Cendekiawan Muslim: Kegiatan Pengajian Tak Patut Jika Disusupi Kampanye Politik
Politisasi agama melalui aneka aksi berangka hingga jualan ayat dan mayat telah membuka kesadaran baru. Betapa malunya calon yang diusung hingga harus menodai kesucian tempat ibadah demi politik kekuasaan. Itu pun dilakukan dengan cara-cara tidak elegan layaknya cara setan yang menebar rasa dan aroma kebencian.
Adalah Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra yang menyeru dengan suara syahdu bahwa tak sepantasnya kantor-kantor pemerintahan, kantor birokrasi, dan rumah ibadah dipakai sebagai kampanye politik. Kepada Kompas.com Ia menjelaskan kalau sudah ada ketentuan-ketentuan supaya tidak menggunakan ruang-ruang publik untuk tujuan politik kekuasaan.
“Lha itu namanya politik kekuasaan yang tidak boleh dilakukan di gedung pemerintah, rumah-rumah ibadah, harusnya dilakukan di tempat-tempat yang ditetapkan oleh KPU,” jelas Azyumardi Azra di sela acara Urun Rembug Kebangsaan di Auditorium Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, Rabu (25/8/2018), seperti dilansir Kompas.com.
Nah, mengapa politik kekuasaan tak sepantasnya merebut mimbar masjid atau tempat ibadah lain? Menurut Azyumardi Azra, politik kekuasaan mampu mendiskreditkan dan menyerang lawan politik tertentu hingga membela kelompok politik sendiri. Mimbar tempat ibadah pun rawan sebagai tempat bunyi ujaran yang menebar kebencian pada pasangan lain. Bukan kata-kata berkat dan doa harapan selamat, tetapi kata-kata laknat memenuhi rongga mulut para politisi mendadak ustadz atau pendeta hingga guru-guru agama yang lagi mabok kuasa.
Sadar dengan dampak buruk dari politisasi mimbar, Cendekiawan Muslim itu menseyogyakan ada sanksi terhadap orang yang melakukan politik kekuasaan tersebut. “Saya kira harus ada sanksinya, saya tidak tahu untuk orang yang tidak aktif langsung dalam politik sebagai kandidat, sanksi apa yang harus dilakukan,” kata Azra.
Di mata Azra, jelas ada pelanggaran terhadap proses-proses politik yang sudah ditetapkan kalau mimbar dipakai sebagai panggung politik kekuasaan. Proses politik harus bebas dari sentimen agama yang membutakan rasionalitas. Agama tidak bisa dimanipulasi untuk membenci salah satu pasangan. Agama adalah sarana orang bertakwa dan mendapatkan pencerahan untuk mengasihi sesama tanpa pandang bulu agama.
Sadar akan kemuliaan dan nilai luhur agama, Cendekiawan Muslim ini pun lantas berkata bahwa dalam kegiatan pengajian misalnya, tak patutlah jika disusupi kampanye politik. “Pengajiannya boleh saja ya tetapi tidak ada tempat substantif di dalam pengajian itu membahas atau menyinggung politik kekuasaan,” tuturnya.
Azra menegaskan bahasan politik dalam pengajian dan tentu mimbar-mimbar tempat ibadah lain, tak boleh keluar dari bingkai etika politik. Misalnya masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. “Sekali lagi boleh berbicara mengenai politik di pengajian, misalnya berkeadilan dalam politik etika politik,” tandasnya.
Ia mengatakan tak ragu untuk menyeru bahwa seharusnya memang perlu dicegah kampanye politik di rumah-rumah ibadah. Sebagai seorang muslim, ia mencontohkan masjid. “Masjid merupakan tempat yang suci sakral, makhluk Allah atau orang-orang beriman untuk menyembah Tuhan untuk berkomunikasi,” katanya.
Azra secara tegas mengatakan, seharusnya Masjid memang jangan dirusak oleh hal-hal yang selalu tidak benar dan bersifat manipulatif politik yang merusak kesucian dan menjadikan masjid partisan politik. Kalau sudah partisan politik, lanjut Azyumardi Azra, kemudian Masjid menjadi sasaran kekuatan politik. “Kita lihat di Timur Tengah Masjid menjadi sasaran kekerasan, karena masjid dilakukan sebagai politik partisan,” tuturnya memberi contoh.
Atas dasar itu maka yang namanya penyadaran politik sebagai edukasi politik kepada masyarakat menjadi penting. Edukasi yang mendorong lahirnya kebijakan politik yang kemudian menjadi andalan warga negara ketika ikut dalam pemilu. Warga pun dapat menggunakan hak pilihnya berdasarkan kesadaran nurani dalam koridor akal sehat.
Mengingat pentingnya berpolitik dengan akal sehat, bagi Azyumardi Azra, memakai ayat-ayat kitab suci yang ditafsirkan sekenanya sendiri itu berbahaya. Hal demikian rentan, karena dapat merusak dan menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Bahkan, Cendekiawan Muslim ini dengan keras mengkritisi komentar tak bermutu dari seorang politisi renta yang dengkulnya makin memprihatinkan. Ya, Amien Rais yang tanpa mengkompromikan otak dan dengkulnya ketika terhipnotis cerita fiktif tentang keberadaan Partai Allah dan Partai Setan. Bagi Azra, ketika politisi suka dengan narasi fiksi tentang Partai Allah dan Partai Setan perlu diwaspadai dengan logika. Pasalnya hal itu tidak menjelaskan apa-apa. “Misalnya ada Partai Allah ada Partai Setan itu kan nggak jelas mana Partai Setan mana Partai Allah,” pungkas Azra.
Sumber: