Utang Pemerintah yang Sering Disalahpahami
Selama ini, utang Pemerintah sering disalahpahami dan menjadi isu politik yang sangat seksi. Beberapa pengamat ekonomi yang ditunggangi kepentingan politik berpandangan, bahwa jumlah utang Pemerintah yang kini sebesar Rp 7.554,14 triliun itu sudah sangat mengkhawatirkan dan akan membebani rakyat untuk membayarnya. Bahkan tidak sedikit yang menuduh Pemerintah dzalim karena telah menggadaikan negara untuk berutang. Di antara mereka, boleh jadi terdapat akademisi yang memiliki pengetahuan tentang Manajemen Keuangan Publik maupun Moneter, dan juga ilmu Ekonomi Makro, namun telah melacurkan keilmuannya demi ambisi politik melakukan provokasi dengan menanam kebencian rakyat kepada pemimpinnya.
Apakah pandangan mereka itu keliru? Jawabannya, boleh jadi tidak semuanya salah. Barangkali karena masih banyak masyarakat yang salah memahami hakikat utang Pemerintah sebenarnya, sehingga mudah dihasut
Utang sebenarnya hanyalah sebuah instrumen dalam kebijakan fiskal sebagai salah satu sumber pembiayaan ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit. Menurut ilmu Manajemen Keuangan Publik, jika Pemerintah memberlakukan kebijakan anggaran defisit, maka kesenjangan antara anggaran pendapatan dengan belanja, dapat ditambal dengan utang, mencetak uang, atau menjual/menyewakan aset negara. Dari ketiga sumber pembiayaan dimaksud, utang menjadi pilihan bijak, karena selain tidak berdampak inflatoir juga menambah cadangan devisa yang bermanfaat untuk menjaga stabilitas kurs valuta.
Mengapa negara kita berutang?
Berutang jangka panjang dengan bunga lunak, apalagi yang bersumber dari dalam negeri dalam bentuk valuta rupiah menjadi pilihan terbaik. Karena selain terhindar dari risiko perubahan global --seperti kebijakan tapering yang baru-baru ini dilakukan the FED, dapat mengakibatkan terjadinya capital outflow yang diikuti meningkatnya inflasi dan menimbulkan risiko kurs valuta asing. Pinjaman domestik yang berupa penerbitan Surat Utang Negara (SUN) juga menyajikan produk investasi jangka panjang kepada publik dengan imbal hasil yang menarik dan aman karena dijamin penuh oleh negara dalam Undang-undang. Utang dalam bentuk SBN, SBSN, dan ORI dalam denominasi rupiah, terbukti telah menggairahkan pasar uang di dalam negeri.
Selain itu, utang juga dapat menghindari opportunity loss, yaitu adanya kebutuhan memiliki atau membangun sesuatu sekarang yang sifatnya tidak dapat ditunda. Karena dengan menunda pembiayaan berpeluang mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit di masa yang akan datang.
Utang juga bermanfaat untuk meningkatkan financial leverage, menambah daya ungkit dari kemampuan keuangan yang dimiliki menjadi berkemampuan lebih besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang pada akhirnya menghilangkan kesenjangan indeks pembangunan manusia (IPM) di kawasan Asia Tenggara dan Asia.
Dengan financial leverage, APBN kita menjadi mampu membangun berbagai infrastruktur baik di sektor perhubungan, kelistrikan, air bersih, irigasi, sistem informasi dan komunikasi, yang berdampak luas terhadap turunnya biaya logistik, biaya produksi industri manufaktur menjadi lebih efisien, meningkatnya kesehatan dasar masyarakat, semakin kuatnya ketahanan pangan, ketahanan energi, dan juga ketahanan kesehatan yang semuanya bermuara pada semakin kokohnya sistem ketahanan nasional.
Utang yang berdenominasi USD dan CNY atau mata uang internasional lainnya, selain menambah cadangan devisa, memperbaiki neraca pembayaran, dan menjaga stabilitas kurs rupiah, juga menjamin kecukupan devisa untuk mengimpor mesin-mesin dan bahan baku industri yang berorientasi ekspor.
Menjalankan the Golden Rule kebijakan fiskal. Dimana setiap sen utang pemerintah harus diinvestasikan kedalam aset atau proyek-proyek yang bermanfaat lintas generasi sebagai heritage legacy.
