www.zejournal.mobi
Selasa, 19 November 2024

Muka Dua, Eropa Bungkus Islamofobia sebagai Kebebasan dan Demokrasi

Penulis : Aziza Larasati | Editor : Anty | Senin, 17 Mei 2021 12:55

Rasisme dan Islamofobia Eropa bersembunyi di balik kata-kata seperti kebebasan dan demokrasi, untuk menghasut kekerasan terhadap Muslim, Direktur Komunikasi Turki Fahrettin Altun menyatakan pada Sabtu (17/4), menyerukan kepada komunitas internasional untuk “memadamkan api kebencian dengan pesan perdamaian Islam”.

Para pemimpin rasis di Eropa tidak menanggapi pesan perdamaian di masa lalu, Altun menulis di Twitter dan berkata, “Mereka tidak akan menanggapinya sekarang.”

Altun juga menerbitkan video tentang masalah yang menggarisbawahi bahwa ekstremisme sayap kanan adalah masalah yang berkembang di benua Eropa, dan merupakan ideologi yang dipicu oleh rasisme, Islamofobia, xenofobia, dan anti-Semitisme.

“Meningkatnya popularitas kelompok sayap kanan di seluruh UE (Uni Eropa) merupakan perkembangan yang sangat mengkhawatirkan. Setelah bertahun-tahun terpinggirkan, gerakan yang diilhami kebencian ini menjadi arus utama di banyak negara barat,” bunyi video Direktorat Komunikasi, memberikan contoh perwakilan sayap kanan benua itu, catat Daily Sabah.

Di Prancis, pemimpin politik sayap kanan Marine Le Pen mendorong agenda xenofobia dan anti-Islam, katanya, menunjukkan bahwa dia telah membandingkan Muslim yang salat di jalan-jalan dengan pendudukan Nazi di Prancis, dan mengusulkan pelarangan jilbab yang dikenakan oleh perempuan Muslim.

Selain itu, pada Januari, sebuah komisi khusus di Majelis Nasional Prancis menyetujui “piagam nilai-nilai republik” Islam yang diperkenalkan tahun lalu oleh Macron, sebagai bagian dari perang melawan “separatisme”.

RUU itu diumumkan pada 2 Oktober oleh Macron, yang mengklaim bahwa undang-undang itu diperlukan untuk memerangi apa yang disebut “separatisme” Islam, yang memicu kritik dan penolakan dari komunitas Muslim.

Undang-undang tersebut dikritik karena menargetkan komunitas Muslim, dan memberlakukan pembatasan di hampir setiap aspek kehidupan mereka. Ini memungkinkan campur tangan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi masjid, sambil mengontrol keuangan asosiasi dan organisasi non-pemerintah (LSM) milik Muslim, lapor Daily Sabah.

Seorang pengunjuk rasa memegang spanduk bertuliskan “Katakan Tidak untuk Rasisme—Pengungsi dan Migran Diterima—Hentikan Islamofobia” dalam sebuah aksi untuk Resham Khan dan Janeel Muhktar yang diserang dengan asam sulfat di London, Inggris, pada tanggal 5 Juli 2017. Muhktar telah menyatakan bahwa serangan itu adalah kejahatan kebencian, dan percaya bahwa ‘ini ada hubungannya dengan Islamofobia’. Polisi memeriksa John Tomlin sehubungan dengan kejahatan itu. (Foto: Anadolu Agency/Ray Tang)

Direktorat Komunikasi Turki selanjutnya menyatakan, anggota Partai Kebebasan Populis sayap kanan Austria “terkenal dengan pandangan Islamofobia mereka, dan terus-menerus menargetkan Muslim dengan ujaran kebencian.”

Pemimpin partai, Norbert Hofer, mengatakan, Alquran lebih berbahaya daripada COVID-19, tambahnya.

“Partai terbesar ketiga Swedia, sayap kanan Demokrat Swedia, berkampanye tentang retorika anti-migran. Pemimpin partai Jimmie Akesson menyebut Islamisme sebagai Nazisme dan komunisme di zaman kita,” ujar direktorat itu.

Di Belanda, Geert Wilders dan Party for Freedom menargetkan Muslim dengan retorika Islamofobia. Wilders telah menyarankan untuk memberlakukan pajak pada wanita yang mengenakan jilbab, dan menutup perbatasan Belanda untuk imigran Muslim.

Direktorat itu juga menunjukkan, Wilders menargetkan Ramadan baru-baru ini. Wilders, yang dikenal dengan sikap anti-Muslimnya, mengunggah video yang mengatakan “hentikan Islam, hentikan Ramadan.”

“Islam bukan milik Belanda,” ujar Wilders pekan lalu, dikutip Daily Sabah.

“Islam adalah banyak wajah ekstremisme sayap kanan di Eropa,” video itu menyimpulkan.

Serangan rasis yang menargetkan Muslim atau imigran di Eropa semakin menjadi berita utama, seiring supremasi kulit putih menjadi lebih efisien di zaman di mana prinsip-prinsip mereka (atau setidaknya sebagian dari mereka) menjadi arus utama.

Tidak ada satu kelompok besar pun yang mengatur serangan terhadap Muslim dan imigran ini. Sebaliknya, serangan individu menyebabkan lebih banyak serangan tiruan.

Iklim politik yang toleran dengan dalih kebebasan berbicara, telah membantu simpatisan sayap kanan dengan kecenderungan kekerasan memperluas dukungan mereka.

Jerman, misalnya, telah mencatat kejahatan Islamofobia secara terpisah sejak 2017. Pada 2018, terdapat 910 insiden, termasuk 48 serangan terhadap masjid saja, sedikit lebih rendah dibandingkan pada 2017 dengan 1.095 kejahatan.

Setiap hari sepanjang 2019, masjid, lembaga Islam, atau perwakilan agama di Jerman menjadi sasaran serangan anti-Muslim. Lebih dari 90% di antaranya dikaitkan dengan kejahatan bermotif politik oleh sayap kanan.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdo?an mengatakan awal tahun ini, negara-negara Barat bersikeras untuk tidak mengambil tindakan terhadap sentimen anti-Islam yang berkembang. Erdogan juga meminta lembaga-lembaga Turki untuk mengambil tindakan terhadap masalah yang terkait dengan Muslim dan Turki di negara-negara ini. Beberapa negara Eropa, terutama Prancis, telah mengambil sikap bermusuhan terhadap Muslim dalam beberapa tahun terakhir, dinukil dari Daily Sabah.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar