www.zejournal.mobi
Rabu, 27 November 2024

AM Hendropriyono : Kelas Menengah Sasaran Pertama Kaum Radikal

Penulis : Erika Ebener | Editor : Indie | Kamis, 30 Januari 2020 11:52

Sejak peristiwa persekusi yang menimpa NK, baru kali ini saya membaca tulisannya kembali. Yang menarik bagi saya adalah tokoh dan isu yang dibicarakan oleh si tokoh, yaitu pandangan AM Hendropriyono atas pertumbuhan radikalisme di Indonesia dimana disebutkan oleh beliau bahwa kelas menengah yang pertama bakal ditumpas oleh kaum radikal.

Saya sangat mencatat bahwa AM Hendropriyono adalah tokoh senior yang sangat concern atas pertumbuhan dan perkembangan gerakal radikalisme di Indonesia. Beliau bahkan memandang bahwa asal mula radikalisasi dibangun adalah dengan banyaknya simbol-simbol agama yang dipasang di tempat umum. Misalnya pemasangan sifat-sifat Allah SWT dipasang di jalan umum. Kaligrafi dari ayat-ayat Al Quran dipasang dimobil-mobil seakan-akan mobil mereka pun beragama Islam. Kemudian terbangunnya kesepakatan-kesepatan yang tidak mendasar pada peraturan dan undang-undang negara, tapi mendasar pada syariah yang menguatkan kelompok mayoritas untuk melakukan gerakan-gerakan radikal.

Sementara di bidang ekonomi pun ada upaya untuk menggerakan perekonomian. Misalnya banyaknya toko-toko 212 yang dibangun dengan semangat untuk melawan supermarket yang sudah ada. Atau ajakan-ajakan untuk berbelanja ke toko-toko milik muslim.

Sekilas saya ingin bercerita tentang pembicaraan saya dengan supir gocar yang dengan lancarnya mengatakan bahwa pihak asing merasa ketakutan bersatunya umat Islam di Indonesia, itu sebabnya mereka memecah belah bangsa ini. Hhm… mereka yang berbuat, lalu pihak asing yang dikambing hitamkan? Sesaat saya diam, berpikir, lalu saya bilang bahwa yang memecah belah bangsa ini adalah munculnya satu golongan atau aliran Islam yang merasa paling benar dan tak ragu untuk mengkafirkan kaum lain, terutama non-muslim.

Dan yang melakukan itu adalah WNI sendiri, dan bukan pihak asing. Saya juga mengatakan bahwa hari ini keadaan Indonesia seperti terpecah belah karena adanya kelompok yang tak meyakini bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Saya bahkan menekankan lagi pada intonasi suara saya bahwa sekarang ini kita wajib mengedepankan akal, nurani dan nalar kita pribadi ketika mendengarkan seorang ulama berkhotbah. Karena penginterprestasian si ulama atas sebuah ayat di dalam Al Quran hanya sebatas kedalaman atau kedangkalan dari nalar ulama itu sendiri.

Kenapa demikian? Karena sekarang ini tidak ada lagi Rosul atau Nabi yang Allah SWT turunkan di muka bumi, hingga kita tidak bisa meminta petunjuk padanya untuk menunjukan dari sekian perbedaan itu, mana yang paling benar.

Dan kaum yang disebut radikal dalam beragama adalah mereka yang tidak menggunakan nalarnya dalam mencerna ayat-ayat Al Quran. Mereka secara terbuka memperlihatkan perasaan paling benar dengan menonjolkan atribut-atribut keimanan mereka.

Pada tulisan itu, AM Hendropriyono mengambil intisari dari apa yang ditulis oleh Ahmad Rasyid dengan bukunya yang berjudul “Taliban”, dimana di dalam buku itu dijabarkan apa yang terjadi di Afghanistan. Yaitu saat masyarakat kalangan menengah yang terpelajar diam dan tidak peduli atas riak-riak radikalisme yang muncul di masyarakat, yang diam dan membiarkan ketika Kaum fanatik radikal Taliban melakukan radikalisasi di kalangan bawah, yang kemudian berhasil menguasai kekuasaan, akhirnya mereka menjadi mangsa pertama kaum radikal.

Catatan Penulis : Proses radikalisasi di Afghanistan diawali pada bulan April 2011 dimana terjadi serentetan demonstrasi kemarahan sekelompok orang yang dibarengi dengan tindakan kekerasan atas berita seorang pendeta Amerika yang membakar Al Quran. Komplek perumahan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terletak di Mazar-i-Sharif, sebelah selatan kota Kabul, yang biasanya terlihat tenang dan damai tiba-tiba diserang dan membunuh 7 WNA. Beberapa kerusuhan besar juga terjadi di Kandagar, kota terbesar kedua di Afghanista, yang menewaskan puluhan orang dan mencederai ratusan pendudukan. Dan semua itu terjadi karena berita tentang pembakaran Al Quran oleh pendeta Amerika di Amerika.

Semua kejadian itu menimbulkan pertanyaan di semua kalangan, termasuk kalangan internasional, apakah kerusuhan ini merupakan indikasi awal bahwa radikalisasi semakin meluas di masyarakat sipil Afghanistan? Namun, bukti-bukti di lapangan tidak cukup untuk menunjukkan bahwa radikalisasi telah meluas terjadi di Afghanistan. Sehingga pemikiran bahwa besar masyarakat Afghanistan frustrasi oleh ketidakamanan fisik, korupsi pemerintah, kemiskinan dan meningkatnya kesenjangan sosial. Rasa frustrasi ini kemudian dimanipulasi oleh kelompok-kelompok radikal dan membuat banyak orang Afghanistan rentan terhadap rekrutmen dan radikalisasi, terutama ketika ketidakpuasan mereka diperburuk oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah atau komunitas internasional.

Meskipun alasan setiap orang di Afghanista tentang motivasi menjadi anggota Taliban berbeda-beda, namun retorika agama menjadi dasar penting dalam proses radikalisasi. Target dari proses radikalisasi ini adalah kalangan BAWAH yang frustrasi, yang pelan tapi pasti semakin menjamur. Kalangan BAWAH ini dijadikan media kampanye pengiriman pesan dan direkrut menjadi anggota Taliban dengan bingkai keluhan utama yang disebutkan di atas dalam konteks hukum Islam dan memanipulasi frustrasi lokal dan kepercayaan agama untuk mendukung aksi kekerasan. DAN KALANGAN MENENGAH MENJADI SASARAN MEREKA.

Lanjut….

Penjabaran kekhawatiran AM Hendroproyono sangat mudah dipahami sebenarnya. Namun, saya pribadi, yang mungkin dianggap sebagai kalangan menengah, mengukur diri apa yang bisa dan sudah saya lakukan untuk tidak diam terhadap radikalisasi.


Berita Lainnya :

Sejauh ini hanya tulisan-tulisan. Namun, masalah yang muncul di Afghanistan dimana bukti-bukti tentang proses radikalisasi di lapangan hampir tidak ditemui, akan sama juga dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Ini karena gerakan radikalisasi dibungkus oleh KEYAKINAN yang memiliki sifat yang maya, alias tidak tampak secara kasat mata. Dan sesuatu yang tidak kasat mata, tidak bisa dilawan oleh sebuah undang-undang, tetapi bisa dihentikan oleh fatwa-fatwa.

Misalnya, tempo hari tersebar sebuah pesan di whatsapp bahwa Konsul Mufti Saudi telah menfatwakan bahwa nada dering dan nada pemanggilan berupa ayat Al Quran dan Adzan hukumnya Haram, karena ayat tersebut dapat terputus saat kita mengangkat telepon sehingga dapat merubah maknanya jika dering tersebut tidak diselesaikan. Dan ketika saya sampaikan pesan itu pada saudara dan kawan, hampir semua menyetujuinya. Padahal saya tahu mereka adalah orang-orang yang cukup fanatik dalam beragama.

Bayangkan jika di Indonesia, MUI utamanya, mampu menganalisa gejala-gejala radikalisasi dan kemudian meluruskannya dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang dilampiri penjelasan-penjelasan mendasar dengan menggunakan dalil-dalil Al Quran dan Al Hadist. Saya yakin, radikalisasi di Indonesia yang bisa tertangani.

Permasalahannya, MUI kita ini lebih condong kemana?


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar