Jepang, Negara Teflon
Sementara Migrasi Dunia Ketiga/Third World Migration semakin mendominasi berita utama di Uni Eropa dan Amerika Serikat, negara-negara kaya di Asia Timur telah menjaga menundukkan kepala mereka. Dengan alasan yang baik. Sesuai dengan kebijakan imigrasi mereka yang ketat, mereka hampir tidak menerima para pengungsi sama sekali.
Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Cina daratan berada dalam satu pendirian untuk menghindari hampir semua pencari suaka perlindungan, tidak peduli seberapa layaknya mereka untuk diterima. Namun bahkan dengan patokan-patokan Asia Timur, Jepang memiliki hati yang seperti batu. Mereka hanya menerima enam pencari suaka pada tahun 2013 dan sebelas pada tahun 2014. Tingkat penerimaan ini tampaknya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan Australia. Australia jauh dari sumber-sumber masalah para pengungsi. Sebaliknya banyak negara bermasalah seperti Vietnam, Kamboja dan Myanmar yang relatif beradpada pendiriannya seperti Jepang. Namun tahun lalu Australia memberikan visa sebanyak 6501 bagi para pengungsi.
Bagi mereka yang memerhatikan, hal yang luar biasanya adalah bagaimana Jepang berhasil untuk lolos dari kecaman internasional. Jepang adalah sebuah negara Teflon dari diplomasi global. Sepertinya tidak ada yang menempel. Tidak peduli seberapa mengecewakannya mereka atas harapan internasional, jarang diminta untuk bertanggung jawab.
Pola tersebut telah didirikan sejak lama dalam kebijakan perdagangan. Sejak awal 1970an, Jepang sudah terkenal karena terus menjanjikan langkah-langkah pembukaan pasar yang tidak pernah terwujud. Namun ini tidak mempengaruhi Amerika dan Eropa untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan lebih lanjut yang pada saat itu dibuat untuk mewakili akhir dari merkantilisme Jepang.
Dalam kebijakan pengungsi Jepang seperti dalam kebijakan perdagangan, faktor kuncinya adalah kejeniusan atas hubungannya dengan masyarakat yang sedikit diketahui oleh orang banyak. Pendirian Jepang mengejar semacam strategi negatif yang digunakan oleh Howard Hughes ketika ia menghabiskan jutaan dolar untuk menjaga agar namanya tidak hadir di surat kabar. Di satu sisi, Jepang memastikan bahwa kebijakan mereka yang sesungguhnya sesedikit mungkin dipublikasikan; di sisi lain mereka mempromosikan berbagai bentuk tanda mata untuk menghindari serangan-serangan dari para kritikus.
Ini membantu bahwa sebagian besar wartawan asing yang berbasis di Tokyo berada dalam pendirian ini. Hal ini berlaku khususnya bagi mereka yang telah hidup lama di Jepang. Sementara bagi sebagian besar pendatang yang lebih baru, mereka begitu terkejut dengan budaya yang ada dan harus diasuh oleh para asisten peneliti mereka (hampir semuanya dapat diasumsikan melayani dan menjalankan agenda nasional Jepang).
Sementara itu, para pemain kunci orang barat seringkali diundang dalam perjalanan yang dibiayai ke Jepang. Mereka terpesona karena dikelilingi oleh sekutu intelektual Jepang yang nyata yang bergantung pada setiap kata-kata mereka. Tentunya tidak ada diskusi sungguh-sungguh yang menentukan pernah dimuat dalam pers internasional. Para pengunjung kembali ke negara mereka dengan perasaan bahwa mereka telah mendapatkan sesuatu. Mereka jarang merasakan kenyataannya bahwa mereka hanya ditugaskan dalam sebuah lelucon Gilbertian.
Salah satu orang yang telah mendapatkan perlakuan tersebut adalah Antonio Guterres yang saat ini menjabat di Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi. Sejak ia menjabat pada tahun 2005, ia telah menjadi tamu di Jepang tidak kurang dari dua belas kali. Berulang kali dalam kunjungan-kunjungannya ke Jepang, ia belum pernah mengkritik kebijakan pengungsi Jepang.
Pada pelaksanaan klasik tokenisme ini, Guterres pada tahun 2013 diajak berkeliling melihat pameran fotografi Jepang tentang krisis pengungsi. Foto-foto ini menceritakan kisah menyedihkan namun sebagian besar tidak disadari dalam pers; dan hanya minoritas kecil dari penduduk Jepang yang pernah mengunjungi pameran tersebut.
Pada tahun 1990an, Jepang menemukan cara yang lebih baik untuk menangkis kritik – dengan menaruh salah satu pejabatnya sebagai kepala Badan Pengungsi PBB. Sebagai seorang wanita, Sadako Ogata memenangkan dukungan kneejerk dari para feminis dunia Barat. Apa yang diperhatikan oleh beberapa orang Barat adalah bahwa ia seorang anggota pemegang kartu kunci pengembangan dalam Jepang. Sadako Ogata adalah anak dari seorang diplomat karir dan cucu dari Menteri Luar Negeri di era fasis, ia menikah degnan pejabat atas Bank of Japan yang adalah seorang anak dari seorang pemimpin di era fasis. Untuk sedikitnya, ada sedikit bukti bahwa Ogata pernah membuat gelombang – secara pribadi namun tidak di depan umum – kebijakan pengungsi Jepang.
Para pembuat kebijakan Jepang jarang menjelaskan diri mereka sendiri dan hampir tidak pernah terus terang, namun sebagian besar dari sikap mereka yang bermusuhan dengan para pengungsi diyakini berasal dari kekhawatirannya tentang kelebihan penduduk. Pada kenyataannya, kepadatan penduduk Jepang tidak menempatkannya bahkan dalam daftar 30 negara dengan penduduk terpadat. Negara-negara signifikan yang lebih padat penduduknya termasuk Belgia, Belanda, Puerto Rico dan Lebanon. Sementara itu bahkan Inggris, Filipina dan Jerman tidak jauh di belakang.
Faktor lain yang diyakini menjadi perhatian adalah untuk menghindari penipisan homogenitas masyarakat Jepang. Sekali lagi, para pemimpin Jepang jarang dan jika pernah tidak akan berterus terang memberikan komentarnya, namun dapat diasumsikan dengan kesamaan negara-negara lainnya di Asia Timur, mereka percaya bahwa sebuah negara akan lebih baik jika hanya memiliki sedikit retakan perbedaan agama, bahasa dan etnis.
Mungkin aspek yang paling jelas dari cerita ini adalah kekikiran Jepang untuk mendanai upaya bantuan PBB. Tidak seperti negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, Jepang terus menjalankan banyak akun transaksi besar yang sedang berjalan pada saat ini (akun yang sedang berjalan ini adalah ukuran terluas dan paling berarti dari perdagangan suatu negara). Jadi meskipun pembicaraan-pembicaraan yang telah berlangsung selama beberapa dekade terakhir yang menyatakan keuangannya telah melemah, Jepang sebenarnya dalam posisi yang jauh lebih kuat untuk mendukung PBB daripada Amerika Serikat atau Inggris (keduanya secara konsisten telah menjalani akun defisit besar saat ini). Namun, pada angka terakhir yag tersedia, baik pemerintah AS dan Inggris memberikan kontribusi yang lebih bagi Badan Pengungsi PBB daripada Jepang. Bahkan tingkat kontribusi Jepang dikalahkan oleh setidaknya lima belas negara. Tingkat kontribusi Luksemburg hampir sebelas kali lipat dari Jepang, Norwegia hampir delapan kali lipat dan Swedia hampir enam kali.
Kekikiran Jepang sepenuhnya dapat dipahami hanya bila angkanya dipecah antara yang disebut bantuan terikat dan tidak terikat. Dalam kasus bantuan terikat, penerima biasanya memerlukan untuk menghabiskan uang pada barang yang dihasilkan oleh negara pendonor. Kurang dari sepersepuluh dari kontribusi Jepang adalah tidak terikat – salah satu tingkat terendah dari setiap negara signifikan. Mungkin hal yang paling mencolok dari semua ini adalah bahwa kontribusi Jepang telah mengurang secara absolut. $226 juta secara total pada tahun 2011 dan mereka telah memotongnya menjadi $181 juta pada tahun 2014.
- Source : www.unz.com