Dengan menjalankan kaidah emas tersebut, diyakini akan mendorong tumbuhnya produksi nasional, serta meningkatkan pendapatan pajak, sehingga dari tahun ke tahun keseimbangan primer APBN menjadi positif, dan pada waktunya negara kita tidak membutuhkan utang baru.
Manfaat utang pemerintah seperti tersebut diatas, tidak akan datang dengan sendirinya, melainkan harus dikelola dengan bijak dan penuh kehati-hatian, serta tidak melampaui batas-batas yang ditetapkan dalam Undang-undang Keuangan Negara (UUKN). Defisit APBN yang sumber pembiayaannya berasal dari utang, tidak boleh melampaui 3 persen dari total anggaran yang dialokasikan setiap tahunnya. Begitu juga jumlah utang secara kumulatif diharamkan melampaui 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sebagai ilustrasi, defisit anggaran pada APBN 2023 ditetapkan sebesar 2,84 persen, dan total utang pemerintah secara akumulatif sampai akhir tahun 2022 mencapai 38,65 persen dari PDB. Dengan demikian sejauh ini utang pemerintah telah dikelola dengan apik, dan tidak melanggar batasan-batasan dalam UUKN dan peraturan perundangan lainnya.
Dari total utang pemerintah sampai akhir tahun 2022 sebesar Rp 7.554,14 triliun sebagaimana tersebut di atas, Rp 6.697,83 triliun (88,67 persen) merupakan utang domestik, berupa SBN berjangka 10 tahun yang menjadi acuan (benchmark) dengan yield 7,061 persen.
Posisi utang pada akhir tahun 2022 tersebut jika dibandingkan dengan posisi sebelum Pandemic Covid-19 tercatat sebesar Rp 4.779,28 triliun, berarti mengalami peningkatan sangat signifikan, yaitu sebesar Rp 2.774,86 atau 58 persen. Peningkatan ini dapat dimaklumi karena pada periode 2020 sampai akhir tahun 2022 dalam rangka penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional pemerintah banyak membeli obat-obatan, peralatan medis dan vaksin, serta menggelontorkan helicopter money berupa berbagai bentuk program perlindungan sosial dan dukungan ke dunia usaha baik berupa insentif pajak maupun subsidi bunga pinjaman, khususnya kepada UMKM.
Namun dari kenaikan utang sebesar Rp 2.774,86 tersebut, Rp 974,4 triliun diantaranya merupakan burden sharing dari Bank Indonesia (BI) yang membeli SBN di pasar perdana. Utang atas pembelian SBN oleh BI di pasar perdana dimaksud dicatat sebagai utang kolateral yang tidak ada kewajiban untuk membayar kembali. Pembelian SBN di pasar perdana tersebut dilakukan BI berdasarkan Perpu nomor 1 tahun 2020 jo UU nomor 2 tahun 2020 sebagai bentuk pembagian beban antara BI dan pemerintah untuk menangani Pandemic Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Pembagian beban dimaksud kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) I, II, dan III Menteri Keuangan dan Gubernur BI, masing-masing untuk tahun 2020, 2021, dan 2022.
Mekanisme burden sharing untuk menanggulangi Pandemic Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional dimaksud menjadi pelajaran berharga buat bangsa Indonesia dalam menghadapi kondisi krisis serupa yang mengancam stabilitas sistem keuangan di masa-masa yang akan datang. Kemudian kisah sukses tersebut dituangkan dalam Omnibus Law Sektor Keuangan (UU PPSK) yang telah diundangkan pada 15 Desember lalu. Dengan begitu, jika suatu ketika perekonomian negara terancam berbagai risiko baru di sektor keuangan seperti terjadinya pandemi, perubahan geopolitik, kemajuan teknologi dan perubahan iklim maupun dampak resesi global, pemerintah tidak gagap lagi, karena dengan UU PPSK telah menguatkan sistem keuangan negara kita dalam menghadapi berbagai skenario global.
Melihat gambaran utang pemerintah yang telah dikelola dengan bijak dan penuh kehati-hatian tersebut diatas, serta didukung seperangkat Undang-undang sebagai landasan hukum yang kuat, terbukti utang pemerintah memiliki banyak manfaat tidak hanya buat generasi sekarang melainkan juga buat generasi-generasi yang akan datang. Kiranya nyinyiran yang bernada sinis diatas berubah menjadi bernada optimis, dimana pemerintah justru dzalim jika tidak berutang untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa dan kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.
- Source : www.publica-news.com