Pakar Bioteknologi Lingkungan UI Bantah Telak Anies Soal Solusi Banjir
Banjir parah telah terjadi, dan dua orang yaitu menteri PUPR Basuki dan gubernur seiman Anies Baswedan saling memberikan pernyataan yang saling bertolak belakang. Basuki menyoroti normalisasi yang belum sepenuhnya dilakukan di Sungai Ciliwung.
"Namun, mohon maaf Bapak Gubernur (Anies), selama penyusuran kali Ciliwung ternyata sepanjang 33 kilometer itu yang sudah ditangani dinormalisasi 16 km. Di 16 km itu kita lihat insyaallah aman dari luapan," kata dia. Sepanjang 17 kilometer sungai Ciliwung yang belum dinormalisasi masih terjadi luapan, bagian sungai itu sudah mengalami penyempitan dan masih terdapat rumah yang berdiri di bantaran sungai.
Menurut Basuki, dan menurut penulis, Anies terlalu lamban dalam melakukan normalisasi sungai. Ini bisa dilihat dari takutnya dia dalam melakukan penertiban perumahan di bantaran sungai. Takut atau termakan janji kampanye yang terlalu muluk.
Tapi di sisi lain, Anies menepis pernyataan Basuki. Menurutnya normalisasi sungai tidak akan berfungsi dalam kaitannya menghadapi banjir jika tidak ada pengendalian air dari daerah di selatan Jakarta. "Jadi, selama air dibiarkan dari selatan masuk ke jakarta dan tidak ada pengendalian dari selatan, maka apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya," kata Anies.
Anies masih meyakini naturalisasi sungai sebagai langkah untuk menangani banjir yang melanda ibu kota. Tapi kenyataannya hingga sekarang, konsepnya pun tidak kita ketahui.
Pernyataan Anies tersebut dinilai pakar Bioteknologi Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, sebagai cara berpikir yang keliru. Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan Pemprov DKI Jakarta adalah menormalisasi sungai bukan menaturalisasinya.
Pada 2007 silam, banjir yang menggenangi Jakarta disebabkan hujan deras di hulu Sungai Ciliwung, ditambah hujan lokal ditambah air laut di utara Jakarta pasang. Kemudian Pemerintah Pusat membangun bendungan kering di Ciawi dan Sukamahi.
Tapi prosesnya panjang, karena terhalang oleh pembebasan lahan ditambah dengan faktor sosial lainnya. Akhirnya, tandatangan kontrak pelaksanaan proyek pembangunan draine dam baru terealisasi pada 2016. Proyek dua bendungan itu baru akan selesai pada akhir 2020 dan berfungsi pada 2021.
Fungsi dua draine dam tersebut bisa memperlambat datangnya air dari hulu sampai Jakarta yang biasanya memakan waktu 6-8 jam menjadi lebih lama. "Dengan kapasitas total sekitar 8 juta meter kubik air bisa kita perpanjang dan mengurangi dampaknya kira-kira sampai 30 persen setidaknya sampai air masuk DAS Ciliwung dan Cisadane," kata Firdaus Ali.
Tapi itu saja belum cukup.
Selagi dua bendungan dibuat, Pemprov DKI Jakarta harus melakukan normalisasi sungai. Harus ada kerja sama antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI mengenai ini. Saat Pemerintah Pusat memasang beton di kiri kanan Sungai Ciliwung, Pemprov DKI harus ikut membantu dengan cara membebaskan lahan dan merelokasi warga terdampak normalisasi.
"Sehebat apapun Pemerintah Pusat membantu, tetap peran pemerintah daerah menentukan sekali khususnya untuk relokasi dan pemindahan warga yang terdampak lahan normalisasi," kata Firdaus Ali.
Firdaus juga tidak setuju dengan perkataan Anies di mana kunci penanganan banjir tergantung penanganan di hulu.
"Tidak, salah. Gubernur Anies salah. Di hulu Pemerintah Pusat sedang kerjakan bersama Pemerintah Jawa Barat. Itu sedang kita kerjakan (membangun bendungan, red). Pembangunan bendungan di hulu memang belum selesai, tapi kalau Pemprov DKI Jakarta bisa menormalisasi saluran, air tidak akan parkir kemana-mana.
Kalau Gubernur Anies mengatakan kuncinya di hulu, ya benar. Tapi kerjakan yang menjadi domain dan tanggung jawabnya Pemprov DKI Jakarta. "Jangan kemudian berpolemik dengan bahasa-bahasa, narasi dan kata-kata seakan-akan indah untuk diucapkan tapi ketika dipraktikkan gagal," kata Firdaus Ali.
- Source : seword.com