Bau Busuk Utang Terselubung Indonesia ke China Tercium Juga
Pemerintah terpaksa menggunakan anggaran negara untuk menalangi pembengkakan biaya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pemerintah terpaksa menggunakan anggaran negara untuk membayar pembengkakan biaya pada proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang terus dirundung penundaan konstruksi dan masalah pembebasan lahan. Padahal sebelumnya Presiden Joko Widodo telah berjanji tidak akan menggunakan APBN untuk proyek tersebut.
Diluncurkan pada 2015, di tahun kedua masa kepresidenan Presiden Joko Widodo, label harga untuk jalur kereta api sepanjang 143 kilometer telah membengkak dari US$6,07 miliar menjadi lebih dari US$8 miliar dengan tanggal penyelesaian sekarang ditetapkan pada akhir 2022, dua tahun di belakang jadwal.
Didanai dengan pinjaman China senilai US$4,5 miliar, proyek ini berada di bawah Inisiatif Sabuk dan Jalan Beijing, yang menurut laporan rinci terbaru oleh unit penelitian AidData di William & Mary College Virginia telah membebani Indonesia dan banyak negara lain dengan gunung utang yang terselubung.
Data komprehensif yang menyertai laporan AidData menunjukkan China memberikan lebih dari US$34,9 miliar bantuan keuangan ke Indonesia antara 2000 dan 2017, yang ditetapkan sebagai bantuan pembangunan resmi (ODA) atau aliran resmi lainnya (OOF).
Para peneliti mengatakan Indonesia memiliki US$4,95 miliar dari eksposur utang negara ke China dan US$17,28 miliar dalam apa yang mereka sebut utang publik "tersembunyi", yang telah dikeluarkan oleh perusahaan milik negara atau entitas pemerintah lainnya tanpa jaminan kedaulatan.
Itu berarti 78 persen dari utang Indonesia ke China tidak tercatat di pembukuan pemerintah, yang digambarkan editorial surat kabar Koran Tempo sebagai “bom waktu yang berdetak” yang dapat berdampak pada pembangunan ekonomi negara di masa depan.
Persyaratan pinjaman rata-rata tertimbang China, menurut pemimpin tim AidData Brad Parks, adalah tingkat bunga 4,06 persen, jangka waktu jatuh tempo 15 tahun, dan masa tenggang 2,7 tahun. Pinjaman kereta api dikenakan tingkat bunga 2 persen yang harus dibayar selama 10 tahun.
Sebagai perbandingan, studi Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan pinjaman ODA oleh semua anggota OECD rata-rata pada tingkat bunga 1,1 persen, dengan jangka waktu 28 tahun.
Analis mencatat, sekitar setengah dari proyek yang didanai China memiliki elemen "pulang pergi" di mana uang yang dipinjamkan kembali ke China melalui pembayaran kontrak ke entitas China atau campuran China-Indonesia, banyak di antaranya menggunakan tenaga kerja China yang diimpor.
Peraturan presiden yang baru mengizinkan penggunaan anggaran untuk membiayai proyek kereta api, baik melalui penjaminan pinjaman maupun suntikan modal. "Suka atau tidak, tapi kita harus meminta pemerintah ikut mendanai proyek itu jika ingin selesai tepat waktu," kata juru bicara Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebagaimana dikutip Asia Times.
Meskipun Jepang telah menghabiskan dua tahun melakukan studi kelayakan, China memenangkan kontrak kereta api, tidak hanya dengan bujukan keuangan yang jelas tetapi juga dengan menurunkan permintaannya untuk jaminan risiko kedaulatan.
“Itulah definisi kecelakaan kereta api,” ucap salah satu narasumber bisnis yang berbasis di Jakarta yang mengetahui awal mula proyek tersebut kepada Asia Times. “Itu bukan ide yang baik dari awal karena rutenya terlalu pendek untuk kereta cepat, kecuali jika direncanakan untuk sampai ke Surabaya.”
Indonesia memiliki 60 persen saham di perusahaan patungan PT Kereta Api Indonesia (KCIC), yang terdiri dari mitra lokal PT Pilar Sinergo BUMN Indonesia (PSBI) dan konsorsium China yang terdiri dari China Railways International Co Ltd dan empat perusahaan lainnya.
Di bawah payung PSBI ada empat BUMN, yakni PT Wijaya Karta Tbk (38 persen), PT Kereta Api Indonesia (25 persen), PT Perkebunan Nusantara VIII (25 persen) dan PT Jasa Marga (12 persen).
Bulan lalu, karena masalah keuangan, Wijaya Karta (WIKA) menyerahkan peran kepemimpinannya kepada Kereta Api (KAI), dengan pemerintah menyuntikkan tambahan US$286,7 juta ke dalam usaha dari APBN 2022.
Pejabat KCIC mengatakan dana tersebut akan secara khusus digunakan untuk menutupi pembengkakan biaya yang disebabkan oleh pembelian tanah dan relokasi fasilitas sosial dan umum, seperti gardu listrik, saluran air dan kabel serat optik yang tidak diperkirakan selama tahap perencanaan.
Juru bicara Kementerian BUMN menuturkan ada sejumlah masalah, termasuk perencanaan yang terlalu optimis, manajemen yang buruk, dan COVID-19, yang katanya telah menyusutkan anggaran perusahaan konstruksi negara lain yang terlibat dalam proyek tersebut.
Pejabat sedang menunggu Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) menyelesaikan audit proyek untuk menentukan berapa banyak pemerintah harus membayar demi menyelamatkan jalur kereta api itu, yang dirancang untuk memotong lama perjalanan menjadi 45 menit dari tiga jam.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Penanaman Modal Luhut Panjaitan akan memimpin panitia baru yang terdiri dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi untuk merestrukturisasi PSBI.
Meskipun proyek ini telah 78 persen selesai, tiga dari 13 terowongan masih harus diselesaikan dan kontraktor dihadapkan pada masalah teknik dan lingkungan yang dapat terus menyebabkan penundaan.
Para kritikus khawatir intervensi tersebut akan menjadi preseden buruk bagi perusahaan-perusahaan negara, yang sudah terkenal akan inefisiensi dan korupsinya.
Mereka yang mempertanyakan kelayakan ekonomi dari banyak proyek Sabuk dan Jalan China, termasuk kereta cepat senilai US$6 miliar sepanjang 417 kilometer melintasi Laos, mengatakan akan memakan waktu puluhan tahun sampai kereta cepat Jakarta-Bandung balik modal karena jarak yang pendek dan empat pemberhentian yang dijadwalkan.
Jalur ini direncanakan akan mengangkut 32.000 penumpang per hari, tetapi sudah ada kekhawatiran komuter akan lebih memilih menggunakan jalan tol atau tetap menggunakan layanan kereta api biasa, yang menelan biaya 90.000 rupiah untuk perjalanan sekali jalan, kurang dari sepertiga dari proyeksi tiket kereta cepat.
Secara keseluruhan, laporan AidData mencatat 13.427 proyek senilai US$843 miliar di 165 negara selama periode 18 tahun, mendasarkan penunjukan ODA dan OOF pada tingkat konsesi keuangan yang diberikan dan apakah tujuan proyek tersebut adalah pengembangan atau komersial.
Sejak peluncuran Inisuatif Sabuk dan Jalan pada 2013, tercatat China telah mempertahankan rasio pinjaman terhadap hibah 31 banding 1 dan rasio OOF terhadap ODA 9 banding 1, dengan bank-bank milik negara mengorganisir sindikasi dan kesepakatan pembiayaan bersama lainnya yang memungkinkannya untuk melakukan proyek infrastruktur besar.
Dengan menggunakan sumber terbuka, para peneliti menilai 35 persen dari portofolio proyek infrastruktur BRI, yang melibatkan 140 negara, telah menghadapi masalah implementasi besar, seperti skandal korupsi, pelanggaran perburuhan, kerusakan lingkungan, dan protes publik.
Laporan tersebut menemukan beban utang China secara substansial lebih tinggi daripada yang dipahami sebelumnya, yang memungkinkan Beijing untuk mengekstraksi pertukaran politik dan ekonomi.
Indonesia berada di urutan keempat dalam daftar ODA dengan nilai US$4,42 miliar, di belakang Irak, Korea Utara dan Ethiopia, dan keenam di antara negara-negara OOF dengan US$29,96 miliar, sebagian besar terdiri dari pinjaman dan kredit ekspor dengan harga mendekati harga pasar. Dalam kategori itu, Indonesia membuntuti Rusia, Venezuela, Angola, Brasil, dan Kazakhstan.
Laporan AidData mencantumkan 72 proyek BRI Indonesia senilai total US$21 miliar. Dikatakan sembilan dari mereka, senilai US$5,2 miliar, telah dinodai oleh skandal, kontroversi, atau dugaan pelanggaran. Empat dari mereka terkait langsung dengan "kesalahan keuangan."
Indonesia juga tidak berhasil di bidang lain, dengan enam proyek senilai US$4,6 miliar dilaporkan merugikan masyarakat atau menyebabkan kerusakan pada ekosistem lokal. Pelaku utamanya adalah pembangkit listrik tenaga batu bara 700MW di Sumatera Selatan, yang dibiayai oleh Industrial and Commercial Bank of China (ICBC), Bank of China, dan China Construction Bank.
Pada Maret tahun lalu, lebih dari 100 pekerja konstruksi melakukan pemogokan untuk memprotes pelanggaran kesehatan dan keselamatan, diskriminasi di tempat kerja, PHK ilegal, dan kegagalan untuk memberikan upah lembur. Pabrik tersebut juga menyebabkan banjir dan kerusakan pada perkebunan kelapa sawit di dekatnya, menurut laporan tersebut.
- Source : www.matamatapolitik.com