Alasan NU dan Banser Bereaksi pada Permadi Arya (Abu Janda) dan Diam Dengan Tengku Zul Dkk?
Media sosial kini mulai ramai kembali dengan isu SARA. Setelah penghina Pigai diproses, giliran Permadi yang kena getahnya. Ini bermula dengan serangan Permadi ke cuitan-cuitan Tengku Zul. Sebagai umat beragama yang baik, tentunya kita merasa sangat ternista jika ajaran agama kita disejajarkan dengan tindakan asusila. Cuitan-cuitan Tengku Zul soal kamar dan jumlah bidadari di surga memang sangat meresahkan. Tapi justru di sinilah kita sebagai umat beragama sejati diuji.
Sebagaimana yang diceritakan Nabi bahwa umat islam teroecah menjadi 72 golongan dan hanya satu yang masuk surga. Begitu juga umat agama lain yang juga terpecah-pecah dalam berbagai aliran. Islam di Indonesia paling menonjol dalam jumlah aliran karena merupakan agama mayoritas. Lain halnya di negara dengan mayoritas agama lain, pasti akan dijumpai berbagai aliran. Umat hindu di India misalnya, terpecah dari segi ritual antara pemakan vegetarian dan non vegetarian. Hal-hal seperti ini yang harus dipahami sebelum mempelajari kasus Abu Janda.
Rasanya saya dan beberapa penulis seword yang selalu aktif menulis mengenai politik juga sering membahas Tengku Zul. Tapi tentu saja di ranah politik. Kalau ranag agama beda lagi, karena kita paham aliran islamnya memang jauh beda. Mungkin kalau mau agak kasar, kita menyebutnya aliran sesat. Namun, apa daya nyatanya orang seperti dia malah masuk dalam pengurus MUI pusat. Apa proses seleksinya memang terbuka untuk aliran yang beragam? Maka jangan heran kalau sampai ada islam keras seperti ISIS. Bahkan oleh penganut islam di dunia sama-sama mengutuk tindakannya yang jauh dari nilai islam.
Kembali lagi soal cuitan meresahkan Tengku Zul soal bidadari, kamar dan sebagainya. Kalau dianggap meresahkan dan menista agama, Permadi sebaiknya meminta nasihat para sesepuh yang lebih jaub ilmu agamanya. Jadi, mengcounter isu agama dengan basis kelimuan yang kuat dan sumber yang mumpuni. Beda lagi kalau soal politik yang areanya lebih bebas. Dalam hal mengcounter ucapan Tengku Zul, sertakan saja ayat kitab suci, hadis atau ajaran ulama yang membantah soal jumlah bidadari dan kamar, jangan melebar hingga malah menghina islam.
Inilah yang tidak dilakukan oleh Abu Janda, padahal keilmuan agamanya masih terbilang awam. Kita lihat saat acara ILC saja ia kehabisan kata-kata melawan Felix Siauw. Tentu saja Felix yang mualaf, tapi hafal hadis dan belajar ilmu versi HTI lebih terlihat matang ketimbang Permadi yang malah lebih giat ke arah medsos. Basis Banser tak lantas menjadikannya sebagai orang pandai beragama. Ini juga yang harus dipahami umat beragama lain. Kalau soal membantah ajaran HTI, FPI dan sebagainya, rasanya beberapa artikel juga sudah mencoba sebisa mungkin memgcounter dnegan rujukan dalil islam yang benar.
Tidak boleh kita beradu argumen soal agama dengan kapasitas orang awam. Kalau memang tak paham, menahan diri dan diam lebih baik. Bukan hanya soal isu ini sensitif, tapi salah-salau kita membela agama dengan menginjak agama sendiri. Kalau dicermati apa bedanya Tengku Zul dan Permadi. Yang satu menyebut bidadari dan kamar surga dengan begitu rendah. Yang satu malah menyebut islam itu arogan. Ini ibarat kalau kata orang "mensucikan diri dengan kotoran". Bukannya bersih malah jadi ternoda.
Saran untuk Permadi, sebaiknya kalau belum soal agama lebih baik diam dan membantah isu lain yang dia mengerti. Misal soal kenaikan pajak pulsa, token listrik yang ternyata adalah pemberitaan ngawur media. Nyatanya sebenarnya tak ada kenaikan, malah penyederhanaan aturan. Kita sama-sama belajar di sini. Tujuan awal kita sama-sama mengawal keutuhan NKRI. Isu apapun harus digali mendalam beserta perbanyak referensi. Larena terkadang sumber media mainstreampun bisa jadi menyesatkan, apalagi beropini pribadi. Terutama menyangkut isu sensitif yang ternyata kita belum paham secara mendalam.
Untuk para pendukung Jokowi yang lain, inilah alasan mengapa NU dan Banser berhak marah. Mereka yang memiliki visi dan misi tersendiri dalam organisasinya, tentu tak boleh diacak-acak versi Permadi. Silahkan berkomentar soal politik, tapi soal agama, lebih baik bertanya dulu kepada ahlinya. Kecuali kalau Permadi bertanya, tapi diacuhkan, baru mereka yang salah. Meski akhirnya Permadi sudah klarifikasi, tapi ucapan yang keluar dan ngawur tak dapat ditarik. Dampaknya, tentu agama kita jadi bulan-bulanan.
Tak kurang yang mendukung pendapatnya dengan mangatakan islam arogan dan menghina kebiasaan nenek moyang. Padahal islam yang disebarkan walisongo sangat menjunjung kebudayaan setempat. Sampai ada cerita sunan kalijogo ikut adu ayam agar penduduk setempat mau diajak sholat. Ada lagi tembang jawa berjudul "lir ilir" yang merupakan ciptaannya. Lalu arogannya di mana? Justru awal mula islam datang dengan sangat santun dan berbaur. Kalau islam datang dengan kekerasan dan arogan, pasti akan ditolak penganut hindu dan budha.
Islam tumbuh besar hingga jadi mayoritas justru karena dibawa dengan rahmatan lil alamin. Tapi, sayangnya hal ini malah dirusak oleh aliran-aliran baru. Kalau dijaman sekarang kita kenal dengan aliran HTI, FPI, jamaah islamiyah dan sebagainya. Namun, kita juga sudhmah diberi tahu bahwa seperti agama nasrani, islam juga terpecah menjadi banyak golongan. Biarlah soal aliran-aliran ini menjadi ranah pemerintah, terutana menteri agama. Baru kalau mereka melanggar peraturan atau menghina NKRI, kita tampail menyerang. Di luar itu, lebih baik berhati-hati lagi kalau mau komentar soal agama.
- Source : seword.com