Miris! Laporan Kekayaan Pejabat Negara Kian Melimpah Saat Pandemi. 42% Malah Belum Lapor
Fakta banyak warga dan pelaku usaha terganggu, terpukul, bahkan hancur perekonominya gara-gara pandemi Covid 19 memang nyata senyata-nyatanya. Di masa seperti sekarang ini, jangankan memikirkan laba, bisa bertahan tidak minus dan tidak gulung tikar saja sudah masuk kategori sangat beruntung.
Namun tidak semua pihak mengalami ketragisan yang sama. Di saat pandemi yang membuat turun bahkan menghancurkan banyak sektor ini, justru ada pihak-pihak lain yang makin bertambah kekayaannya. Salah satunya adalah kekayaan para pejabat di Indonesia. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mencatat 70% penyelenggara di Indonesia justru memiliki harta yang kian melimpah selama pandemi Covid 19.
Rata-rata bertambah Rp1 miliar kebanyakan di kategori kementerian sebesar 58 persen; DPR/MPR 45 persen; gubernur/wakil 30 persen; DPRD Provinsi 23 persen; 18 persen bupati wali kota, dan terkecil DPRD Kota/kabupaten 11 persen.
Enak betul ya jadi pejabat negara di Indonesia. Saat pandemi di mana sebagian besar masyarakat sibuk jatuh bangun bertahan hidup, harta para penyelenggara negara ini justru kian bertambah. Tak heran akhirnya jika banyak yang mengincar kursi pejabat dengan segala cara termasuk menghalakan cara-cara licik nan keji demi memenangkan jabatan.
Yang harus digarisbawahi adalah: saya tidak anti dengan kursi pejabat negara. Dengan catatan raihlah itu semua dengan adu ide, gagasan dan prestasi untuk membangun negara. Bukan dengan kelicikan demi menggemukkan pundi-pundi pribadi dan golongannya sendiri. Seperti itu jugalah kita harus menggarisbawahi jika LKHPN besar itu bukan dosa. Ada kenaikan kekayaan juga belum tentu korup.
Mungkin saja nilai aset kekayaannya naik. Bisa juga saham di perusahaannya juga sedang naik. Mungkin juga ada proses jual beli yang mendatangkan keuntungan secara signifikan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi sehingga kita tak boleh main hajar saja menyimpulkan jika hartanya naik berarti dia korupsi ngembat duit rakyat. Kita tidak bisa pukul rata seperti itu.
Sebab sekalipun harta kekayaan tercatat turun, jika sedari awal si pejabat tidak jujur saat melaporkan juga sama saja bohong. Hartanya tidak dilaporkan secara lengkap keseluruhan supaya dicatat turun di laporan. Ini kategorinya dosa mengelabuhi. Jadinya ada potensi terindikasi korupsi karena tidak mau melaporkan semuanya apa adanya. Ada yang ditutupi bahkan disembunyikan pertanda ada sesuatu yang mencurigakan.
Jadi, kesimpulan soal harta kekayaan pejabat yang harus kita cermati adalah tentang keberanian dan kejujuran mereka mau melaporkan semua harta kekayaannya atau tidak. Perkara jumlah kekayaan mereka akhirnya naik atau turun biarlah menjadi urusan komisi atau lembaga yang punya wewenang untuk menghitung sekaligus menyatakan pertambahan kekayaan itu kategorinya wajar atau tidak.
Pahala Nainggolan selaku Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK sudah memberikan pernyataan resmi di akun YouTube KPK RI jika selama 1 tahun terakhir pandemi, secara umum dari 70% penyelenggara negara yang hartanya bertambah tadi kategori pertambahannya sudah dinilai masih dalam kategori wajar.
Jadi indikatornya adalah ketaatan dan kepatuhan pejabat negara dalam hal penyampaian LHKPN. Yang harus kita sorot adalah siapa saja yang sudah melapor dan siapa saja yang belum melapor bahkan tidak mau melapor. Berani melapor identik dengan berani mempertanggungjawabkan semua harta kekayaannya diobok-obok dinilai kewajarannya oleh lembaga yang berwenang. Belum melapor bahkan tidak mau melapor identik dengan menyembunyikan sesuatu yang tidak wajar. Takut ketahuan makanya tak mau melapor. Sebab berani karena benar, takut karena salah.
Sekarang mari kita intip siapa saja yang sudah melapor dan belum melapor berdasarkan data LHKPN yang dipublish di website KPK. Jokowi beserta para Menteri Kabinet Indonesia Maju semuanya sudah melapor kecuali Tito Karnavian. Nah loooo.
KPK juga mencatat per 6 September 2021, anggota DPR RI yang sudah melaporkan diri sebanyak 330 anggota dari total kewajiban laporan sebanyak 569 anggota. Itu artinya 58% sudah melapor. Sedangkan 42% yaitu 239 anggota belum melapor.
Hal inilah yang harus kita cermati. Saat pejabat lainnya sudah pada melapor kenapa masih saja ada pejabat yang bandel belum melapor seperti ini. Padahal ketika menuju pemilihan legislatif lalu, 100 persen para calon anggota Dewan tersebut patuh melaporkan LHKPN sebagai syarat pencalonan dari KPU.
Hebat banget ya kelakuannya. Mentang-mentang sekarang sudah jadi pejabat lalu pada molor bahkan tak mau melaporkan LHKPN lagi. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ada perintah untuk melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara. Pasal 5 Ayat 2 yang menyebutkan bahwa penyelenggara negara wajib memberikan laporan tentang harta kekayaan negara baik sebelum, selama, dan setelah melakukan atau menduduki jabatan.
Lucunya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku politikus dari Partai Gerindra mengatakan jika alasan banyaknya anggota DPR belum menyampaikan LHKPN karena terhambat oleh kebijakan work form home (WFH). Menurut Sufmi Dasco, para anggota Dewan biasanya dibantu oleh staf dan tenaga ahlinya untuk melaporkan LHKPN. Pembuatan laporan jadi terhambat karena para staf dan tenaga ahli menerapkan WFH.
Mantap betul ngelesnya ya. Pertanyaan saya cuma 1 untuk dijawab oleh Sufmi Dasco dan para anggota dewan yang belum melaporkan harta kekayaannya. Jika pandemi dan WFH dijadikan alasan belum bikin LHKPN, menurut kalian 330 anggota dewan lainnya yang sudah melaporkan LHKPN itu tidak terkena pandemi dan tidak WFH ya Pak??? Yang terkena pandemi dan menerapkan WFH cuma 239 anggota belum melapor itu???
Aneh khan jadinya. Setahu saya pandemi ini menimpa semuanya termasuk 569 anggota dewan yang ada. Saat 330 anggota bisa taat patuh melaporkan LHKPN, lha kok berani-beraninya 239 anggota lainnya belum membuat laporan dengan alasan kena pandemi dan WFH seakan-akan 330 anggota lainnya tidak terkena pandemi dan tidak WFH. Ini jelas alasan yang dicari-cari.
Begitu juga dengan Pak Tito. Saat Jokowi beserta seluruh jajaran Kabinet Indonesia Maju sudah pada melapor, justru Tito Karnavian selaku mantan Kapolri malah belum melapor entah apa alasannya.
Akhirnya saya bisa mengambil kesimpulan. Menjadi pejabat negara yang mewakili rakyat adalah sebuah kepercayaan. Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat bisa dipercaya mengelola uang rakyat jika melaporkan harta kekayaannya sendiri sudah ruwet memakai alasan yang tak masuk akal?
Sumber referensi:
- Source : seword.com