Gaji Selangit Krisdayanti, Bukti Nyata Ketimpangan Kekayaan Indonesia
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Krisdayanti (KD) baru-baru ini mengungkapkan mendapat penghasilan ratusan juta rupiah setiap bulan sejak menjadi wakil rakyat, CNN Indonesia melaporkan. Hal ini ironis, mengingat masih banyak rakyat yang kesusahan dan kelaparan, serta membuktikan betapa besarnya ketimpangan kekayaan di Indonesia.
Dalam wawancara bersama politisi Partai Nasional Demokrat (NasDem) Akbar Faizal yang diunggah di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored pada Senin (13/9). KD mengaku mendapat gaji sebanyak dua kali dalam waktu berbeda setiap bulan dengan total 75 juta rupiah.
KD juga mengaku memperoleh sejumlah pendapatan di luar gaji dan tunjangan, yakni dana aspirasi sebesar 450 juta yang diberikan sebanyak lima kali dalam satu tahun.?
Usai menimbulkan kehebohan, KD lantas mengklarifikasi pernyataannya mengenai gaji ratusan anggota dewan, termasuk dana reses. “Dana reses bukanlah merupakan bagian dari pendapatan pribadi anggota DPR,” tutur KD dalam keterangan tertulisnya pada Rabu (15/9), dikutip dari CNN Indonesia.
KD menegaskan, dana reses untuk kegiatan reses di daerah pemilihan masing-masing, yang wajib digunakan anggota DPR dalam menjalankan tugas-tugasnya menyerap aspirasi rakyat.
Semua itu tampak timpang ketika dibandingkan dengan masyarakat Indonesia kebanyakan.
Dalam dua dekade terakhir, kesenjangan antara orang terkaya dan kelompok masyarakat lainnya di Indonesia telah tumbuh lebih cepat daripada di negara lain di Asia Tenggara, menurut laporan Oxfam.org. Saat ini Indonesia menjadi negara keenam dengan ketidaksetaraan kekayaan terbesar di dunia, dengan empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan lebih dari total gabungan seratus juta orang termiskin.
Laporan Bank Dunia pada 2015 menyuarakan bahaya ketimpangan di ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini. Meskipun Indonesia berhasil mengurangi lebih dari separuh tingkat kemiskinan sejak 1999, ketidaksetaraan telah meningkat pesat sejak 2000. Sebanyak 20 persen orang terkaya telah menikmati pertumbuhan pendapatan dan konsumsi yang jauh lebih tinggi daripada kelompok masyarakat lain.
Indonesia saat ini merupakan ekonomi dengan pertumbuhan tercepat ketiga di antara ekonomi negara-negara G20. Statistik terbaru menunjukkan, produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia meningkat rata-rata sebesar 4 persen per tahun dari 2000 hingga 2017. Angkanya hanya diungguli oleh China dan India, yang masing-masing tumbuh sebesar 9 persen dan 5,5 persen per tahun.
Namun, menurut analisis Yenny Tjoe di The Conversation, pertumbuhan ekonomi Indonesia memicu peningkatan ketimpangan. Hal itu tercermin dalam indeks Gini negara ini, yang mengukur ketimpangan dari 0 (kesetaraan sempurna) hingga 100 (ketidaksetaraan sempurna).
Perkiraan Bank Dunia mengungkapkan, indeks Gini Indonesia meningkat menjadi 39,0 pada 2017 dari 30,0 pada 1990-an.
Laporan Bank Dunia 2015 menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20 persen orang terkaya dari seluruh populasi. Kelompok itu diidentifikasi sebagai kelas konsumen. Orang-orang tersebut memperoleh pendapatan bersih tahunan lebih dari US$3.600 dan menghabiskan sekitar US$10 hingga US$100 per hari untuk kebutuhan makanan, transportasi, dan perlengkapan rumah tangga.
Saat ini, setidaknya 70 juta orang di Indonesia termasuk dalam kelompok kelas konsumen tersebut. Pada 2030 kelompok itu diproyeksikan akan mencapai 135 juta orang, mewakili setengah dari populasi.
Sejak 2000, kelas konsumen Indonesia telah tumbuh lebih kuat berkat pertumbuhan ekonomi selama dua dekade. Pendapatan mereka meningkat karena tingginya kualifikasi pendidikan memenuhi peningkatan permintaan akan pekerja terampil. Orang-orang tersebut memainkan peran penting dalam meningkatkan pendapatan pajak serta menuntut respons, transparansi, dan akuntabilitas yang lebih besar.
Di sisi lain, masyarakat dengan pendidikan rendah kesulitan mendapatkan pekerjaan yang produktif. Mereka terjebak dalam pekerjaan bergaji rendah. Sebagian orang miskin bekerja di pertanian dan perikanan di pedesaan, sementara lainnya bekerja di sektor informal seperti kuli panggul di pasar, pekerja rumah tangga, supir, dll. Ketika upah mereka meningkat lebih lambat daripada kelompok pekerja terampil, kesenjangan pendapatan pun kian melebar, menurut analisis Yenny Tjoe di The Conversation.
Ketimpangan yang semakin meningkat melemahkan perjuangan melawan kemiskinan, mengerem pertumbuhan ekonomi, dan mengancam kohesi sosial, Oxfam.org mencatat.
Apa artinya semua ini bagi masyarakat biasa? Warga termiskin, terutama perempuan, menerima upah rendah dan menghadapi ketidakamanan di tempat kerja. Akses ke infrastruktur seperti listrik atau jalan yang layak tidak setara antara daerah pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Sebagian besar lahan dimiliki oleh perusahaan besar, sementara orang-orang kaya mendapatkan semua keuntungan. Demikian pula, sistem pendidikan kekurangan dana dan ada hambatan untuk akses setara, berarti banyak pekerja Indonesia tidak dapat mengakses pekerjaan dengan keterampilan dan upah yang lebih tinggi.
Saat ini diyakini secara luas bahwa distribusi pendapatan di Indonesia kian menunjukkan banyak ketimpangan sejak jatuhnya Orde Baru Soeharto pada 1998. Bahkan para komentator yang memuji perkembangan ekonomi positif pasca-Soeharto menerima bahwa kelompok berpenghasilan atas Indonesia hidup lebih sejahtera daripada masyarakat termiskin. Pihak lain yang lebih skeptis terhadap pencapaian reformasi berpendapat bahwa ketidaksetaraan sekarang jauh lebih buruk daripada di era Soeharto.
Dilansir dari East Asia Forum, dalam laporan Indonesia's Rising Divide tahun 2016, Bank Dunia mengklaim bahwa “ketidaksetaraan di Indonesia meningkat pesat”, sementara peningkatan koefisien Gini Indonesia dari pengeluaran konsumsi rumah tangga pada 1990-an dan 2000-an adalah salah satu yang tertinggi di Asia. Data pangsa total kekayaan yang dimiliki oleh satu persen rumah tangga teratas yang diterbitkan oleh Credit Suisse menunjukkan Indonesia memiliki salah satu distribusi paling timpang di dunia pada 2014, hanya dilampaui oleh Thailand dan Rusia.
Para analis lain cenderung mendukung temuan itu. Misalnya, laporan OXFAM yang diterbitkan pada 2017 berpendapat bahwa kesenjangan antara orang-orang terkaya dan kelompok masyarakat lainnya di Indonesia meningkat lebih cepat daripada negara lain di Asia Tenggara.
Belajar cegah ketimpangan dari pemerintah China yang bagikan kekayaan
Di China, raksasa teknologi Alibaba akan menginvestasikan 100 miliar yuan atau US$15,5 miliar selama beberapa tahun ke depan ke dalam inisiatif “kemakmuran bersama”. Perusahaan itu bergabung dengan berbagai raksasa teknologi lainnya yang mengucurkan uang ke dalam program Presiden China Xi Jinping untuk membagikan kekayaan, CNBC melaporkan.
Pada Agustus 2021, Xi menyerukan “penyesuaian pendapatan berlebihan yang masuk akal” dan mendorong kelompok dan bisnis berpenghasilan tinggi untuk “lebih banyak mengembalikan manfaat ke masyarakat”.?
Seruan untuk kemakmuran bersama, yakni dorongan pemerintah China menuju kekayaan moderat untuk semua orang, telah dijawab oleh beragam raksasa teknologi yang kini di bawah pengawasan ketat regulasi pemerintah.
Bulan lalu, Tencent mengatakan akan melipatgandakan uang yang dikeluarkannya untuk inisiatif sosial menjadi 100 miliar yuan. Sejumlah CEO dan pendiri perusahaan teknologi terkenal China lainnya juga telah menjanjikan sejumlah pendanaan.
- Source : www.matamatapolitik.com