www.zejournal.mobi
Selasa, 19 November 2024

Kebijakan Satu Anak

Penulis : Shannon Roberts | Editor : Samus | Selasa, 01 Maret 2016 16:31

Banyak orang saat ini hampir lupa, atau tidak berada pada saat itu untuk mengetahuinya, bahwa kekhawatiran overpopulasi pada tahun 1970-an dan 1960-an adalah sebuah masalah yang serius di seluruh dunia. Ilmuwan Paul Ehrlich berpendapat dalam bukunya yang berjudul “The Population Bomb” (1968) bahwa “pada era 1970-an ratusan juta orang akan mati kelaparan meskipun adanya program-program yang dimulai saat ini” – sebuah pernyataan yang sangat menggelikan sulit untuk dipercaya bahwa begitu banyak orang mempercayainya. Negara-negara di seluruh dunia kini berjuang melawan konsekuensi dari tingkat kelahiran yang rendah kronis.

Namun, dalam konteks ini, lebih mudah untuk memahami mengapa PBB memberi penghargaan penduduk pertamanya bagi menteri China untuk perencanaan penduduk pada tahun 1983. Hal ini merupakan histeria sosial pada saat itu bahwa pelanggaran paksa pada kaum wanita dalam mengejar kebijakan pemerintah untuk memenangkan penghargaan PBB. Ini adalah sebuah pengingat yang baik bahwa politik internasional tidak selalu dipikirkan dengan baik, juga martabat individu selalu menjadi perhatian utama bagi badan internasional yang dijalankan oleh individu lainnya dengan agendanya masing-masing. Pendekatan ini berlanjut pada banyak kebijakan internasional hari ini.

Mei Fong baru-baru ini merilis sebuah buku yang berjudul “One Child” yang memberikan sebuah wawasan mengerikan ke dalam kerugian sosial dari kebijakan satu anak China. Seorang wartawan investigasi di China selama bertahun-tahun dan seorang warga negara China, dalam bukunya Mei Fong menulis kehancuran dari banyak keluarga, kurangnya martabat dari kebijakan yang diberikan kepada kaum wanita (diperluas sampai benar-benar brutal, dan langkah aborsi tahap akhir yang dipaksakan), dan komodifikasi sesuatu yang sakral seperti seorang anak.

Meskipun seorang ibu dari bayi tabung kembar laki-laki, Fong juga mengeksplorasi konsekuensi yang lebih luas dari mentalitas nasional di mana manusia menguasai kesburan mereka sendiri. Secara tidak wajar dibatasi hanya satu anak, pasangan-pasangan di China mulai mencari satu anak yag sempurna – dengan pemilihan jenis kelamin, kembar (sebuah praktek umum untuk mengkompensasikan kebijakan satu anak ini), menyaring penyakit genetik dan semakin berusaha untuk memilih sifat-sifat seperti kecerdasan, tinggi badan, golongan darah dan bahkan kelopak mata ganda. Untuk mencapai ini, mereka secara rutin menolak embrio yang dibuahi, melakukan aborsi, melakukan pembunuhan terhadap anak, membuang bayi-bayi perempuan dan menolak bayi-bayi yang tidak sesuai dengan kriteria tertentu, memaksakan aborsi kepada wanita yang rentan. Ada bisnis besar pada pengembangan bayi ini. Fong berkomentar:

“Kebijakan satu anak sudah memperluas kesenjangan di China. Jika Anda kaya, Anda cenderung memiliki banyak anak dengan sedikit impunitas (karena mampu untuk membayar denda yang besar). Bagaimana jika anak-anak itu dapat menjadi lebih pintar, tidak rentan terhadap penyakit dan lebih tinggi? Kemudian China akan menjadi lebih mirip dengan masyarakat distopia yang dibayangkan oleh Aldous Huxley dalam ‘Brave New World’, di mana penduduk dibuat di laboratorium dan diklasifikasikan. Alpha adalah para penguasa, dan lebah-lebah pekerja seperti Epsilon dengan kognitif yang terhambat diprogram untuk tidak pernah bercita-cita lebih dari status mereka.”

Buku ini memberi wawasan mengerikan ke dalam praktis sehari-hari untuk menegakkan kebijakan satu anak, terutama di daerah pedesaan China di mana orang-orang lebih miskin dan rentan. Ditegakkan dengan cara berbeda-beda dari satu provinsi ke provinsi lainnya, para petugas keluarga berencana diberi target kelahiran dan pada dasarnya bebas untuk menegakkan aturan ini dengan mendenda, kontrasepsi paksa, memenjarakan orangtua dan memaksakan aborsi. Sementara secara teknis ini melanggar hukum dalam banyak kasus, ada sebuah pemahaman yang tak terucapkan bahwa tindakan-tindakan untuk menegakkan kebijakan ini akan diabaikan dan tidak dituntut.

Kisah Feng Jianmei ini adalah salah satu contoh. Pada tahun 2012, pekerja pabrik yang berumur 22 tahun ini sedang mengandung anak keduanya, namun percaya bahwa ia memenuhi syarat untuk memiliki anak kedua, setelah bersembunyi selama beberapa jam di lereng bukit yang gelap dalam upaya untuk menghindari para petugas. Namun, ketika kandungannya berumur tujuh bulan petugas menangkapnya dan dan menyeretnya ke rumah sakit dengan bantal di atas kepalanya. Ia disuntik dengan sebuah zat untuk membunuh bayi dalam kandungannya dan diapksa untuk membayar denda. Ia kemudian mengatakan, “Saya dapat merasakan anak saya melompat-lompat di dalam saya sepanjang waktu, dan kemudian berhenti bergerak, untuk selamanya,” menurut Fong, sensor China telah bergerak cepat untuk meredam penyebaran berita ini dan contoh lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

Begitulah sistem di negara ini bekerja, mempekerjakan ratusan ribu aparat penegak dan birokrat yang terkait, bahwa ketika menjadi jelas bahwa kebijakan satu anak ini tidak diperlukan – yang pada faktanya malah menghambat China – akan sulit untuk dikembalikan kepada keadaan semula. Mereka yang memberlakukan kebijakan satu anak gagal meramalkan konsekuensi ekonomi dan sosial yang kini harus dihadapi oleh negara tersebut: tenaga kerja berkurang yang dapat digunakan unntuk mendukung pembengkakan populasi lanjut usia; ratusan ribu sarjana memiliki sedikit kesempatan untuk menemukan pasangan hidup; para orangtua yang kehilangan satu-satunya anak mereka dalam kondisi tragis sekarang telah menjadi tua dan berada di negara di mana keluarga atau anak Anda adalah program pensiun Anda; tekanan bagi anak-anak yang harus memenuhi harapan semua orang tua mereka untuk mengurusnya sendiri di usia tua; belum lagi rasa sukacita yang hilang dari keluarga-keluarga yang diambil haknya – untuk memiliki sebuah keluarga.

Kelompok ilmuwan yang menemukan kebijakan ini harus bertanggung jawab. Mereka memutuskan bahwa ukuran populasi yang ideal bagi China adalah 700 juta jiwa dan memberikan sebuah contoh linier yang dipertanyakan untuk bisa mencapainya dengan membatasi tingkat kelahiran, namun lupa untuk memperhitungkan bagaimana perilaku manusia atau teknologi mungkin dapat mengubah gambaran mereka. Kelompok ilmuwan ini tidak cerdas secara emosional, salah satu dari mereka menulis dalam sebuah buku pada tahun 1988: “Karena manusia muncul di dunia jutaan tahun yang lalu, manusia telah berjuang melawan alam. Sekarang akhirnya manusia menaklukkan dengan kebijaksanaan dan kekuatan mereka.”

Memang bukan merupakan sebuah tujuan yang terpuji dari awalnya, dalam retrospeksi kebijakan satu anak terbukti sama sekali tidak perlu untuk mengurangi tingkat kelahiran mengingat tren kelahiran di seluruh dunia. Di Shanghai, keluarga-keluarga telah diizinkan untuk memiliki dua anak selama beberapa tahun dan seluruh China kini telah mengadopsi “kebijakan dua anak”. Namun, keluarga-keluarga sangat memilih untuk tetap memiliki satu anak. Mentalitas satu anak ini telah mendarah daging, dengan banyak orang yang percaya bahwa akan lebih mudah untuk membiayai kehidupan dan pendidikan yang terbaik bagi jika hanya memiliki satu anak; tahun-tahun propaganda pemerintah telah berhasil.

Fong memperlihatkan konsekuensi yang mengerikan dan tidak manusiawi dari bermain-main dengan dasar dari kehidupan manusia; reproduksi dan keluarga. Konsekuensi dari kebijakan satu anak akan dirasakan selama beberapa dekade ke depan, dan memberikan pelajaran bagi kita semua.


- Source : www.mercatornet.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar