Ada Mafia, Puluhan Tahun Lahan Milik Negara Dikuasai Swasta
Sri Mulyani benar-benar telah membelalakkan mata dan benak kita. Aset negara yang seharusnya dikawal dengan sangat ekstra ketat, ternyata sangat mudah dimanipulasi, pantas saja para pencoleng, khususnya mereka yang mengetahui cara menyiasati kelemahan pengelolaannya, begitu leluasa memindahkan aset itu menjadi ajang mengeruk keuntungan.
Jika gambaran yang disampaikan Menkeu ini benar tidak mendapat prioritas di masa pemerintahan sebelumnya, bagaimana mungkin hal itu berlangsung berpuluh-puluh tahun, dan baru dibenahi ketika Presiden telah berganti tujuh kali? Lebih-lebih ketika kita menyadari, ada masa kekuasaan seseorang yang luar biasa lamanya, namun tak terbersit untuk memikirkan upaya menyelamatkan aset negara.
Keanehan yang keterlaluan ini sangat di luar nalar kita, karena kita yakini di setiap posisi jabatan pemerintahan, kita tidak kekurangan sosok yang menguasai kemampuan administrasi, baik keuangan, logistik maupun agraria. Lalu ke manakah mereka memusatkan perhatian, minimal ketika mereka menduduki posisi penting. Dan bagaimanakah sistem pengawasan dan evaluasi dilakukan, baik oleh pihak legislatif maupun di internal setiap instansi?
Kita bisa bayangkan, jika yang dibahas oleh SM hanya terbatas pada wilayah Jakarta, bukan mustahil di seluruh daerah, persoalannya jauh lebih parah dan menimbulkan kerugian maha besar bagi negara. Boleh saja kita mengalami kesulitan dalam hal penggunaan teknologi informasi, namun hal itu bukanlah alasan sehingga pengadministrasian aset negara, tidak dikelola dengan seksama.
Sebagai gambaran, contoh yang mudah dilihat pada pengelolaan dan pencatatan tanah milik BUMN, misalnya PT KAI, yang banyak dikuasai oleh masyarakat, ketika jalur kereta api di satu daerah tidak lagi beroperasi. Dalam banyak kasus, persoalan pengalihan aset sebagaimana tanah milik KAI, harus diakui sangat rumit diselesaikan. Taruhlah karena para pemilik ilegal sudah terlanjur mendirikan bangunan di atas tanah yang bukan haknya.
Jika sudah berjalan terlalu jauh, bukan hal sederhana untuk menelusuri setiap jengkal tanah dan bangunan milik negara, agar bisa kembali dikuasai oleh instansi yang seharusnya melakukan pengelolaan. Atau jangan-jangan, aset negara yang telah berpindah tangan itu, melibatkan oknum di setiap waktu dan tempat.
Bukan rahasia lagi, banyak bangunan milik negara, karena sebab tertentu, secara fisik dikuasai oleh para keluarga pensiunan, yang sebenarnya tidak berhak menempati tanah atau bangunan milik negara. Barangkali kondisi ini menuntut keberanian dan ketekunan pihak yang memiliki otoritas, agar melakukan upaya ekstra untuk mengembalikan seluruh aset itu.
Bisa jadi Menkeu sudah merasa mulai frustasi dan kelabakan, karena sejak dilakukan pembenahan berdasarkan sistem pengelolaan aset versi terakhir, niscaya aset-aset yang hilang itu sudah terlanjur disamarkan, dan jumlah serta nilainya sedemikian besar, termasuk dari sisi historis maupun administrasinya.
Sering kita dapatkan berita, para pejabat di satu daerah mengalihkan penguasaan lahan milik negara menjadi milik individu. Dan lucunya di era Orde Baru kita pun kerap membaca berita tentang tukar guling sejumlah lahan, dan tentu saja kita membacanya sebagai menguntungkan salah satu pihak, karena hampir setiap transaksi tukar guling itu, ada kepentingan yang diprioritaskan, di sisi lain negara menjadi pihak yang dirugikan.
Barangkali masih beruntung jika tukar guling sebidang tanah masih menuntut kedua belah pihak saling memberi kompensasi, namun tak jarang pula pengalihan lahan menjadi milik seseorang, tidak dibarengi pemilik barunya memberikan kompensasi memadai. Inilah barangkali yang menjadi keberatan Menkeu, karena sebagaimana pernyataannya, banyak aset yang disebabkan proses kerjasama, namun berkembang menjadi pengalihan kepemilikan.
Bukan hanya persoalan pengalihan kepemilikan yang harus menjadi perhatian kita. Kalaupun sebidang tanah itu masih berstatus milik negara, namun dalam penguasaannya berada di bawah seseorang, tetap saja si penguasa lahan mendapatkan keuntungan. Maka hal yang perlu ditertibkan, selain penguasaan lahan itu berada di pihak pemerintah, perlu dipastikan juga, ada kompensasi yang memadai, ketika lahan tersebut dikelola bukan oleh pemerintah.
Banyak kasus, pihak swasta atau non pemerintah yang menguasai tanah negara, bukan hanya mereka bebas dari pajak, lebih jauh mereka tidak memberikan keuntungan sepeser pun bagi negara, dalam hal ini para penguasa lahan itu diibaratkan benalu yang memberatkan negara, sementara keuntungan dari penguasaannya, mereka dapatkan secara turun temurun.
Kita berharap pemerintah tak jemu-jemu membenahi pencatatan aset negara, selagi rekaman administratifnya masih bisa dilacak, karena teknologi informasi sudah memungkinkan untuk itu. Dan kalaupun lahan itu dialihkan menjadi milik individu atau swasta, di belakangnya ada prosedur yang tidak merugikan bagi negara.
- Source : seword.com