PPN Naik, Pertamax Naik Kalau Pertalite dan Solar gak Dikontrol Bisa Rame
Ini buka soal suka tidak suka kepada kubu politik yang ada di pemerintahan. Tetapi ini soal berpendapat dalam demokrasi. Termasuk tentang kenaikan harga pertamax yang tak lagi disubsidi.
Sebutut apapun kendaraan saya, tetap menggunakan pertamax. Alasannya sederhana, mesin terasa lebih enteng saat dikendarai. Kalau soal servis regular, tetap saja sama dengan kendaraan operasional yang menggunakan bahan bakar pertalite.
Oleh karena itu, kenaikan pertamax lumayan membuat kaget, karena bebarengan dengan berbagai kenaikan harga bahan pokok menjelang puasa. Tetapi setelah berfikir ulang, saya menemukan beberapa hal yang membuat saya legowo. Karena mau gak mau juga kita sebagai rakyat jelata hanya bisa bersuara. Keputusan tetap ada di pemerintah dan wakil rakyat.
Yang pertama. Pertamax tidak digunakan oleh kendaraan distribusi yang digunakan untuk memuat barang. Hal ini tidak akan mempengaruhi kenaikan barang. Bahkan mobil yang digunakan untuk operasional usaha pun tidak menggunakan pertamax.
Yang mempengaruhi harga barang justru PPN 11% dan berlaku per 1 April. Meskipun PPN 11% tidak berlaku bagi sembako dan produk kesehatan. Tetapi yang perlu dipikirkan adalah, kebutuhan skunder saat ini sudah terasa seperti primer. Contohnya kuota internet. Tetapi asalkan pengusaha gak curang dengan menaikan harga yang wajar, kenaikan PPN sebesar 1% gak akan kerasa bagi kami. Tapi dampaknya untuk negara cukup besar.
Untuk yang ke dua, Pertamax dari dulu adalah pilihan untuk orang yang punya duit lebih. Motor sejenis Revo dan motor rakyat lainnya jarang menggunakan bahan bakar pertamax. Kendaraan sejenis itulah yang digunakan oleh orang-orang desa atau orang-orang yang berjualan menggunakan motor. Sangat jarang orang jualan cilok menggunakan motor gede yang dengan alasan menjaga performa mesin sehingga harus beli pertamax.
Yang ke tiga, berdasarkan hal di atas, kita bisa simpulkan bahwa subsidi pertamax tidak terlalu berpengaruh untuk orang-orang kecil seperti kami.
Yang ke empat. Selama pandemi corona, berbagai subsidi diberikan oleh pemerintah. Dari PKH untuk masyarakat kurang mampu, subsidi untuk karyawan yang berpengahsilan di bawah 5 juta, subsidi untuk KPR kelas menengah. Kartu pra kerja hingga pembelian vaksin sangat butuh biaya besar. Hal itu lebih mengena dari pada uang digunakan untuk subsidi pertamax.
Meskipun begitu, saya khawatir dengan kenaikan harga pertamax, pemerintah tidak bisa menanggulangi dampak kelangkaan pertalite. Karena asumsinya, bagi orang yang sekedar pas-pasan, tetapi menggunakan bahan bakar pertamax untuk kendaraannya, tentu saja punya potensi berpindah ke bahan bakar pertalite. Oleh sebab itu, stok pertalite harus benar-benar diperhatikan.
Ngomong-ngomong tentang BBM, yang tak kalah penting adalah, soal Solar. Dari bulan lalu, tak sedikit orang yang mengeluh sulit mendapatkan solar. Ini yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Sebab, ini ada kaitanya dengan pendistribusian barang. Dimana kebanyakan kendaraan distribusi menggunakan bahan bakar solar.
Jika sampai negara kalah dengan mafia yang membeli solar subsidi untuk kebutuhan pabrik dan lain sebagainya yang gak disubsidi, maka ini akan berdampak besar bagi kami rakyat jelata.
Subsidi solar sungguh besar. Menurut berita yang saya baca belum lama ini, subsidi pemerintah bisa mencapai Rp 7.800 per liter. Sedangkan untuk industri, kebutuhan solar pun tak kalah tinggi.
Jika ada kelangkaan solar jelas dua penyebabnya. Yang pertama Pertamina tidak bisa menghitung alokasi kebutuhan. Yang ke dua, pemerintah kalah dengan mafia yang membeli solar subsidi untuk keperluan industri.
Kalau pertamina bodoh saya rasa gak mungkin. Apalagi bos BUMN nya itu Erick Thohir. Dan ada Ahok yang menjabat komisaris. Jadi kalau sampai gak terkontrol, tandanya negara kalah lagi dengan mafia. Apalagi dari dulu, BUMN katanya sarangnya mafia. Itu katanya sih.
Mungkin sebaiknya pak Jokowi segera memerintahkan pak Luhut untuk ngurusi hal-hal yang berkaitan dengan mafia seperti ini, dari pada beliau membuat gaduh dengan pernyataan-pernyataannya.
Pak Luhut lebih berguna ngumpulin pihak berwengan untuk menanggulangi hal-hal seperti di atas, ketimbang ngumpulin kepala desa dan ujug-ujungnya bisa terdengar suara-suara 3 priode atau penundaan pemilu.
Pak luhut akan terlihat lebih bijak membahas hal seperti ini, ketimbang membahas aturan mudik harus udah vaksin booster. Padahal beliau non muslim. Masa iya, pak Luhut gak tahu kalau hal itu sensitif ? Hal seperti itu kalau mau dilempar ke publik, harusnya yang ngomong pak Wapres, biar gak terlalu rame. Bukan pak Luhut.
Terlepas dari itu semua. Unsur politik begitu kentara. Masing-masing mencari peruntungannya sendiri. Pak Jokowi seperti ditampar sana-sini. Tak hanya oleh oposisi, tetapi orang-orang disekitarnya. Sebab sekelas kami yang rakyat jelata saja melihat kekacauan ini. Mana mungkin pak Jokowi tidak melihatnya.
- Source : seword.com