Ketika Kebijakan Pemerintah Justru Menjadi Bumerang
Menurut saya kehadiran Jokowi di pernikahan Atta dan Aurel menjadi blunder besar. Tidak seharusnya seorang presiden hadir menjadi saksi pernikahan artis di tengah pandemi covid-19. Menjadi blunder besar karena sebelumnya pemerintah telah membuat rentetan kebijakan untuk menekan penularan covid-19. Kebijakan-kebijakan ini cukup kontroversi dan cukup meresahkan masyarakat.
Kehadiran Jokowi di pernikahan Atta dan Aurel sebenarnya akan biasa-biasa saja dan tidak akan menjadi masalah besar asalkan pemerintah sebelumnya tidak melakukan hal-hal berikut:
Pertama, membatasi atau melarang kegiatan yang memunculkan kerumunan seperti pengajian, ibadah berjamaah, konser, pembelajaran tatap muka, serta hajatan pernikahan. Faktanya, pemerintah membuat kebijakan melarang kegiatan yang membuat tercipta kerumunan. Bahkan tidak sedikit kegiatan hajatan pernikahan warga dibubarkan oleh aparat. Konon ada juga yang membayar denda cukup besar. Warga ditakut-takuti dengan ancaman penjara dan denda yang cukup besar.
Kedua, mempermasalahkan hajatan pernikahan yang digelar oleh Rizieq. Bukti pemerintah mempermasalahkan hajatan yang digelar oleh Rizieq adalah dengan ditangkapnya Rizieq oleh aparat kepolisian. Langkah aparat menindak tegas Rizieq karena menggelar hajatan dengan ribuan tamu undangan sebenarnya sudah mendapat apresiasi positif dari masyarakat. Pemerintah dinilai tegas dan berani menindak Rizieq. Rizieq yang begitu pongah dibuat tak berdaya.
Ketiga, bekali-kali membuat kebijakan PSBB atau PPKM yang jelas-jelas menyusahkan rakyat kecil. PSBB membuat para pedagang kehilangan banyak omzet penjualan sebab banyak masyarakat yang memilih berdiam diri di rumah. Jam para pedagang berjualan juga dibatasi. Hal ini membuat pendapatan mereka menurun.
Keempat, melarang mudik lebaran. Soal larangan mudik lebaran, pemerintah sebenarnya cukup ambigu dalam membuat kebijakan ini. Sebab, sebelumnya pemerintah telah mengurangi libur lebaran. Untuk apa libur lebaran dipangkas jika masyarakat masih dilarang mudik? Lebih ambigu lagi, justru masyarakat yang tidak mudik disarankan oleh menteri pariwisata untuk datang mengunjungi tempat wisata di sekitar.
Ketika pemerintah membuat kebijakan larangan mudik, asumsinya situasi dan kondisi di Indonesia masih belum aman dari covid-19. Indonesia masih berjuang keras melepaskan diri dari cengkraman covid-19. Idealnya, pemerintah seharusnya berusaha keras membatasi atau kalau perlu melarang pesta pernikahan siapapun termasuk artis. Jika ada artis yang hendak menggelar pesta pernikahan secara mewah dan mengundang banyak orang, seharusnya ditegur atau kalau perlu diberi sanksi, atau diperbolehkan asalkan dilaksanakan secara sederhana dan tidak mengundang banyak orang.
Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Boro-boro menegur, melarang, atau memberikan sanksi kepada Atta dan Aurel yang menggelar pesta pernikahan dengan sangat mewah, Jokowi selaku presiden beserta Prabowo selaku Menteri Pertanahan, bahkan Ketua MPR, Bambang Susatyo justru malah hadir di persidangan Atta dan Aurel. Jokowi dan Prabowo bahkan malah menjadi saksi dalam pernikahan tersebut.
Hal ini jelas membuat masyarakat kecewa. Aturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti sebuah lelucon saja. Aturan dan kebijakan pemerintah seperti hanya untuk masyarakat biasa dan rakyat kecil. Untuk para pejabat, selebritis, serta orang kaya peraturan dan kebijakan ini tidak berlaku.
Saya tidak tahu apakah pemerintah merasa bersalah atau justru biasa saja. Saya tak tahu apakah Jokowi bersedia meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat. Jika tak merasa bersalah dan tak ada kata maaf, lebih baik berhenti membuat kebijakan dan aturan yang hanya menyusahkan rakyat. Berhenti membuat kebijakan jika belum bisa memberikan contoh yang baik.
Masyarakat itu manusia merdeka, bukan budak bodoh yang bisa seenaknya disuruh-suruh oleh tuannya. Pemerintah tidak boleh merasa hebat dan merasa lebih berjasa dibanding rakyat. Tanpa dukungan dari rakyat, pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah diangkat oleh rakyat untuk membuat kebijakan yang mendatangkan maslahat untuk rakyat, bukan untuk sebagian golongan. Ketika pemerintah membuat aturan dan kebijakan, bukan hanya rakyat yang harus mematuhi, tapi juga pemerintah.
Nampaknya beberapa kebijakan pemerintah, khususnya terkait penanganan covid-19 telah menjadi bumerang. Namun sayangnya, sepertinya pemerintah tidak menyadari hal itu. Mungkin suara rakyat hanya dianggap angin lalu. Pemerintah hanya mau memerintah, mengatur, dan menyuruh. Tapi untuk melakukan, nanti dulu. Entah bagaimana nanti pemerintah mempertanggugjawabkan.
- Source : seword.com