Korsel Cari ART Murah Agar Keluarga Muda Mau Punya Anak
Seoul - Kim (34) pusing tujuh keliling gajinya habis untuk membayar pengasuh dua putrinya yang masih balita. Di Seoul, ibukota Korea Selatan, gaji seorang babbysitter rata-rata 2,8 juta won per bulan, setara Rp 32,7 juta.
Padahal pendapatan rata-rata rumah tangga --suami istri bekerja-- sekitar 5,8 juta won. Artinya, separo pendapatan mereka untuk membayar asisten rumah tangga (ART).
"Harga pasaran pembantu rumah tangga ini terlalu tinggi," kata Kim kepada Korea JoongAng Daily, Sabtu (17/6). "Semua gaji saya habis untuk membayar pengasuh anak."
Gaji babbysitter yang tinggi ini membuat Walikota Seoul Oh Se-hoon mengusulkan rancangan undang-undang membuka keran 'impor' pembantu rumah tangga asing. Ia menilai gaji tersebut membebani keluarga muda.
Ia membandingkan dengan Singapura yang membayar ART sebesar 380 ribu-760 ribu won. Menurut data yang dimiliki Korsel, pekerja Filipina mendapat bayaran 420 dolar AS, setara Rp 6,2 juta. Kemudian Indonesia 400 dolar, Srilanka 370 dolar, dan Myanmar 330 dolar. Adapun Hongkong sebesar 604 dolar AS.
Presiden Yoon Suk-yeol pun sepakat. Ia mengaitkan impor ART ini dengan tingkat kesuburan perempuan Korsel yang rendah --terendah di dunia. Yakni 0,78 pada tahun 2022. Hal ini akibat penduduk malas menikah dan punya anak karena beban ekonomi yang makin tinggi.
Pemerintah akan membuat program percontohan pada paruh kedua tahun ini dengan mengizinkan pekerja dari negara-negara Asia Tenggara. Gaji dipatok sekitar 1 juta won, setara Rp 11,7 juta.
Program ini sekaligus untuk merangsang agar keluarga muda mau memiliki anak dengan mengurangi pos anggaran untuk ART. Di bawah Undang-Undang Peningkatan Ketenagakerjaan Pekerja Rumah Tangga saat ini, upah minimum ART asli Korsel 2 juta won.
Banyak rumah tangga Korsel yang masih menunggu implementasi proyek percontohan tersebut. Seorang ayah berusia 35 tahun yang istrinya segera melahirkan senang bisa mengeluarkan anggaran lebih kecil untuk ART.
"Mempekerjakan ART dengan biaya lebih murah adalah prioritas kami. Kami tidak terlalu peduli dengan etnis mereka, tapi berharap mereka fasih berbahasa Inggris karena kami perlu berkomunikasi," ujarnya.
Ju Young-min (32), ibu seorang anak, juga senang usulan ART asing yang murah. Namun ia mengkhawatirkan keterampilan mereka. Bisakah beradaptasi dengan budaya dan bahasa Korea?
"Saya lebih suka mempekerjakan orang asing yang setidaknya bisa berbicara sedikit bahasa Korea, atau terbiasa dengan cara kami. Jika tidak, akan sulit bagi mereka untuk memberikan pengasuhan anak yang layak," katanya.
Adaptasi terhadap budaya Korea yang rumit itu pula yang membuat Kim tak yakin proposal pemerintah soal ART murah akan berhasil.
"Apa gunanya mengambil tenaga murah, jika pekerjaan mereka tak beres? Akan sia-sia mengeluarkan uang, dan saya tetap tidak tenang di kantor," ujar Kim.
Di Korea, percakapan soal pilihan antara karir dan mengasuh anak sudah terjadi setidaknya dalam tiga tahun terakhir. "Kalau harus memilih, saya akan memilih karir," Kim menegaskan.
Tapi untuk membayar pengasuh anak mereka kerepotan. "Menjadi orang Korea saat ini repot memang," Ju Young-min mengeluh.
- Source : www.publica-news.com