Dunia Pendidikan Kita Darurat Kekerasan Seksual
Terungkap satu, muncul laporan kasus baru lagi. Begitulah fenomena tindak asusila dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Kasus guru dan siswa lebih banyak mendominasi pemberitaan negatif daripada kabar prestasi.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mengungkapkan fakta yang cukup mengejutkan. Sebanyak 117 pelajar disebut menjadi korban kekerasan seksual yang terjadi di berbagai jenjang pendidikan sepanjang 2022.
Perincian kasus kekerasan seksual disebutkan terjadi pada jenjang sekolah dasar (SD) sebanyak 2 kasus, sekolah menengah pertama (SMP) 3 kasus, sekolah menengah atas (SMA) 2 kasus, dan pondok pesantren 6 kasus.
Lalu kasus kekerasan seksual juga tercatat terjadi di madrasah tempat mengaji atau tempat ibadah sebanyak 3 kasus, dan 1 kasus di tempat kursus musik bagi anak usia taman kanak-kanak (TK).
Semua korbannya adalah anak di bawah umur dalam rentang usia 5-17 tahun. Dari total 117 anak, tercatat 16 anak laki-laki dan 101 anak perempuan. Sedangkan pelaku yang berhasil ditangkap berjenis kelamin laki laki.
Sebanyak 19 orang pelaku yang tertangkap terdiri dari 14 guru, 1 pemilik pesantren berserta seorang anaknya, seorang staf perpustakaan, seorang calon pendeta, dan seorang kakak kelas korban.
Data lebih detil lagi dari FSGI memperinci status guru yang menjadi pelaku adalah terdiri dari guru pendidikan agama dan pembina ekstrakurikuler (ekskul), pembina organisasi siswa intra sekolah (OSIS), guru musik, guru kelas, dan guru mengaji.
Kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan sepanjang 2022 tersebar di beberapa wilayah yakni Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, Kabupaten Cianjur, Kota Bekasi dan Kota Depok).
Lalu Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Kediri).
Kemudian di Provinsi Banten (Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang).
Kasus lainnya terjadi di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang), Provinsi Kepulauan Riau (Kabupaten Karimun), dan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Alor).
Kasus kekerasan seksual yang menimbulkan jumlah korban terbesar terjadi di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Batang.
Di SMP terdapat 45 siswi yang menjadi korban kekerasan seksual. Bahkan 10 korban di antaranya diduga mengalami perkosaan.
Pelaku kekerasan seksual di SMP Negeri di Batang adalah guru agama yang juga menjabat sebagai pembina OSIS.
Hasil temuan fakta di atas sangat memprihatinkan semua pihak. Guru dan lingkungan sekolah/pendidikan sudah tidak aman lagi sebagai tempat anak-anak mengejar masa depannya. Beberapa korban justru rusak masa depannya di sekolah/lembaga pendidikan.
Dunia pendidikan di Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan seksual.
Satu pelaku tertangkap sekaligus juga mengungkap lebih dari satu korban mengalami trauma psikologi akibat perlakuan kekerasan seksual. 117 korban pelajar tidak akan mudah melupakan kejadian meskipun pelaku sudah dihukum berat. Dampak psikologis korban melekat seumur hidupnya.
Partisipasi pengawasan semua pihak sudah darurat dibutuhkan tidak hanya kepada orang tua. Jika salah seorang guru/pengajar/pendidik yang terindikasi mengalami kelainan seksual, yang dahulu bisa menduga dan merasakan tidak lain adalah guru/pengajar/pendidik lain di sekitarnya.
Dugaan kelainan seorang guru memperlakukan siswa secara tidak wajar, setidaknya bisa dimulai dari laporan guru yang lain. Seringkali kelainan tersebut sudah dirasakan oleh rekan sesama guru, namun bisa saja terjadi enggan mengungkap karena takut terkait senioritas.
Fakta menyatakan, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terungkap berawal dari laporan orang tua korban. Bukan dari dalam lingkungan pendidikan/sekolah.
Artinya setelah satu korban (orang tua) melaporkan, barulah korban senasib bermunculan. Artinya pula kejadian tersebut mustahil terjadi dalam satu hari atau spontan. Tetapi dalam kurun waktu lama.
Keberanian seorang guru melaporkan dugaan perilaku ketidakwajaran guru yang lain, setidaknya menjadi penyelamat jatuhnya korban atau semakin bertambahnya korban.
Pemerintah sudah berupaya semaksimal mungkin melalui penerbitan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual No 12 Tahun 2022. Berisi tentang pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.
Bahwa sebuah peraturan di mata pelaku kekerasan seksual tidak lantas membuat mereka mengurungkan niatnya dan merasa bersalah saat tertangkap.
Patut dicatat, bahwa kelainan/penyimpangan perilaku seksual yang berakibat terjadinya kekerasan seksual, terkait erat dengan kondisi psikologis dan kejiwaan pelakunya.
Antisipasi dan deteksi dini potensi kekerasan seksual butuh lebih diutamakan daripada vonis hukuman mati kepada pelaku sekalipun. Tidak hanya negara dengan penerbitan UU, tapi dibutuhkan partisipasi aktif orang-orang yang berada di lingkungan pendidikan.
Jangan pernah takut melaporkan dugaan penyimpangan seksual seseorang. Setidaknya itu mempersempit kesempatan pelaku menjalankan aksinya dengan berbagai modus.
- Source : seword.com