www.zejournal.mobi
Rabu, 27 November 2024

Mengupas Bejibun Masalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Penulis : Fadhila Eka Ratnasari | Editor : Anty | Selasa, 19 Oktober 2021 09:00

Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tiba-tiba menjadi sorotan publik karena Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo menerbitkan aturan baru mengenai pembangunan proyek tersebut, CNN Indonesia melaporkan.

Aturan itu berbentuk Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta-Bandung. Melalui aturan itu, Jokowi mengubah beberapa kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan proyek yang kemungkinan besar menelan dana sampai Rp 114 triliun tersebut.

Dikutip dari CNN Indonesia, beberapa perubahannya mulai dari pimpinan konsorsium proyek dari semula PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau Wika menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI. Ada pula perubahan trase jalur pembangunan proyek dari Jakarta-Walini-Bandung menjadi Jakarta-Padalarang-Bandung. Selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan ditunjuk menjadi pimpinan komite percepatan proyek.

Yang kontroversial, pemerintah kemudian merestui penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui penyertaan modal negara (PMN) dan penjaminan pemerintah dalam proyek tersebut, padahal sebelumnya Jokowi pernah berjanji proyek tersebut tidak akan menggunakan dana negara.

Serangkaian perubahan aturan tersebut pun menimbulkan polemik dan mengangkat kembali berbagai masalah sebelumnya yang mewarnai pelaksanaan proyek tersebut hingga kian terbuka ke publik, CNN Indonesia mencatat.

1. Masalah pendanaan

Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menilai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebagai proyek yang mubazir, bahkan dia memperkirakan pendanaan proyek tersebut tidak akan balik modal hingga kiamat. 

“Sebentar lagi rakyat membayar kereta cepat. Barang kali nanti tiketnya Rp400.000 sekali jalan. Diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal,” tutur Faisal dalam dialog virtual pada Rabu (13/10), Bisnis.com melaporkan. 

Menurut Faisal Basri, pengerjaan infrastruktur tersebut hanya membuang anggaran negara, apalagi saat ini kabarnya akan didanai dari APBN setelah tersandung masalah pembengkakan biaya hingga Rp 27,74 triliun. 

Faisal menyebutkan bahwa sejak awal proyek kereta cepat itu sudah ditolak saat rapat koordinasi pada tingkat pemerintah berdasarkan kajian konsultan independen Boston Consulting Group. Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu Rini Soemarno berjuang agar proyek tersebut dapat berjalan. Alhasil, kesalahan langkah tersebut kini berimbas pada masyarakat yang harus ikut membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung melalui APBN. 

“Boston Consulting Group ini dibayar Bappenas bekerja untuk 2 minggu senilai US$150.000, menolak dua proposal (termasuk proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung), tetapi Rini Soemarno yang berjuang. Menteri lainnya banyak menolak, tapi Rini ngotot,” tukas Faisal Basri.

Bukan hanya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Bisnis.com mencatat, tetapi ada pula sejumlah proyek lain yang dinilai mubazir oleh Faisal, di antaranya Bandara Kertajati, Pelabuhan Kuala Tanjung, dan LRT Palembang.

“Ini proyek mubazir, enggakkaru-karuan. Kereta cepat sebentar lagi mau disuntik pakai APBN, Bandara Kertajati lebih baik jadi gudang ternak aja. Pelabuhan Kuala Tanjung dibangun dekat Belawan, kemudian LRT Palembang. Kesimpulannya kesalahan pucuk pimpinan,” tegas Faisal, dikutip dari Bisnis.com. 

Meski demikian, Faisal meyakini Indonesia saat ini akan mampu bertahan jauh lebih baik daripada selama krisis moneter 1998. “Saya yakin dunia usaha di Indonesia itu akan mampu survive, jauh lebih ringan dari krisis 1998. Setiap krisis, setiap badai, goncangan, setiap ancaman ada opportunity bagi kita semua juga untuk melakukan sesuatu yang baru dengan cara yang berbeda untuk menghasilkan yang lebih baik,” papar Faisal Basri, dilansir dari Bisnis.com.

Biaya pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dilaporkan membengkak hingga Rp 27,74 triliun dari estimasi awal sebesar US$6,07 miliar atau sekitar Rp 86,5 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS) menjadi US$8 miliar atau setara Rp 114,24 triliun. 

Faktanya, bila ditelisik ke belakang, jumlah tersebut ternyata menjadi lebih mahal dari tawaran Jepang. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sebenarnya pertama kali diajukan Jepang dengan nilai investasi mencapai US$6,2 miliar, dengan 75 persen dibiayai Jepang berupa pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 0,1 persen per tahun. 

Menurut laporan Bisnis.com, Jepang awalnya menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Serius dengan penawaran tersebut, JICA pun mengucurkan modal sebesar US$3,5 juta sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan. 

Sayangnya, di tengah proses lobi Jepang, China tiba-tiba muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama, lantas mendapat sambutan baik dari Menteri BUMN kala itu Rini Soemarno. 

Pemerintah Indonesia akhirnya memilih China untuk membangun proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Alasan utamanya, pihak Jepang enggan jika proyek dilaksanakan tanpa jaminan dari pemerintah, sementara China siap mengerjakan dengan skema business to business (B to B) tanpa perlu adanya jaminan dari pemerintah. 

Akhirnya, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung menjadi unsolicited karena tanpa keterlibatan pemerintah dalam hal pendanaan karena murni bisnis (B to B). Rini selanjutnya menandatangani nota kesepahaman kerja sama dengan Menteri Komisi Pembangunan Nasional dan Reformasi China Xu Shaoshi pada Maret 2016. 

China menawarkan nilai investasi yang lebih murah, sebesar US$5,5 miliar dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen kepemilikan lokal, yang berasal dari konsorsium BUMN. Dari estimasi investasi tersebut, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 2 persen per tahun. China bahkan menjamin pembangunan proyek tidak akan menguras dana APBN Indonesia. 

Penegasan semua biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung tanpa uang APBN kemudian disahkan pemerintah lewat penerbitan Perpres Nomor 107/2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Sayangnya, kini yang terjadi pembengkakan biaya pembangunan kereta cepat dari penghitungan awal. Target penyelesaiannya pun molor dari yang direncanakan pada 2019. 

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung akan menjadi beban bagi pemerintah lantaran jumlah utang negara akan meningkat secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Bhima, meski konsorsium menerbitkan utang dengan jaminan pemerintah sekalipun, akan terdapat risiko kontijensi yaitu yang muncul ketika BUMN mengalami tekanan dan berakibat pada neraca anggaran pemerintah. 

“Ini yang disebut sebagai debt trap atau jebakan utang. Awal masalah karena proyek yang disetujui secara feasibility study atau studi kelayakan bermasalah, biaya proyek membengkak, kemudian ujungnya pemerintah harus turun tangan,” papar Bhima kepada Bisnis.com pada Jumat (15/10). Bhima menilai, pada akhirnya pemerintah akan kesulitan melanjutkan proyek tersebut. 

Mega proyek kereta cepat itu pun akan menyita pajak masyarakat dan menambah utang baru. Bhima juga menyebut beban utang yang meningkat dapat membahayakan APBN dalam jangka panjang, terlebih lagi pada 2022 target defisit anggaran masih berada pada level 4,85 persen dari PDB. 

“Pemerintah juga harus menanggung pembayaran bunga utang Rp405 triliun. Apakah proyek kereta cepat ini sudah diperhitungkan dalam APBN 2022?” tanya Bhima, disadur dari Bisnis.com. 

Sebaliknya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga berdalih bahwa pembengkakan biaya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah hal wajar. Menurutnya, pandemi COVID-19 telah memicu terhambatnya proyek tersebut, yang akhirnya berdampak pada bengkaknya biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung. 

“Jadi hanya kemarin masalah corona ini membuat semuanya jadi terhambat, jadi jangan diplintir ini ada hal-hal lain dan sebagainya gitu ya. Dan pembengkakan-pembengkakan itu adalah hal yang wajar, namanya juga pembangunan awal dan memang itu membuat beberapa hal agak terhambat,” sergah Arya Sinulingga, dinukil dari Bisnis.com. 

Bukan itu saja, Arya Sinulingga dari Kementerian BUMN mengklaim bahwa pelaksanaan dan progres pembangunan proyek ini sebenarnya sudah bagus dengan capaian proyek hampir 80 persen. “Dengan capaian itu, pemerintah ingin pembangunan ini terus berlanjut dan jangan sampai tertunda. Karena itu, pemerintah memutuskan adanya pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung pakai APBN,” pungkasnya.

2. Proyek konstruksi lambat dan abai keselamatan

CNN Indonesia mencatat, pemerintah Indonesia pada awal pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung menargetkan proyek kelar pada 2019. Masalahnya, hingga kini proyek tersebut tak kunjung selesai. Perkembangan terbaru menyebutkan bahwa pemerintah menargetkan proyek baru kelar pada 2022 mendatang.

Selain masalah pendanaan dan konstruksi lambat, setelah proyek berjalan tiba-tiba Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengungkapkan bahwa proyek mengabaikan aspek keselamatan lantaran akan berdiri di lahan labil dan rawan yang rentan longsor, apalagi jika ingin dibangun untuk jembatan dan terowongan bawah tanah.

Tak hanya itu, menurut Basuki, desain proyek juga belum mengantongi sertifikasi dari Komisi Keamanan Jembatan dan Terowongan Jalan. 

Masalah lahan sempat dibenarkan oleh Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga belum lama ini. “Ada masalah lahan dan adanya perubahan desain karena kondisi geografis dan geologis,” ujar Arya, dikutip dari CNN Indonesia.

Anehnya, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung tetap diupayakan berjalan dengan berbagai cara, bahkan mencatat progres akhir pelaksanaan proyek sudah hampir 80 persen, meski tidak ada rincian secara jelas.

Masalah berikutnya, pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga berjalan serampangan, salah satunya terjadi pada pembangunan pilar LRT yang dikerjakan oleh PT KCIC di KM 3 800. 

Kementerian PUPR mengatakan pembangunan pilar dilakukan tanpa izin dan berpotensi membahayakan keselamatan pengguna jalan. Selain itu, PUPR juga menilai bahwa pengelolaan sistem drainase dari pengerjaan proyek tersebut buruk karena tidak dibangun sesuai kapasitas. Akibatnya, proyek telah menimbulkan genangan air pada Tol Jakarta-Cikampek dan kemacetan pada ruas jalan tol.

Oleh karena itu, Kementerian PUPR melalui Komite Keselamatan Konstruksi sempat menghentikan pelaksanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang dikerjakan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), melalui penerbitan surat bernomor BK.03.03-Komite k2/25 yang dikeluarkan pada 27 Februari 2020.


Berita Lainnya :

Masalah komunikasi

Terakhir, Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo menilai adanya masalah komunikasi antara Indonesia dan China yang kurang lancar karena pemimpin proyek Wijaya Karya (Wika) sebenarnya merupakan perusahaan konstruksi, bukan perusahaan di bidang kereta api. Namun, Wika kini justru didapuk membangun proyek kereta cepat.

“Selama ini komunikasi antara Indonesia dan China tidak smooth, sekarang bisa bayangkan lead proyek ini adalah Wijaya Karya, itu perusahaan konstruksi sekarang yang dibangun kereta api,” keluh Didiek, dilansir dari CNN Indonesia.

Masalah ini lantas membuat Jokowi mengubah kebijakannya dengan merombak konsorsium dan membentuk komite percepatan proyek.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar