Pelarangan Ekspor Minyak Goreng : "Pak Kajagung Pasang Jaring Rapat-Rapat!!!"
Semboyan "Peraturan dibuat untuk dilanggar" bukan sebuah semboyan omong kosong. Adalah sudah menjadi mental bangsa ini yang selalu berusaha melangkahi apapun yang diaturkan.
Antara pelaku pelanggar aturan dan aparat hukum, ibarat anak-anak yang sedang main kucing-kucingnya. Jika tertangkappun, trik dan intrik akan selalu dimainkan.
Kalau sudah begini, siapa yang paling berperan untuk bisa memenangkan pertarungan melawan para pelanggar aturan ini? Siapa lagi kalau bukan "Para Pengacara Negara" yang kita kenal dengan sebutan "Jaksa".
Tapi jangan salah, perjalanan sebuah laporan pidana untuk bisa mencapai meja jaksa tidak semudah dan secepat yang dibayangkan. Jaksa adalah lini kedua setelah lini pertama di kepolisian selesai dilalui.
Di lini pertama, pertarungan antara pelapor dan terlapor kadang sangat menegangkan, lama dan mahal. Tak jarang pihak yang dilaporkan merayu polisi untuk tidak memproses laporan bahkan tak segan menyogok polisi untuk menghentikan penyidikan dan menyatakan perkara yang dilaporkan bukan merupakan tindak pidana.
Itu kalau kita bicara prosedur hukum pidana biasa. Bagaimana dengan prosedur hukum bagi para pelaku pidana terkait kelangkaan persediaan minyak goreng?
Keputusan maha dahsyat yang dibuat oleh Presiden Jokowi terkait pelarangan ekspor bahan baku minyak goreng dan segala sesuatu yang berhubungan dengan minyak goreng, disebutkan oleh Dahlan Iskan sebagai satu keputusan sapu jagat.
Dahlan Iskan menyebutnya keputusan sapu jagat karena dengan satu sapu ini seisi jagat perminyak gorengan teratasi. Namun istilah 'sapu jagat' yang disebutkan Dahlan Iskan ini sepertinya sebuah sindiran mengingat jumlah kebutuhan dalam negeri dan jumlah minyak goreng yang di ekspor sangat jomplang.
Kebutuhan dalam negeri hanya 5 juta ton. Pasar ekspor 50 juta ton. Dengan adanya keputusan Presiden Jokowi melarang total eksport minyak goreng, artinya sejumlah 50 juta ton minyak goreng yang biasanya diekspor akan dikorbankan untuk memenuhi yang 5 juta ton.
Sekilas keputusan Presiden Jokowi seperti sebuah keputusan yang mubazir, karena 5 juta ton tidak ada artinya dibanding 50 juta ton. Tapi jalan biasa sudah dicoba dan faktanya pasar lokal Indonesia mengalami krisis harga dan pasokan.
Pelarangan ekspor minyak goreng akan mulai diberlakukan tanggal 28 April 2022 atau sekitar 5 hari dari sekarang. Kementerian terkait akan sangat sibuk sekali mempersiapkan segala peraturannya, termasuk aturan yang bisa mengatasi trik-trik untuk menyiasatinya.
Namun di sisi lain Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai, keputusan tersebut justru tidak menyelesaikan masalah yang ada. Bhima menyatakan bahwa kebijakan Jokowi satu ini justru akan menguntungkan negara lain yang juga merupakan produsen minyak sawit, seperti Malaysia. Tak hanya itu, Bhima juga mengatakan bahwa dengan kebijakan pelarangan eksport minyak goreng ini, Indonesia akan kehilangan devisa ekspor senilai US$3 miliar devisa negara setara dengan Rp43 triliun lebih (kurs 14.436 per dolar AS).
Saya pribadi lebih mendukung pendapat Dahlan Iskan yang mendukung kebijakan Presiden Jokowi. Bagi saya keputusan pelarangan total eksport minyak goreng ini adalah hukuman bagi semua pengusaha minyak goreng yang abai atas pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Tidak bisa kita pungkiri bahwa mengejar harga jual lebih tinggi di pasaran luar negeri menjadi cara mendapatkan keuntungan maksimal ketibang menjual komoditi di dalam negeri.
Para pengusaha menghalalkan segala cara untuk bisa mengeksport bahan minyak goreng hingga akhirnya mengakibatkan harga lokal melonjak dan pasokan domestik mengalami kelangkaan. Jokowi seolah sedang berkata, "udah gue kasih 50 juta ton buat ekspor, yang 5 juta ton jatah lokal masih elu eksepor juga? Sekarang gue kenakan pelarangan total, kalian mau apa?".
Pelarangan total eksport minyak goreng, Jokowi seakan sedang menuntut pertanggungjawaban para pengusaha minyak goreng yang telah mengakibatkan harga lokal melonjak dan pasokan domestik langka, untuk mengembalikan posisi persediaan minyak goreng dalam negeri "melimpah" dan HET yang dicanangkan pemerintah tercapai.
Kebijakan Presiden Jokowi atas pelarangan eksport minyak goreng hanya bisa dicapai jika Presiden juga meng-reinforce penegakan hukumnya. Jika Kejaksaan Agung berkomitmen akan "pasang badan" untuk membongkar mafia minyak goreng ini, maka Kejagung juga harus berkomitmen untuk menyikat habis pihak-pihak yang berusaha menyelundupkan bahan minyak goreng ke luar negeri selama kebijakan pelarangan eksport ini diberlakukankan.
Pasang jaring rapat-rapat Pak Kajagung agar tak ada eksportir minyak goreng yang nakal lolos menyelundupkan komoditi kita ke luar negeri.
- Source : seword.com