Jepang Salahkan 'Kemampuan Romantis' Penyebab Turunnya Angka Kelahiran
Tokyo - Chika Hashimoto (23) baru saja lulus dari Universitas Temple Tokyo. Ia tidak menolak berkeluarga di masa depan, tetapi menikah dan punya anak bukan pilihan pertamanya
"Memiliki karir dan menikmati kebebasan jauh lebih penting daripada menikah dan memiliki anak," katanya kepada Aljazeera, Selasa (28/2).
Hashimoto mengutip masalah ekonomi sebagai alasan utama mengapa dia, dan banyak wanita muda Jepang lainnya, mengevaluasi kembali masa depan yang berpusat pada kehidupan keluarga.
"Membesarkan anak benar-benar menghabiskan banyak uang," ujarnya. "Tidak mudah bagi wanita Jepang untuk menyeimbangkan karir dan membesarkan keluarga. Kami harus memilih salah satu di antaranya," ia menambahkan.
Jepang sedang menghadapi krisis demografi. Jumlah kehairan tahunan menurun di bawah 800 ribu bayi pada 2022, terendah sepanjang sejarah modern mereka.
Tingkat kelahiran 1,34 jauh di bawah 2,07 untuk bisa menjaga kestabilan populasi. Itu artinya jumlah penduduk Jepang sebanyak 125 juta akan menjadi hanya 88 juta pada tahun 2065.
Perdana Menteri Fumio Kishida pun khawatir. "Jepang berada di ambang apakah kita dapat terus berfungsi sebagai masyarakat," katanya.
Jepang adalah negara termahal ketiga untuk membesarkan anak, setelah China dan Korea Selatan. Di sisi lain, gaji tahunan rata-rata hampir tidak meningkat sejak akhir 1990-an, yakni 39 ribu dolar AS, setara Rp 594 juta. Angka ini termasuk terendah di antara kelompok negara makmur (OECD) yang mencapai 50 ribu dolar.
Maki Kitahara (37) pernah berencana punya anak ketika menikah beberapa tahun lalu. Tapi manajernya mengatakan bahwa perempuan hamil dan punya anak akan merusak promosi SDM. Akhirnya ia memilih bercerai.
"Sejujurnya, saya takut kehilangan karir,” ujarnya. Menurutnya, perasaan serupa dialami perempuan karir lainnya ketika harus berhadapan dengan pilihan: menikah dan punya anak atau karir.
Kepada Japan Times, akademisi Kozue Kojima mengungkapkan ketika perempuan lajang Jepang hamil, mereka hanya memiliki dua pilihan: aborsi atau menikah dengan enggan. "Memiliki anak di luar nikah jarang dianggap sebagai sebuah pilihan," ia menjelaskan.
Alasan meningkatnya keengganan orang Jepang untuk menikah adalah juga karena 'kemampuan romantis' mereka menurun. Teori ini disampaikan anggota parlemen dari Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa, Narise Ishida. Kemampuan romantis berkaitan dengan rasa percaya diri dan kekhawatiran akan penolakan dari lawan jenis --terutama dialami pria lajang.
Menurutnya, banyak pria lajang menganggap perempuan karir lebih materialistis. Ia merujuk pada survei bahwa perempuan Jepang hanya akan menikah dengan pria berpenghasilan 5 juta Yen, setara Rp 559,4 juta, setahun.
Seorang warganet merespon teori 'kemampuan romantis' dengan sinis. "Wanita Jepang memilih bayi berbulu (binatang peliharaan; red), karier, dan kehidupan yang lebih santai. Pria Jepang lebih memilih oshi, hobi, dan tanggung jawab ekonomi yang lebih sedikit," ujar pemilik akun virusrex.
- Source : www.publica-news.com