Kenaikan Pertamax, Langkanya Pertalite dan Rencana Pertamina Beli Minyak dari Rusia
Dampak luar biasa mulai terasa akibat berlarut-larutnya perang antara Rusia versus Ukraina ini. Perang yang diprediksi hanya sebentar itu saja kini telah masih bergulir sudah hampir satu bulan penuh dan kita sekarang menikmati imbas dari perang saudara tua melawan saudara muda ini.
Ya, tak terasa akibat perang berkepanjangan ini, dampaknya terasa, seperti diungkapkan Presiden Jokowi, “Perang Bikin Pusing Semua Negara”. Bagaimana tidak? Disaat ekonomi dunia mulai merangkak naik usai pandemi Covid-19, perang yang terjadi di Ukraina membuat pusing semua negara, terutama Indonesia yang memegang Palu Konferensi G20 dibuat pusing dengan seabrek masalah dunia, terutama ‘paksaan’ sebahagian negara agar Rusia dikeluarkan dari keikutsertaan G-20 di Bali nanti.
Konsistensi dan keteguhan memegang prinsip untuk tidak memihak satu blok pun sekarang di uji, belum lagi perekonomian dunia masih belum pulih total, bahkan kelangkaan energi, kelangkaan pangan, kelangkaan kontainer, serta inflasi yang tinggi terjadi di banyak negara di belahan dunia.
Presiden Jokowi pusing, tak hanya memikirkan minyak dalam negeri, bayangkan apa tidak pusing? Minyak goreng langka dan mahal, belum lagi menterinya buat blunder semisal umumkan minyak goreng ditimbun oleh pengusaha nakal, namun faktanya belum diumumkan sampai sekarang.
Kepusingan Presiden Jokowi bertambah, boro-boro memikirkan G20 atau negara-negara lain, kondisi dalam negeri kenaikan harga Pertamax dan langkanya Pertalite dan bahan bakar lainnya. Belum lagi laporan dari Presiden Perancis Emmanuel Macron, hingga Presiden Tiongkok, Xi Jinping, Kanselir Jerman Olaf Scholz, dan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau lewat telepon masalah kenaikan dan kelangkaan energi, dimana harga minyak dunia tengah melonjak dari kisaran US$ 50 – 60 per barel menjadi US$ 118 per barel.
Sungguh efek domino dari perang Rusia versus Ukraina telah membuat dampak luar biasa, seperti kenaikan harga komoditas, terutama energi dan pangan sehingga berisiko terhadap kenaikan inflasi domestik.
Kelangkaan bahan bakar minyak sudah sangat terasa, beberapa hari ini di SPBU yang saya lewati ketika berangkat kerja, semuanya bertuliskan “Pertalite sedang dalam perjalanan”. Sungguh aneh, bagaimana mungkin Pertalite susah didapat? Sementara Pertamax juga naik, padahal gaji tidak naik, sungguh tidak adil bukan? Karena pastinya jika bahan bakar minyak naik, otomatis harga bahan pokok lainnya ikut naik bukan?
Setelah Rusia menginvasi Ukraina, harga minyak mentah dunia langsung melonjak tajam dan sempat menyentuh angka diatas US$ 120 per barel untuk jenis minyak mentah West Texas Intermediate (WTI). Padahal di awal pagebluk Covid-19, harga minyak sempat menyentuh angka terendah, bahkan harganya minus di tahun 2021, naik secara perlahan dari US$50 ke US$70 dan di awal tahun ini berkisar US$70-US$80 per barel.
Selain minyak mentah harga gas alam juga ikut terkerek naik dari sekitar US$3,7 per MMBTU menjadi US$4,5 per MMBTU. Kenaikan ini juga diikuti dengan kenaikan harga BBM seperti bensin (gasoline) dan minyak diesel atau solar di seluruh dunia sebagai produk turunan dari minyak mentah. Kenaikan minyak mentah ini membuat Pertamina mengalami defisit cukup besar karena harga BBM nonsubsidi sebelum April ini masih mengacu pada harga minyak mentah sekitar US$70 sebagai harga acuan di tahun 2021.
Hal inilah yang melatarbelakangi keputusan Pertamina untuk menaikan harga BBM nonsubsidi per 1 April 2022, meskipun kenaikan ini sebenarnya masih dibawah harga keekonomisan. Sebagai contoh harga keekonomisan Pertamax sekitar Rp 14.500 per liter untuk harga minyak mentah US$110 per barel.
Nah, yang ditakutkan adalah sampai kapan Pertamina punya stok minyak? Apakah terjamin akibat kelangkaan bahan bakar minyak ini, Pertamina bisa bertahan dengan pasokan minyaknya sekarang? Apakah dengan kenaikan yang tidak signifikan ini, Pertamina bisa bertahan dan mampu menyediakan stok minyak jangka panjang? Apakah Pertamina tak akan rugi dan mampu menjaga kualitas minyak dan harga keekonomisannya?
Mendapatkan minyak mentah dengan harga murah ditengah melonjaknya harga minyak mentah dunia saat ini memerlukan pemikiran yang di luar batas atau menggunakan perspektif yang baru, salah satunya yaitu strategi menunggangi badai pada prinsipnya adalah memanfaatkan peluang dari sebuah masalah atau bencana yang tengah melanda alih-alih menunggu badai reda dan kondisi kembali normal.
Rencana PT Pertamina (Persero) membeli minyak Rusia dapat dilihat sebagai salah satu penerapan strategi menunggang badai itu. Saat ini, Pertamina sedang mempertimbangkan membeli minyak mentah untuk produksi Kilang Balongan yang baru direnovasi. Pertamina berniat membeli minyak mentah dari Rusia karena harganya disebut akan lebih murah.
Meski harga minyak mentah dari Rusia lebih murah namun hal ini mengandung resiko yang besar. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang telah mengambil sikap netral terkait dengan konflik Rusia-Ukraina yang memicu krisis kemanusiaan dan geopolitik di wilayah tersebut. Pertamina saat ini sedang berkonsultasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Bank Indonesia mengenai rencana tersebut. Di sisi lain, Pertamina juga dilaporkan telah mendekati beberapa penjual Rusia untuk membeli minyak mentah.
Inilah dilema dihadapi bangsa kita sekarang, negara penghasil minyak, namun harus berpikir out of the box untuk mengatasi kelangkaan minyak, dan strategi menunggangi badai dengan membeli minyak dari Rusia yang sedang menginvasi Ukraina.
Disatu sisi banyak koar-koar agar di G20 kita mengeluarkan Rusia dari keanggotaan G20, namun di sisi lain kita ternyata butuh minyak dari Rusia.
- Source : seword.com