www.zejournal.mobi
Selasa, 19 November 2024

Haruskah Zina dan Perilaku LGBTQ Masuk Delik Pidana?

Penulis : Tony Gede | Editor : Anty | Senin, 03 Januari 2022 10:23

Sampai sekarang, PKS adalah salah satu partai fraksi DPR yang masih terus mengganjal pengesahan RUU soal kekerasan seksual.

Alasan yang terus mereka pakai adalah keberatan soal persetujuan dalam hubungan seksual.

Inti soal persetujuan ini sebenarnya adalah untuk membedakan antara hubungan seksual suka sama suka dari kekerasan seksual.

Namun, Fraksi PKS terus ngotot bahwa ini juga berpotensi mengesahkan hubungan seks di luar nikah alias zina, perilaku LGBTQ, ataupun penyimpangan seksual lainnya.

Selain itu, mereka masih ingin agar RUU tentang kekerasan seksual ini juga memasukkan mengenai penyimpangan seksual.

Dan ini adalah bagian dari agenda mereka untuk memasukkan hal-hal yang masuk ranah pribadi, seperti zina, perilaku LGBTQ, dan lainnya, sebagai pelanggaran pidana.

Alasannya, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan moral agama.

Saya juga sering menemui alasan seperti ini dikemukakan oleh orang-orang lain.

Menurut mereka, jika hal-hal tersebut dibiarkan, maka Indonesia akan terjerumus menjadi negara sekuler dan tidak bermoral.

Juga, segala penyimpangan seksual tersebut dilarang dalam semua agama.

Maka, tak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menjadikan hal-hal tersebut sebagai pelanggaran pidana, yang layak dapat hukuman dari negara.

Maka, haruskah hal-hal yang masuk ranah pribadi, seperti zina, perilaku LGBTQ, dan lainnya, dijadikan pelanggaran pidana?

Hanya karena hal-hal tersebut dilarang dalam semua agama, apakah berarti bisa dimasukkan dalam hukum negara?

Kita harus ingat bahwa walaupun Indonesia ini negara berketuhanan, namun Indonesia bukan negara agama.

Di awal pendirian Indonesia sebagai negara, para pendiri negara berembuk untuk menyusun dasar negara kita.

Salah satu prinsip dalam dasar negara yang dibahas kala itu adalah asas Ketuhanan.

Melalui perdebatan yang panjang, asas Ketuhanan itu akhirnya disepakati dalam sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa.

Asas Ketuhanan menginginkan nilai-nilai agama yang disetujui bersama dijadikan tuntunan moral bagi kehidupan publik dan politik Indonesia.

Namun tuntunan moral ini harus dipisahkan dengan jelas dari hukum agama.

Tujuannya jelas, agar jangan ada satu agama atau unsur keagamaan yang mendikte negara.

Maka, yang berlaku adalah hukum negara yang mengadopsi nilai-nilai agama yang disetujui bersama. Dan bukannya hukum agama.

Kenapa para pendiri bangsa susah-susah berdebat panjang untuk bisa merumuskan prinsip Ketuhanan ini?

Karena mereka tidak mau Indonesia jadi negara sekuler, yang sepenuhnya menyudutkan agama ke ranah pribadi.

Namun, para pendiri bangsa juga tak ingin Indonesia menjadi negara Islam, terlepas dari fakta bahwa Islam adalah agama mayoritas penduduknya.

Kenapa?

Karena hal itu akan memunculkan tirani keagamaan, yang jelas bertentangan dengan keragaman suku, budaya, dan agama di Indonesia.

Ya, hukum negara yang berdasarkan aturan Islam saja jelas akan menindas penganut agama dan kepercayaan lain, dan menjadikan mereka sebagai warga negara kelas dua.

Satu fakta penting harus kita simak di sini.

Sila Ketuhanan ini memang menginginkan nilai-nilai agama yang disetujui bersama dijadikan landasan moralitas dalam kehidupan bernegara.

Namun, kepedulian sila pertama Pancasila ini hanya tertuju pada moralitas publik dan politik.

Artinya?

Dalam hal moralitas, dasar negara kita sebenarnya tidak mencampuri ranah pribadi.

Jadi hukum negara kita pun, yang secara konstitusional tak boleh bertentangan dengan asas-asas Pancasila, harusnya hanya fokus pada pelanggaran moralitas publik dan politik.

Sedangkan pelanggaran moralitas agama seperti zina, perilaku LGBTQ, atau penyimpangan lainnya, itu masuk ranah pribadi. Terlepas fakta bahwa hal-hal tersebut dilarang semua agama.

Jadi, tidak seharusnya hal-hal tersebut dimasukkan sebagai pelanggaran pidana.

Selain itu, Indonesia itu negara yang mengaku menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dan orientasi seksual itu sebenarnya adalah hak asasi setiap orang. Terlepas apakah itu melanggar moralitas agama atau tidak.

Jadi, ikut campurnya negara dalam urusan pilihan seksual seperti ini sebenarnya melanggar hak asasi individu.

Jika negara mulai dibiarkan mengesahkan pelanggaran hak asasi dengan alasan menerapkan moralitas agama, ini berbahaya.

Karena pelan-pelan, kita mulai memberi negara alasan untuk melangkahi kemerdekaan individu.

Tanpa disadari, kita nantinya akan berakhir memberikan kekuasaan yang kelewat besar pada negara, dan kehilangan kemerdekaan tersebut.

Bercermin saja dari apa yang sudah terjadi di Afghanistan, ISIS, ataupun Aceh. Di mana pemerintah sudah kelewatan melanggar hak asasi individu, dengan alasan menerapkan moralitas agama.

Dan ini juga bahaya yang sudah disadari para pendiri bangsa dulu. Sehingga mereka membatasi tujuan sila Ketuhanan itu hanya pada moralitas publik dan politik. Tapi tidak menyentuh moralitas individu.

Ya.

Zina, perilaku LGBTQ, maupun penyimpangan seksual lainnya, memang melanggar nilai-nilai moralitas agama.

Namun, jika tidak dilakukan dengan suami / istri orang lain ataupun dengan anak di bawah umur, yang rugi hanya si pelaku sendiri.

Dosa secara moralitas agama? Iya.

Masuk perbuatan pidana? Secara konstitusional, harusnya tidak.

Maka semua agenda untuk menjadikan hal-hal tersebut delik pidana harus distop.

Karena selain tidak konstitusional, juga melanggar hak asasi manusia.

Referensi

  1. https://historia.id/politik/articles/tentang-ketuhanan-yang-berkebudayaan-P9dy5

  2. https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2018/2/5/475/hak-asasi-manusia-atas-orientasi-seksual.html


Berita Lainnya :


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar