tapi Xi Jinping punya alasan sendiri kenapa mempertahankannya. (Foto: Business Insider)

“Orang China memiliki hak untuk minum alkohol,” tulis seorang netizen yang marah setelah serangan itu. Sementara itu, serangan Paris 2015 dan kekerasan ISIS di Suriah dan Irak memperkuat persepsi tentang ancaman Islam, sementara narasi Islamofobia yang dihasilkan oleh aktivis sayap kanan Barat dikirim kembali ke China melalui WeChat, tidak terhambat oleh sensor.

“Itu bukan Islam kami!” Ma Xiaoxiao memberitahu Chitwood dari Foreign Policy. “Kami bukan teroris. Orang-orang itu menggunakan Alquran dan agama untuk membela tindakan buruk mereka.” Sebagai orang yang beriman, Chitwood bersimpati: “Banyak orang beragama tidak membiarkan Alkitab memengaruhi apa yang ingin mereka percayai.”

Pembatasan telah diperketat di Shadian sejak kunjungan Chitwood. Menjelang Hari Nasional pada Oktober 2019, hijab dilarang di lembaga negara seperti sekolah dan universitas, rumah sakit, dan gedung pemerintah. Semua taman kanak-kanak yang sebagian besar pernah menyelenggarakan pendidikan agama telah ditutup, kecuali satu sekolah yang dikelola pemerintah. Aksara Arab sekarang dilarang.

“Tidak ada kebijakan di atas kertas, tetapi ada tekanan,” kata Ruslan Yusupov dari Universitas China Hong Kong kepada Foreign Policy. Yusupov melakukan penelitian lapangan selama dua tahun di Shadian dan telah merasakan lingkungan yang semakin ketat. “Tekanan terasa di atmosfer. Semua orang membicarakannya dan menghirupnya.”


Berita Lainnya :

Ini adalah tren di seluruh China, tidak hanya di Shadian. Bahkan aksara China untuk “halal” telah dilarang di beberapa provinsi. Beberapa vendor hanya mengubah tanda halal mereka dari logo hijau tradisional menjadi merah sebagai cara untuk menghindari larangan tersebut. Rambu-rambu jalan di Ningxia yang dulunya menggunakan bahasa Arab untuk membantu Muslim perantauan berbisnis di sana telah diganti. Bahkan sungai yang dinamai dengan nama salah satu istri Muhammad telah diganti namanya agar terdengar lebih seperti nama China.

Pada bulan Februari 2020, peraturan tambahan mulai berlaku untuk memperkuat peraturan agama yang direvisi dari tahun 2018. Tindakan Administratif baru untuk Kelompok Keagamaan menyatakan bahwa “organisasi keagamaan harus mendukung kepemimpinan Partai Komunis China,” atau PKC. Mereka juga harus “mematuhi Sinifikasi agama, mewujudkan nilai-nilai inti sosialisme, dan menjaga persatuan nasional, persatuan etnis, kerukunan umat beragama, dan stabilitas sosial.” Dalam praktiknya, organisasi keagamaan ada untuk mempromosikan PKC dan ideologinya, bukan agama.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar