www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Sistem Perbudakan Seks ISIS: Tragis, Sadis, dan Sistematis

Penulis : Fadhila Eka Ratnasari | Editor : Anty | Jumat, 16 April 2021 11:43

ISIS telah dikenal menerapkan sistem perbudakan. Jika dibedah lebih lanjut, fenomena budak seks oleh kelompok terorisme ISIS sangat tragis dan sadis, dan entah bagaimana sistematis.

Tahun 2019 menandai tahun kelima pembantaian di Sinjar, Irak utara, yang dilakukan oleh organisasi teroris ISIS atau dikenal lokal sebagai Daesh. Seiring berlalunya waktu, masalah ini terasa kian jauh bagi pihak yang tidak terpengaruh secara langsung. Namun, bagi orang-orang setempat yang menunggu anggota keluarga mereka kembali, momennya menandai penantian mereka ketika para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan akhirnya diadili.

Jumlah serangan di Sinjar sangat mengejutkan. Lebih dari enam ribu kaum Yazidi, kebanyakan anak-anak dan perempuan, diculik pada awal Agustus 2014. Ratusan pria dieksekusi begitu ditangkap. Setengah dari mereka yang diculik dilaporkan masih hilang, dicurigai terjerat dalam operasi perdagangan manusia atau bahkan telah terbunuh.

Penculikan, perbudakan, dan kekerasan seksual bukanlah hal yang aneh dalam konflik, tetapi skala dan elemen struktural dari ekonomi perbudakan ISIS adalah hal yang sama sekali baru. Luasnya persebaran perbudakan dan kekerasan seksual di seluruh wilayah pendudukan ISIS di Irak dan Suriah selama bertahun-tahun sangat mengejutkan, belum lagi betapa dalam kejahatan itu meresap dalam budaya sosial-ekonomi organisasi dan bahkan keluarga di ISIS, termasuk para pejuang asing.

Meskipun ISIS bukan satu-satunya kelompok teroris modern yang memanfaatkan perbudakan (contoh lain baru-baru ini adalah penculikan dan desakan perbudakan seksual terhadap sekelompok siswi Chibok oleh Boko Haram di Nigeria pada 2014), Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford dalam analisis mereka di International Centre for Counter-Terrorism The Hague berpendapat bahwa hubungan yang terjadi antara perbudakan dan ISIS sangat penting sampai tingkat yang belum pernah terlihat sebelumnya.

Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford menegaskan, kejahatan ISIS itu perlu dipahami sebagai taktik baru yang memiliki kapasitas berbahaya untuk ditiru dalam kemunculan kembali ISIS dan kelompok lain. Ada kebutuhan besar untuk menilai bagaimana kejahatan itu mendukung aktor teroris dalam beberapa aspek, mulai dari operasi yang mendukung secara finansial hingga memastikan generasi pejuang baru dan menunjukkan kendali atas rakyat.

Dengan pemahaman itu, Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford menegaskan di International Centre for Counter-Terrorism The Hague, pendekatan anti-perbudakan dapat lebih siap untuk disertakan dalam kontraterorisme dan manajemen konflik. Itu kelak akan memberi kesempatan untuk menghadapi ancaman dari organisasi serupa di masa depan, yang mempekerjakan perbudakan dan kekerasan seksual berbasis gender sebagai bagian dari upaya perebutan wilayah mereka.

Perbudakan modern adalah masalah terkait dalam kontraterorisme maupun tanggapan kemanusiaan yang berupaya membantu pembebasan warga sipil dari wilayah yang dikuasai pemberontak. Oleh karena itu, Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford dalam esai mereka membagikan rincian tentang kontrol regulasi internal spesifik yang memungkinkan ekonomi perbudakan beroperasi dengan cara yang sebagian besar “berhasil” di wilayah yang diduduki ISIS dari tahun 2014-2017.

Keduanya berharap temuan mereka dapat mendorong dialog dan perspektif baru tentang kolaborasi penelitian lebih lanjut, serta pembentukan kebijakan kontraterorisme. Berikut ini sekilas pemaparan tentang bagaimana ISIS menetapkan kondisi perbudakan sebagai modus operandi serta bagaimana perbudakan memengaruhi sektor operasional, keuangan, dan sosial kelompok tersebut.

KEBERLANJUTAN PERBUDAKAN ISIS

Dari laporan investigasi PBB dan analisis akademis, Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford dalam analisisnya di International Centre for Counter-Terrorism The Hague telah membuat penilaian tentang bagaimana ISIS menangkap dan menahan orang-orang Yazidi mulai Agustus 2014 dan seterusnya.

Segera setelah pasukan ISIS menyerbu Kota Sinjar, Kursi, Snuny, dan Kocho (dan sekitarnya) di Irak, warga sipil dipisahkan berdasarkan jenis kelamin dan usia. ISIS memberi mereka dua pilihan: pindah agama atau mati. Namun, pertobatan ke agama Islam tidak menyelamatkan orang-orang itu dari perbudakan. Mereka juga tidak diberi pilihan jizyah (suatu bentuk pembayaran pajak perlindungan untuk nyawa mereka), yang menurut berbagai laporan diberikan oleh ISIS kepada orang-orang Kristen.

Pemisahan sesuai dengan jenis kelamin dan usia itu menentukan “kegunaan” mereka dan membawa mereka ke jalan yang ditawan untuk menopang ISIS. Kota-kota dibersihkan dan warga sipil “diproses” ke dalam perbudakan dalam waktu 72 jam setelah serangan, mengungkapkan betapa singkatnya peluang untuk mencegah kekejaman dalam skala itu ketika aktor teroris memasuki wilayah dengan populasi yang rentan atau berisiko.

Gambar 1 ilustrasi analisis Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford di International Centre for Counter-Terrorism The Hague menunjukkan logistik pemindahan budak dari tempat penangkapan utama, serta tempat pendaftaran, pasar budak, pusat pelatihan untuk anak laki-laki, dan tempat penahanan berbasis militer.

Gambar 1: Peta penyerangan Sinjar dan logistik pengiriman penduduk sipil ke lokasi perbudakan. (Gambar: ICCT)

Begitu penduduk sipil dibagi, mereka dieksekusi (seringkali di hadapan anggota keluarga) atau dipindahkan ke tempat penampungan sekunder. Beberapa transfer biasanya melibatkan lintas negara. Sejumlah area utama untuk pendaftaran adalah: Baj, Tal Afar, dan Mosul di Irak serta Tel Hamis, Al Haul, dan Raqqa di Suriah. Di Mosul, tiga tempat penahanan dilaporkan memfasilitasi transfer ke Suriah: penjara Badoush, Galaxy Wedding Hall, dan rumah-rumah di lingkungan Al-Arabiya.

Pasar budak (dikenal sebagai souk sabaya oleh anggota ISIS) berada di Al Shaddi, Raqqa, dan Tadmur di Suriah. Selain itu, tawanan perempuan ditahan di beberapa situs penahanan berbasis militer di Al Shaddi, Tel Hamis, Al Mayadin, Dayr Az-zawr, Manbij, Al Bab, Al Tabqah, dan Tadmur di Suriah. Anak laki-laki diangkut ke pusat pelatihan di kota-kota di Suriah dan Irak: Tel Abyad, Suluk, Al Bab, Al Tabqah, Raqqa, Baj, Tal Afar, dan Mosul.

Lebih jauh lagi, analisis Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford di International Centre for Counter-Terrorism The Hague telah menemukan pemrosesan sistematis atas kondisi perbudakan.

Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford menyebut proses itu sebagai Divisi dan Regulasi Kerangka Kerja Perbudakan. Meskipun tidak lengkap, proses itu merinci kondisi perbudakan yang dipaksakan oleh ISIS terhadap para tawanan Yazidi segera setelah pembantaian Sinjar.

Dalam proses itu, gender adalah faktor terkuat yang menentukan kondisi perbudakan bagi para tawanan. Mayoritas laki-laki dieksekusi setelah ditangkap, jika tidak diberikan atau tidak menerima “opsi” konversi paksa ke agama Islam. Meskipun beberapa dikonversi, ada laporan tentang mereka yang dieksekusi di lokasi yang ditentukan kemudian. Beberapa diangkut dan dipaksa menggali parit maupun bekerja sebagai buruh tani.

Remaja laki-laki menjadi sasaran pemeriksaan fisik untuk pubertas, sementara bocah lelaki yang berusia di atas 12 tahun dianggap laki-laki dewasa. Bocah laki-laki yang lebih muda dari as tahun, tetapi kira-kira berusia delapan atau lebih, dipindahkan ke kamp pelatihan. Pelatihan itu berlangsung selama beberapa pekan, di mana para instruktur berusaha untuk menghapus identitas Yazidi melalui indoktrinasi.

Anak-anak itu diganti namanya dan menjalani pelatihan yang mencakup penggunaan senjata tajam, materi kekerasan, dan dipaksa berdiri di pos pemeriksaan. Anak-anak tersebut melaporkan bahwa mereka menjadi sasaran pemerkosaan dan cambuk jika mereka tidak mematuhi instruksi. Meski situasi ini mengerikan, tahanan perempuan mengalami kondisi perbudakan yang lebih brutal secara sistematis, sehingga beberapa gadis lebih memilih bunuh diri daripada terus ditahan.

Perempuan dan anak gadis dipisahkan berdasarkan status perkawinan dan tanggungan. Masih banyak yang harus diselidiki terkait kondisi demografis itu. Namun, ada aspek menonjol berikut ini dalam penahanan mereka. Status perawan dianggap berbahaya karena “nilai” yang dibawanya, sehingga beberapa perempuan mengklaim anak-anak di dekatnya sebagai anak mereka. Perempuan yang berusia lebih tua biasanya dieksekusi.

Perempuan yang sudah menikah tanpa anak maupun perempuan serta anak gadis yang belum menikah akan diangkut ke kota-kota besar untuk didaftarkan dan ditahan. Transportasi itu bahkan terjadi melintasi perbatasan negara Irak dan Suriah. Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford dalam analisisnya di International Centre for Counter-Terrorism The Hague telah mengidentifikasi situs pendaftaran di Raqqa, Tel Hamis, dan Al-Haul di Suriah serta Tal Afar dan Mosul di Irak.

Para perempuan dan anak gadis dibagi untuk mengantisipasi tiga kegunaan: dijual di pasar, diberikan sebagai “hadiah” bagi militan ISIS, dan ditahan di “rumah peristirahatan” untuk para militan. Mereka dipaksa untuk pindah agama dan mendapatkan nomor registrasi. Mereka yang ditahan di “rumah peristirahatan” dihadapkan pada ancaman eksekusi jika menolak memberikan layanan seks. Di lokasi itu, tubuh mereka akan diatur dengan pemakaian kontrasepsi dan aborsi paksa.

MASALAH YANG TERSISA USAI “KEKALAHAN” ISIS

Sebuah kamp pengungsi di Suriah tahun lalu yang menampung para wanita dan anak-anak yang telah melarikan diri dari bekas wilayah yang pernah dikuasai ISIS. (Foto: The New York Times/Ivor Prickett)

Sejak pembebasan fisik wilayah dari ISIS, beberapa masalah telah bermunculan ketika ekonomi perbudakan kekhalifahan ISIS runtuh. Masalah-masalah tersebut menunjukkan bagaimana perbudakan menimbulkan dampak multi-generasi dan membangun penghalang jangka panjang untuk membangun komunitas yang tangguh.

Perempuan yang selamat dari perbudakan seksual mengalami depresi dan gangguan stres pascatrauma. Ratusan anak yang lahir dari para ibu Yazidi dan ayah militan ISIS akhirnya terperangkap dalam situasi yang berbahaya karena adanya stigma pemerkosaan, karena anak tersebut diperlakukan dan dilabeli sebagai Muslim/non-Yazidi melalui ayahnya. Label itu didukung oleh Undang-Undang Kartu Identitas Irak 2015 yang menetapkan bahwa seorang anak adalah Muslim jika orang tuanya Muslim, terlepas dari apakah terjadi pemerkosaan.

Oleh karena itu, para ibu terpaksa harus memilih antara menelantarkan anak-anak mereka untuk kembali ke keluarga mereka dan komunitas Yazidi. Hal itu menyebabkan beberapa anak tetap bersama para penculik ISIS dan bahkan dipaksa masuk ke kamp-kamp penahanan. Laporan terbaru menunjukkan perubahan oleh Dewan Spiritual Tertinggi Yazidi pada April 2019 yang membahas stigma pemerkosaan dan menerima anak yang lahir dari ayah ISIS.

Ada juga celah dalam mengejar keadilan bagi para penyintas Yazidi, karena kejahatan kekerasan dan perbudakan seksual tidak dipertimbangkan dalam dakwaan terorisme domestik. Kesenjangan itu membuat aktivis terkemuka seperti korban Yazidi Nadia Murad dan pengacara hak asasi manusia Amal Clooney tidak punya pilihan selain mendesak proses lambat pembentukan Pengadilan Kriminal Internasional untuk mengadili anggota ISIS, termasuk pejuang asing, atas kejahatan perang dan genosida.

Permintaan ini diperumit oleh masalah negara-negara lokasi kejahatan terjadi yang tidak menjadi anggota pengadilan pidana internasional, selain juga masalah ketika negara-negara itu tidak mengejar bentuk pengadilan kejahatan perang mereka sendiri yang akan mencakup kekerasan seksual dan perbudakan.

Perlu dicatat bahwa persidangan baru-baru ini di Jerman melibatkan penuntutan terhadap seorang perempuan warga negara Jerman atas kejahatan terhadap kemanusiaan (termasuk perdagangan manusia) ketika dia terlibat dengan ISIS, dilaporkan sebagai penuntutan pertama anggota ISIS atas kejahatan yang dilakukan terhadap kaum Yazidi.

IMPLIKASI KEBIJAKAN DI MASA DEPAN

Penangkapan dan perilisan dokumen dari dalam wilayah yang dikuasai ISIS adalah kesempatan unik untuk memahami bagaimana ISIS memanfaatkan perbudakan sebagai taktik kekuasaan, berkontribusi pada pertumbuhan politik, militer, dan keuangan organisasi. Dokumen-dokumen tersebut mengungkapkan bahwa tindakan perbudakan telah menjadi bagian dari modus operandi kelompok tersebut.

Hal itu mendorong Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford dalam analisisnya di International Centre for Counter-Terrorism The Hague untuk menilai celah kritis dalam mengenali dan menafsirkan langkah-langkah penting pencegahan anti-budak.

Dengan kata lain, meski patut dipuji bahwa tindakan kemanusiaan dengan cepat dilakukan untuk menyelamatkan komunitas Yazidi yang terperangkap di pegunungan Sinjar setelah serangan, diasumsikan bahwa populasi minoritas sedang menghadapi genosida sekaligus dipaksa ke dalam kondisi perbudakan yang berpotensi memperkuat musuh.


Berita Lainnya :

Oleh karena itu, Nadia Al-Dayel dan Andrew Mumford menyimpulkan di International Centre for Counter-Terrorism The Hague, komunitas kebijakan kontraterorisme perlu memastikan bahwa langkah-langkah penanggulangan perbudakan sepenuhnya tertanam dalam wacana, perencanaan, dan pelaksanaan kebijakan mereka.

Upayanya kini tidak lagi cukup hanya memikirkan pembebasan fisik wilayah dari kelompok-kelompok seperti ISIS. Pembebasan manusia korban perbudakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut juga harus menjadi prioritas kontraterorisme.

Ketika pembentukan banyak wilayah ISIS di seluruh dunia berkembang biak dan kemunculan kembali ISIS di beberapa bagian Suriah utara terus berlanjut, yang difasilitasi oleh pembobolan penjara baru-baru ini setelah penarikan Amerika Serikat dari wilayah Kurdi kapasitas bagi lebih banyak komunitas untuk dipaksa dipaksa ke dalam perbudakan tampak sangat besar dan berbahaya.

Ke mana ISIS pergi, perbudakan pasti mengikuti, menimbulkan kondisi kekerasan seksual dan politik yang tumpang tindih, menunjukkan bahwa budak ISIS juga merupakan korban terorisme.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar