www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Budak Seks ISIS Akhirnya Bertemu Anak-Anak Mereka

Penulis : Nur Hidayati | Editor : Anty | Senin, 15 Maret 2021 09:40

Para perempuan Yazidi yang dibebaskan dari perbudakan seksual di bawah ISIS, dipaksa menyerahkan anak-anak mereka. Dua tahun kemudian, beberapa dari budak seks ISIS itu mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkan anak-anak mereka kembali.

Sembilan ibu muda bergegas ke sebuah pos perbatasan Suriah, mencari putra dan putri yang diambil dari mereka dua tahun lalu, anak-anak yang mereka pikir tidak akan pernah mereka jumpai lagi.

Anak-anak yang kebingungan itu, mengenakan jaket yang kebesaran dari panti asuhan tempat mereka berasal, kebanyakan terlalu kecil untuk mengingat ibu mereka. Mereka mulai menangis ketika para wanita yang terisak-isak memeluk dan mencium mereka dan kemudian membawa mereka menjauh dari pekerja panti asuhan yang merupakan satu-satunya pengasuh yang mereka kenal.

“Saya sangat bahagia, tapi itu sangat mengejutkan bagi kami berdua,” kata seorang ibu kepada The New York Times. Dia mengatakan dia telah menanti-nanti untuk melihat putrinya lagi selama hampir dua tahun. “Dia belum terbiasa dengan saya.”

Putrinya sekarang telah berusia 2 setengah tahun.

Operasi rahasia di perbatasan Suriah-Irak minggu lalu, yang disaksikan oleh wartawan The New York Times, sejauh ini merupakan satu-satunya reuni wanita Yazidi asal Irak dengan anak-anak mereka.

Penderitaan para wanita ini, yang selamat dari kengerian yang hampir tak terbayangkan dalam lima tahun penahanan, adalah salah satu dari banyak catatan kaki tragis tetapi paling tidak diketahui dalam kisah penaklukan ISIS atas sebagian besar wilayah Irak dan Suriah pada 2014.

Bagi mereka, ceritanya masih jauh dari selesai, jalan ke depan masih belum pasti.

Bagi komunitas Yazidi, minoritas agama di Irak utara, anak-anak itu adalah penghubung langsung dengan militan ISIS yang membantai ribuan Yazidi dan menangkap 6.000 lainnya. Para tetua Yazidi mengatakan mereka tidak akan menerima anak-anak itu kembali ke masyarakat, dan salah satu orang bahkan mengatakan anak-anak tersebut berisiko dibunuh jika ibu mereka membawa mereka pulang, lapor The New York Times.

Ketika para wanita muda itu dibebaskan dengan jatuhnya bagian terakhir wilayah ISIS di Suriah dua tahun lalu, mereka menghadapi pilihan yang memilukan: Jika mereka ingin kembali ke keluarga mereka di Irak, mereka harus meninggalkan bayi mereka. Banyak yang diberi tahu bahwa mereka akan dapat mengunjungi anak-anak mereka.

Sekarang mereka terpaksa memilih lagi. Para wanita yang menyeberangi perbatasan Suriah-Irak pada Kamis (4/3) pekan lalu harus memutuskan hubungan dengan orang tua, saudara kandung, dan desa yang mereka sebut rumah jika ingin mendapatkan anak-anak mereka kembali.

“Tidak ada yang dapat benar-benar memahami betapa besar langkah yang diambil para wanita ini, risiko apa yang mereka ambil, betapa beraninya mereka,” kata Dr. Nemam Ghafouri, dokter Irak-Swedia yang berperan penting dalam transfer tersebut.

Sekitar 30 anak lagi (yang ibunya terlalu takut untuk meminta mereka kembali atau memutuskan untuk tidak mengambil mereka) tetap tinggal di panti asuhan di timur laut Suriah.

Untuk saat ini, sembilan wanita dan 12 anak mereka bersembunyi di sebuah rumah aman di lokasi yang dirahasiakan di Irak. Dijanjikan perlindungan di negara Barat oleh penyelenggara reuni, mereka sangat berharap negara lain akan menerima mereka.

Salah satu mantan diplomat AS, Peter W. Galbraith, yang mengatur reuni lintas batas dan garis partai politik itu, membujuk bantuan dari pemerintah yang sebelumnya acuh tak acuh. Galbraith, yang memiliki hubungan dekat dengan otoritas Kurdi di Irak dan Suriah, mengatakan dia telah menghabiskan lebih dari satu tahun mencoba untuk mendapatkan persetujuan untuk mengizinkan beberapa wanita untuk mengambil kembali anak-anak mereka dan membawa mereka ke Irak. Misi itu sempat tertunda karena pandemi.

Galbraith mengatakan, salah satu pejabat Gedung Putih yang tidak disebutkan namanya telah membantu membersihkan rintangan terakhir, dengan menelepon seorang jenderal Kurdi-Suriah yang merupakan sekutu AS.

Bagi para wanita itu, mimpi buruk dimulai ketika kekuatan ISIS menyapu Irak utara pada 2014, menyatakan wilayah itu sebagai kekhalifahan Islam. Kelompok teroris menganggap Yazidi kafir. Ketika militan ISIS tiba di tanah air Yazidi pada Agustus itu, mereka memisahkan pria dan anak laki-laki yang lebih tua dan membantai hingga 10.000 dari mereka dalam apa yang dinyatakan oleh PBB sebagai genosida.

Sekitar 6.000 wanita dan anak-anak ditangkap, dan banyak yang dijual kepada militan ISIS. Mereka diperlakukan sebagai properti sekali pakai, berulang kali diperkosa, diperdagangkan, dan dijual sesuka hati.

Ketika ISIS diusir dari tenggara Suriah pada awal 2019, sebagian besar wanita Yazidi dibebaskan dan dibawa bersama anak-anak mereka ke rumah singgah. Mereka diberitahu oleh tetua Yazidi bahwa mereka boleh pulang tetapi mereka harus meninggalkan anak-anak mereka. Banyak dari anak-anak itu dibawa ke panti asuhan yang dikelola Kurdi.

Beberapa wanita yang bukan Yazidi, termasuk beberapa yang merahasiakan etnis mereka demi menjaga anak-anak mereka, dibawa ke Al Hol, kamp penahanan kumuh di timur laut Suriah untuk istri dan anak-anak militan ISIS. Terlepas dari kondisi kamp, seorang ??wanita dengan anak berusia 2 setengah tahun berpura-pura menjadi orang Arab agar dia bisa tinggal di sana dan menjaga anaknya, catat The New York Times.

Selama hari-hari terakhir kekhalifahan, ketika serangan udara pimpinan Amerika menghantam Baghuz, Suriah, dan dia terluka oleh pecahan peluru, dia berjuang untuk menjaga bayinya tetap hidup. Dia memberi makan tepung yang dicampur dengan air agar dia tidak kelaparan. Dia menjahit pakaian bayi dari potongan kain dari bajunya sendiri.

Dia bertekad untuk menjaga anak yang telah dia perjuangkan dengan keras agar tetap aman.

Namun setelah enam bulan, dia dipaksa untuk mengaku bahwa dia adalah Yazidi. Dia kemudian dibawa ke rumah singgah, tetapi menolak untuk pergi tanpa putrinya.

Keluarganya memintanya untuk kembali.

“Keluarga saya menelepon dan berkata, ‘Kembalilah, dan kamu bisa kembali menemuinya,’” kata wanita itu.

Setelah tiga bulan, dia setuju dan kembali ke Sinjar. Namun seperti wanita lain, dia tidak diizinkan oleh keluarganya dan komunitas Yazidi untuk melihat anaknya lagi.

Para wanita itu tidak diizinkan berbicara dengan anak-anak mereka melalui telepon. Staf panti asuhan telah mengirim foto dan video anak-anak mereka, tetapi tidak lagi setelah para tetua Yazidi meminta mereka untuk berhenti melakukan itu tahun lalu.

Ketika mereka tidak lagi mendapat kiriman foto anak-anak mereka, para wanita itu khawatir bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada anak-anak tersebut. Beberapa mengatakan mereka ingin bunuh diri.

Dikutip dari The New York Times, para tetua dan pemimpin agama Yazidi khawatir dengan para ayah.

Membawa anak-anak teroris ISIS ke Sinjar “akan menghancurkan komunitas Yazidi,” kata Baba Sheikh Ali Elyas, otoritas agama tertinggi Yazidi, dalam wawancara minggu ini dengan The New York Times. “Ini sangat menyakitkan bagi kami. Ayah dari anak-anak ini membunuh orang tua dari para penyintas itu. Bagaimana kami bisa menerimanya?”

Selain itu, hukum Irak menetapkan, anak dari ayah Muslim adalah Muslim, sehingga anak tersebut tidak dapat dianggap sebagai Yazidi. Keyakinan Yazidi tidak mengizinkan mualaf, bahkan jika hukum Irak mengizinkan konversi dari Islam.

Pemimpin Yazidi lainnya, Pangeran Hazem Tahsin Bek, mengatakan anak-anak itu akan berada dalam bahaya jika mereka kembali bersama ibu mereka.

“Keluarga bisa mentolerir para wanita itu, tapi mereka tidak akan menanggung anak mereka,” katanya. Dia bahkan mengatakan ada kemungkinan anak-anak itu akan dibunuh.


Berita Lainnya :

Nadia Murad, penyintas Yazidi, advokat, dan pemenang Nobel Perdamaian, mengatakan dia yakin para wanita itu harus diizinkan untuk memutuskan apakah mereka mau dipersatukan kembali dengan anak-anak mereka atau tidak.

“Mereka tidak punya pilihan,” katanya kepada The New York Times. “Mereka harus mendapatkan bantuan dan memutuskan apa yang mereka inginkan.”

Beberapa wanita mengatakan mereka berharap mereka dan anak-anak mereka bisa direlokasi ke negara ketiga.

Sebagian besar, tetapi tidak semua anak, mulai terikat dengan ibu mereka.

Ibu dari anak berusia 5 tahun yang diwawancarai The New York Times mengatakan dia masih berjuang untuk membuat putrinya bersikap ramah padanya. Anak kecil itu menangis ketakutan saat dibawa pergi dari panti asuhan. Namun wanita itu berkata dia bertekad untuk menemukan kehidupan baru bagi mereka.

“Tidak ada yang bisa membuat kita hidup jauh dari satu sama lain lagi,” katanya.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar