www.zejournal.mobi
Selasa, 19 November 2024

Aliansi Anti-China Bakal Gagal Total, Kenapa?

Penulis : Aziza Larasati | Editor : Anty | Jumat, 29 Januari 2021 10:04

Permainan strategis besar di Asia bukanlah militer, tetapi ekonomi.

Australia, India, Jepang, dan Amerika Serikat memiliki kekhawatiran yang sah tentang China. Sangat tidak nyaman hidup dengan China yang lebih kuat. Sama sahnya bagi mereka untuk berlindung dengan bekerja sama dalam Dialog Keamanan Segi Empat, yang secara informal dikenal sebagai Quad.

Sayangnya, tulis Kishore Mahbubani di Foreign Policy, Quad tidak akan mengubah jalannya sejarah Asia karena dua alasan sederhana: Pertama, keempat negara tersebut memiliki kepentingan dan kerentanan geopolitik yang berbeda. Kedua, dan yang lebih mendasar, mereka berada dalam permainan yang salah. Permainan strategis besar di Asia bukanlah militer, tetapi ekonomi.

Australia adalah yang paling rentan. Ekonominya sangat bergantung pada China. Warga Australia bangga atas tiga dekade pertumbuhan bebas resesi mereka yang luar biasa. Itu terjadi hanya karena Australia secara fungsional menjadi provinsi ekonomi China: Pada 2018-2019, 33 persen ekspornya pergi ke China, sedangkan hanya 5 persen pergi ke Amerika Serikat.

Inilah sebabnya mengapa tidak bijaksana bagi Australia untuk menampar wajah China di depan umum, dengan menyerukan penyelidikan internasional tentang China dan COVID-19. Akan lebih bijaksana untuk melakukan seruan seperti itu secara pribadi.

Sekarang Australia telah menggali dirinya sendiri ke dalam sebuah lubang. Seluruh Asia mengamati dengan saksama untuk melihat siapa yang akan mundur dalam kebuntuan Australia-China saat ini.

Dalam banyak hal, hasilnya sudah ditentukan sebelumnya. Jika Beijing mundur, negara lain mungkin mengikuti Australia dalam mempermalukan China. Karenanya, secara efektif, Australia telah menyudutkan China.

Namun, China bisa menunggu, lanjut Kishore Mahbubani. Seperti yang dikatakan oleh pakar Australia, Hugh White: “Masalah bagi Canberra adalah, China memegang sebagian besar kartu. Kekuasaan dalam hubungan internasional terletak pada negara yang dapat membebankan biaya tinggi pada negara lain, dengan biaya rendah untuk dirinya sendiri. Inilah yang dapat dilakukan China terhadap Australia, tetapi (Perdana Menteri Australia) Scott Morrison dan rekan-rekannya tampaknya tidak memahami hal itu.”

Secara signifikan, pada November 2019, mantan Perdana Menteri Australia Paul Keating memperingatkan sesama warga Australia bahwa Quad tidak akan berfungsi.

“Lebih luas lagi, apa yang disebut ‘Quadrilateral’ tidak berlaku,” ujarnya pada Australian Strategic Forum. “India tetap ambigu tentang agenda AS di China, dan akan melakukan lindung nilai dalam setiap aktivisme melawan China. Kesesuaian antara Jepang dan China juga menjadi bukti, jadi Jepang tidak mendaftar ke program penahanan China apa pun.”

Meskipun India jelas-jelas telah memperkuat posisinya atas China sejak Keating berbicara pada 2019, tampaknya India tidak akan menjadi sekutu AS yang jelas.

Jepang juga rentan tetapi dengan cara yang berbeda, catat Kishore Mahbubani. Australia beruntung memiliki tetangga yang bersahabat di Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Jepang hanya memiliki tetangga yang tidak bersahabat: China, Rusia, dan Korea Selatan.

Jepang memiliki hubungan yang sulit, bahkan tegang, dengan ketiganya. Ia dapat mengelola hubungan yang sulit dengan Rusia dan Korea Selatan; keduanya memiliki ekonomi yang lebih kecil. Tetapi Jepang sangat sadar bahwa mereka sekarang harus menyesuaikan diri dengan China yang jauh lebih kuat lagi. Padahal ini bukanlah fenomena baru. Dengan pengecualian paruh pertama abad ke-20, Jepang hampir selalu hidup damai dengan tetangganya yang lebih kuat, China.

Seperti yang ditulis oleh pakar Asia Timur Ezra Vogel pada 2019, “Tidak ada negara yang dapat dibandingkan dengan China dan Jepang dalam hal lamanya kontak historis mereka: 1.500 tahun.”

Seperti yang dia amati dalam bukunya China and Japan, kedua negara mempertahankan ikatan budaya yang dalam di sebagian besar masa lalu mereka, tetapi China (dengan peradaban dan sumber dayanya yang besar) berada di atas angin.

Jika, selama hampir 1.500 tahun, Jepang dapat hidup damai dengan China, Jepang dapat kembali ke pola itu lagi selama 1.000 tahun ke depan. Namun, seperti dalam lakon Kabuki yang terkenal lamban di Jepang, perubahan dalam hubungan akan sangat kecil dan bertahap, di mana kedua belah pihak bergerak secara bertahap dan halus ke modus vivendi baru.

Mereka tidak akan menjadi teman dalam waktu dekat, tetapi Jepang akan memberi sinyal secara halus bahwa mereka memahami kepentingan inti China. Ya, akan ada banyak masalah di sepanjang jalan, tetapi China dan Jepang akan menyesuaikan secara perlahan dan pasti, Kishore Mahbubani menekankan.

India dan China memiliki masalah yang berlawanan. Sebagai dua peradaban tua, mereka juga hidup berdampingan selama ribuan tahun. Namun, mereka memiliki sedikit kontak langsung, yang secara efektif dipisahkan oleh Himalaya.

Sayangnya, teknologi modern tidak lagi membuat pegunungan Himalaya tak dapat diatasi, sehingga menyebabkan peningkatan jumlah pertemuan tatap muka antara tentara China dan India. Pertemuan semacam itu selalu berujung pada kecelakaan, salah satunya terjadi pada Juni 2020. Sejak itu, badai sentimen anti-China melanda India. Selama beberapa tahun ke depan, hubungan akan menurun.

Namun China akan bersabar, karena waktu akan menguntungkannya. Pada 1980, ekonomi China dan India berukuran sama. Pada 2020, China telah tumbuh lima kali lebih besar. Hubungan jangka panjang antara dua kekuatan selalu bergantung (dalam jangka panjang) pada ukuran relatif kedua perekonomian.

Uni Soviet kalah dalam Perang Dingin karena pengeluaran ekonomi AS dapat jauh melebihi itu. Demikian pula, seperti halnya Amerika Serikat yang memberi China hadiah geopolitik besar dengan menarik diri dari perjanjian perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP) pada 2017, India memberi China bantuan geopolitik utama dengan tidak bergabung dengan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).

Ekonomi adalah tempat permainan besar dimainkan, tulis Kishore Mahbubani. Dengan Amerika Serikat keluar dari TPP dan India keluar dari RCEP, ekosistem ekonomi besar-besaran yang berpusat di China berkembang di wilayah tersebut.


Berita Lainnya :

Berikut adalah satu statistik untuk dipertimbangkan: Pada 2009, ukuran pasar barang ritel di China adalah US$1,8 triliun dibandingkan dengan US$4 triliun untuk pasar tersebut di Amerika Serikat. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya masing-masing adalah US$6 triliun dan US$5,5 triliun. Total impor China dalam dekade mendatang kemungkinan akan melebihi US$22 triliun. Sama seperti pasar konsumen AS yang masif pada 1970-an dan 1980-an mengalahkan Uni Soviet, pasar konsumen China yang masif dan berkembang akan menjadi penentu akhir dari permainan geopolitik besar.

Inilah mengapa latihan angkatan laut Quad di Samudra Hindia tidak akan menggerakkan jarum sejarah Asia. Seiring waktu, kepentingan ekonomi yang berbeda dan kerentanan historis dari keempat negara tersebut akan membuat dasar pemikiran Quad semakin tidak dapat dipertahankan.

Berikut salah satu indikator utamanya: Tidak ada negara Asia lain (bahkan sekutu paling setia AS, Korea Selatan) yang bergegas untuk bergabung dengan Quad. Masa depan Asia akan ditulis dalam empat huruf, RCEP, dan bukan empat huruf dalam Quad, pungkas Kishore Mahbubani.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar