Gila! Hutan Lindung di Batu Hilang 150 Hektar, Pantas Jokowi Konsen Isu Deforestasi!
Beberapa hari belakang banyak video banjir bandang dan tanah longsor di Batu yang dahulu kala satu wilayah dengan Malang. Sebenarnya bencana ini tak terkait langsung dari perubahan iklim, karena memang sedang musim hujan. Pasalnya hutan yang harusnya menjadi wadah resapan air malah dialihfungsikan dan menyebabkan banjir parah. Tak tanggung-tanggung, luasan hutan yang hilang diberitakan mencapai 90 persen dari total hutan. Tak bisa dipungkiri, Batu sebagai kota wisata memang menjadi pusat pembangunan hotel, vila, tempat wisata, pembelanjaan hingga perkebunan sayur dan buah.
Sayangnya dalam pengolahan tempat wisata tersebut tak memperhatikan penanaman kembali pohon-pohon yang telah ditebangi. Akibatnya tak ada lagi yang bisa menampung derasnya air hujan yang mengalir. Padahal belakangan kita tahu Jokowi gencar melakukan penanaman hutan bakau di kepri, riau dan kalimantan. Jokowi juga membawa isu deforestasi ke konferensi UK dan berjanji akan terus menurunkan angka kebakaran hutan. Semoga hal ini tak hanya berlaku di Sumatera seperti Riau, tapi juga di dalam pulau Jawa, seperti daerah pegunungan di Batu.
Sebelumnya seperti dilansir kumparan.com, banjir bandang di Kota Batu diduga karena ada kaitannya dengan perubahan alih fungsi lahan di daerah hulu, khususnya hutan lindung di kawasan kaki Gunung Arjuno. Jadi, tidak semata-mata karena faktor curah hujan yang mencapai 80-100 mm kubik.
Analisis itu disampaikan lembaga peduli lingkungan ProFauna Indonesia. Sekitar 90% hutan lindung di lereng Gunung Arjuno telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian, hotel, permukiman hingga pariwisata. Ada sekitar 150 hektar hutan beralih fungsi jadi pertanian di hulu sungai di kawasan Tulungrejo dan Sumberbrantas.
"Banyak hutan lindung yang berada di lereng Gunung Arjuno telah beralih jadi lahan pertanian sayur. Padahal harusnya menjadi hutan lindung gunanya untuk menjadi bendungan alam, mencegah longsor,'' ungkap Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid dihubungi, Minggu (7/11/2021).
Dia menambahkan jika aliran sungai yang terjadi banjir bandang mulanya adalah sungai mati. Tidak teraliri air jika tidak terjadi hujan. Namun saat dia melakukan pemetaan kemarin, dia menemukan ada banyak lahan yang beralih fungsi.
''Kami khawatir ada bencana susulan karena kondisi bendungan alam di atas sudah rusak. Belum lagi juga masih ada banyak sisa pohon-pohon tumbang akibat kebakaran pada 2019 lalu,'' kata Rosek.
Menurut dia, luasan hutan lindung di Malang Raya, termasuk Kota Batu sudah pada tahapan kritis. Belum lagi kejadian kebakaran di kawasan lereng Gunung Arjuno setiap tahunnya di musim kemarau, yang terjadi semakin memperparah kondisi hutan.
Dalam kondisi seperti ini, lanjut dia, sudah waktunya rehabilitasi atau pemulihan hutan lindung. ''Bukan malah menanam pohon bukan sayur atau malah tanaman porang,'' tegas dia.
Data serupa juga disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, bahwa Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Batu saat ini hanya tersisa sebesar 12-15 persen.
Padahal, sesuai UU Nomor 25 Tahun 2007, pasal 29 ayat 2, luasan minimal RTH di suatu wilayah kabupaten/kota adalah 30 persen dari total luas wilayah.
Ketua Walhi Jatim, Purnawan D Negara pada Jumat 5 November 2021 memaparkan jika dalam kurun 20 tahun terakhir, 348 hektar hutan primer di Kota Batu hilang. Data terakhir yang dihimpun, eksistensi keberadaan lahan hijau, dari luas 6.034,62 pada 2012 menjadi 5.279,15 hektar pada 2019.
"Banyak dari kawasan di sana sudah beralih fungsi menjadi lahan produktif untuk wisata, hotel dan juga perumahan,'' jelasnya.
Sementara itu, Dirut Perum Jasa Tirta I, Raymond Valiant Ruritan membenarkan jika sudah banyak lahan hutan primer di Kota Batu beralih fungsi lahan. Khususnya di bagian barat yang menyebabkan luasan sungai menyempit.
''Perubahan tata guna lahan sudah luar biasa di bagian barat Kota Batu yang akhirnya membuat daerah tutupan lahan yang membendung luberan air menjadi berkurang,'' kata dia.
Saya rasa isu deforestasi seperti ini tak bisa hanya menjadi tanggung jawab pemerintah setempat. Gubernur hingga pemerintah pusat harus konsen menyelesaikan isu ini. Jangan sampai atas nama investasi pariwisata lantas mengabaikan alam yang dampaknya bencana dan makan korban. Kalaupun bahan bakar yang menyebabkan emisi tidak bisa digantikan energi terbarukan dalam jumlah besar, maka jangan sampai hutan dibabat sembarangan.
Hal ini pula yang menyebabkan pernyataan menteri LHK menuai kontroversi yang menyebut pembangunan era Jokowi tak boleh berhenti atas nama emisi dan deforestasi. Mungkin kalau yang bersangkutan tinggal di daerah bencana dan mengalami longsor baru tahu rasa bagaimana dampak pembangunan yang tak memperhatikan lingkungan. Apalagi daerah pegunungan yang rawan longsor. Seharusnya pernyataan pembangunan terus berlanjut dengan memperhatikan keberlanjutan hutan alias penanaman kembali yang ditekankan. Bukan main babat lalu nyawa jadi taruhan.
- Source : seword.com