Cara Komplotan Penjarah Anggaran Beraksi
Beberapa teman penulis termasuk Kakak Pembina telah menuliskan tentang mafia kesehatan dibalik wabah. Juru bicara Meneg BUMN, Arya Sinulingga juga mengatakan ada mafia dibidang kesehatan yg membuat bahan baku obat dan sebagian besar alat kesehatan harus diimport .
Dalam tulisan terdahulu yang berjudul Bung Adian, Anda Keliru, penulis telah memaparkan apa yang menjadi masalah di Industri Nasional Alat Pelindung Diri (APD) dan usulannya terutama dalam rangka menghadapi wabah sekarang ini.
Penulis merasa bingung kalau disebut ada mafia kesehatan. Dulu waktu pemerintah masih melakukan mekanisme tender untuk pengadaan alat kesehatan di Kemenkes, memang jelas terlihat ada kartel yang menguasai tender. Pemenangnya nggak jauh- jauh dari yang itu itu saja walaupun menggunakan bendera yang berbeda-beda.
Tetapi sejak Ibu Nila Moeloek menjadi Menteri Kesehatan, mekanisme tender dihapuskan. Semua pengadaan alat kesehatan baik di pusat maupun daerah sudah menggunakan e-katalog, melalui LKPP.
Dengan segala ketidak- sempurnaan LKPP, praktis kartel tender terhapus. Anggaran pemerintah juga dapat dihemat.
Bahwa didalam situasi wabah ini ada pihak- pihak yang ingin memanfaatkan untuk mengeruk keuntungan, memang jelas terlihat
Banyaknya barang barang yang berhubungan dengan wabah, yang masuk melalui jalur BNPB juga menjadi pertanyaan besar bagi penulis.
Saat ini ada begitu banyak jenis Rapid Test yang dijual bebas, yang masuk melalui jalur BNPB dan diimport oleh pengimport yang bukan anggota Gakeslab (Gabungan Pengusaha Alat Kesehatan dan Laboratorium). Apakah ini berarti bahwa Gakeslab dan ratusan anggotanya tidak mampu menyediakan alat-alat kesehatan yang diperlukan pemerintah untuk keperluan wabah ini atau ada oknum yang memanfaatkan momen wabah ini dengan bekerjasama dengan oknum di BNPB untuk mengeruk keuntungan bagi pribadinya, sementara barang yang dimasukkan secara kwalitas juga sangatlah dipertanyakan.
Bukankah hal ini akan merugikan rakyat dan dapat menyebabkan program pemerintah untuk memerangi wabah ini menjadi terganggu.
Sebagai contoh. Andai penulis membeli rapid test yang dijual bebas tersebut dan melakukan tes sendiri. Ternyata hasilnya negatif. Pastinya penulis gembira dan melakukan aktifitas biasa sebagai orang sehat. Padahal hasil tes negatif tersebut sebetulnya salah karena mutu rapid tes yang penulis beli jauh dibawah standar. Bukankah penulis menjadi pembawa virus yang berpotensi menularkan kepada orang lain?
Nah itu berbicara soal barang habis pakai ( BHP ). Bagaimana alur pengadaan barang barang yang diperlukan untuk merawat pasien di rumah sakit atau sering disebut barang modal (Modality).
Prinsipnya adalah ada permintaan pengguna (user) dan kemudian ada yang melakukan pembelian .
Pengguna disini adalah dokter yang melakukan penanganan pasien .
Ketua PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia) , Dr. Erlina Burhan SpP, yang sempat wira wiri di TV Nasional dan menyalahkan pemerintah yang sudah membeli rapid test serta mengusulkan untuk melakukan tes masal dengan PCR, adalah bisa dikategorikan sebagai user .
Begitu pula dengan keperluan Ventilator yang biasanya sangat dibutuhkan oleh seorang SpP, untuk merawat pasien yg kekurangan oksigen (Hypoksia).
Pada RDP dan RDPU Komisi IX DPR RI dengan Kemenkes dan juga Gakeslab serta Aspaki (Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia), yang berlangsung pada 8 April 2020, para anggota DPR juga mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam pengadaan alat-alat kesehatan yang dibutuhkan dalam menghadapi wabah termasuk penyediaan Ventilator.
Semoga ini bukan suatu rangkaian dari rencana pembelian Ventilator dalam jumlah banyak dengan alasan untuk penanganan wabah.
penulis sering mendengar tarif 8% untuk anggota dewan agar suatu proyek bisa di gol kan.
Keberadaan Brigjen (Purn) Dr. Alex Ginting SpP, staf khusus kemenkes di bidang pembiayaan, tentunya memudahkan pihak kemenkes untuk bisa mengerti keinginan user yang pada umumnya adalah spesialis paru juga, sehingga Kemenkes kemungkinan akan memenuhi permintaan user yg juga dipertanyakan anggota DPR RI.
Usulan Terapi Plasma Konvalesen dari dokter yang berkompeten dibidangnya, tentunya bisa memporak- porandakan rencana dari komplotan yang sudah disusun rapi untuk "menyerap" anggaran kesehatan yang sudah dialokasikan oleh pemerintah.
Andai Terapi Plasma terbukti berhasil dan menjadi pilihan utama untuk mengobati pasien dengan kondisi berat atau yang sudah kritis, maka bukan Ventilator yang harus dibeli tetapi hanya alat Plasmapheresis yang secara harga hanya setengah atau kurang dari harga ventilator, dan jumlah yang diperlukan juga tidak banyak. 1 alat Plasmapheresis bisa dipakai untuk puluhan bahkan ratusan pasien ...sementara Ventilator harus tersedia untuk setiap pasien yang membutuhkan .
Penghematan anggaran yang cukup besar akan terjadi sehingga anggaran yang dihemat bisa dialokasikan untuk kepentingan lainnya.
Oleh karena itulah penggagas dicoba didekati dengan menawarkan sejumlah uang dan kerja sama bisnis.
Tetapi karena penggagas keukeuh nggak mau menerima tawaran maka dicoba dengan cara lain yaitu
Diijinkan Jalan tapi tidak diberikan dukungan apapun, padahal untuk menjalankan terapi tersebut butuh jasa PMI dan untuk setiap plasma bag, PMI memberi tarif Rp. 1.320.000,- sudah termasuk PPn.
Beruntunglah Penggagas adalah seorang petarung yg terus gigih berjuang demi menyelamatkan bangsa.
Semoga Terapi Plasma yang sudah terbukti memberikan hasil sangat baik di banyak negara bisa meningkatkan angka kesembuhan pasien covid 19 di Indonesia .
Sumber
https://www.bmj.com/content/368/bmj.m1256
https://www.liputan6.com/health/read/4212551/plasma-darah-harapan-sembuh-pasien-covid-19
- Source : seword.com