Capitol AS Rusuh, Kenapa Sejumlah Pakar Ogah Sebut Kudeta?
Ilmuwan politik Amerika Serikat Paul Musgrave menjelaskan mengapa beberapa ahli terlalu lama berpegang teguh pada anggapan bahwa kerusuhan seperti yang terjadi di Capitol AS tidak bisa terjadi.
Pada Rabu (6/1) pagi, seperti kebanyakan pagi, asisten profesor ilmu politik di University of Massachusetts Amherst Amerika Serikat Paul Musgrave terbangun dengan membaca serangkaian berita dan buletin politik seperti biasa: Politico Playbook, The Wall Street Journal, dan The Washington Post.
Sebagian besar berita hari itu berkaitan dengan pemilihan putaran kedua pada Selasa (5/1) di negara bagian Georgia, yang tampaknya menyerahkan kendali Senat AS kepada Partai Demokrat. Sejumlah artikel lain membahas pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung dan masa depan perjalanan di dunia pasca-pandemi.
Satu artikel tampak mencolok: artikel David Nakamura di The Washington Post membahas apakah sederet protes dan petisi menentang hasil penghitungan suara Electoral College sudai mencapai level upaya kudeta. Artikel tersebut mengutip beberapa komentator dan sejarawan liberal yang mengatakan bahwa hal itu sudah jelas, tetapi tesisnya seperti hingga Selasa (5/1) berbunyi, “Kita belum memenuhi definisi akademis formal dari percobaan kudeta.”
Beberapa pakar yang dikutip dalam artikel itu mendesak agar tetap tenang dan bahkan menyindir sikap waspada tentang indikasi bahwa pengunjuk rasa yang bertujuan menyebabkan kerusuhan parah bisa merupakan ramalan yang menjadi kenyataan dengan sendirinya. Paul Musgrave dalam analisisnya di Foreign Policy mengaku mengabaikan hal ini dan insiden lain, lantas lanjut bekerja menguji dan menafsirkan teori tentang politik.
Saat Paul Musgrave menulis analisisnya di Foreign Policy beberapa jam kemudian, para perusuh yang dihasut oleh Presiden AS Donald Trump telah menyerbu gedung Capitol Hill. DPR maupun Senat AS telah menangguhkan proses penghitungan suara mereka karena ancaman keamanan. Kabarnya, sejumlah tembakan telah dilepaskan. Foto seorang perusuh yang menduduki kursi Ketua DPR menunjukkan bahwa Capitol Hill pada dasarnya sedang diduduki.
C-SPAN melaporkan bahwa para anggota senior kepemimpinan di cabang legislatif ditahan di “lokasi yang dirahasiakan”. Reporter menolak untuk membocorkan lokasi mereka dengan alasan yang sepenuhnya masuk akal, bahwa hal itu dapat membahayakan keselamatan mereka. Garda Nasional telah dikerahkan.
Saat ini tidak dapat disangkal lagi, Amerika Serikat sedang menyaksikan upaya kudeta kuat untuk merebut kekuasaan, bertentangan dengan kerangka hukum. Presiden Trump telah menyebabkan terhentinya proses yang akan menyatakan pencopotannya dari jabatan.
Mekanisme pemerintahan konstitusional telah ditangguhkan. Rakyat Amerika berada dalam bahaya kehilangan pemerintahan konstitusional pada tingkat yang tak tertandingi bahkan selama Perang Sipil, periode ketika pemisahan diri belahan selatan AS tidak menunda penyelenggaraan pemilu atau peralihan kekuasaan antar presiden.
Dengan kata lain, momen yang dihadapi rakyat Amerika lebih mirip dengan kudeta pada Agustus 1991 yang berusaha menyingkirkan Presiden Mikhail Gorbachev sebagai pimpinan Uni Soviet, atau bentrokan bersenjata tahun 1993 antara Presiden Rusia Boris Yeltsin dan badan legislatif Rusia.
Namun, hingga saat ini, kebanyakan pakar cenderung memberi tahu AS untuk tidak khawatir.
Beberapa tahun terakhir telah terjadi ledakan industri bagi ilmuwan politik yang bekerja pada topik seperti kudeta dan erosi demokrasi, termasuk beberapa ahli yang dikutip dalam artikel The Washington Post. Ketika AS telah memasuki episode demokrasi yang tampaknya belum pernah terjadi sebelumnya, jurnalis dan pembaca sama-sama telah memutuskan bahwa jurnalisme standar yang sekadar memprediksi hasil pemilu tidaklah cukup untuk tugas menafsirkan politik.
Namun, ketika ketegangan meningkat, ada jurang pemisah antara mereka yang percaya bahwa, pada akhirnya, institusi akan menyelamatkan, bahwa tradisi demokrasi AS akan bertahan. Mereka yang yakin bahwa AS menghadapi periode itu bisa berakhir dengan kebuntuan sebesar yang terjadi saat ini.
Jadi, di mana letak kesalahannya?
Sebagian, ada pengabdian yang mengagumkan pada integritas ilmiah, bahwa cendekiawan memiliki aturan tentang apa yang dianggap sebagai kudeta. Buku kode kudeta Center for Systemic Peace (CSP), misalnya, menyebutkan: “Revolusi sosial, kemenangan oleh kekuatan oposisi dalam perang sipil, dan pemberontakan rakyat, meskipun dapat menyebabkan perubahan substansial dalam otoritas pusat, tidak dianggap sebagai kudeta.” Sampai hari Rabu (6/1), definisi itu benar adanya, karena hal semacam itu belum terjadi.
Namun, peristiwa di Capitol Hill pada Rabu (6/1) memenuhi syarat sebagai upaya kudeta (sejauh ini). Buku kode CSP mendefinisikan kudeta sebagai “perampasan paksa otoritas dan jabatan eksekutif oleh faksi pembangkang/oposisi dalam penguasa negara atau elite politik yang menghasilkan perubahan substansial dalam kepemimpinan eksekutif dan kebijakan rezim sebelumnya (meskipun tidak harus dalam sifat otoritas rezim atau cara pemerintahan)”.
Bukankah AS menyaksikan itu sekarang, ketika Trump dan para loyalisnya secara konsisten berusaha untuk menggagalkan proses pemberian, penghitungan, dan pengesahan suara yang sah, termasuk dengan secara janggal mencoba membelokkan Wakil Presiden AS Mike Pence agar memilih presiden berikutnya?
Sulit untuk menentukan niat massa dan penghasut mereka, tetapi penyelenggara gerakan pro-Trump di forum online secara konsisten dan jelas menunjukkan keinginan mereka untuk membatalkan hasil Pilpres AS 2020 dan memastikan Trump tetap berkuasa, seperti yang dilakukan Trump sendiri dalam cuitannya di akun Twitternya.
Menurut analisis Paul Musgrave di Foreign Policy, tidak harus ada keterlibatan militer untuk memastikan terjadinya kudeta, meskipun opini baru-baru ini oleh 10 mantan Menteri Pertahanan AS yang masih hidup memperingatkan militer Amerika untuk tetap berada di baraknya dan mengabaikan kekhawatiran, lantas mendukung pemerintah sipil. Itu menunjukkan bahwa mungkin ada alasan untuk benar-benar khawatir.
Namun, sebagian besar, keengganan kalangan optimis untuk melihat apa yang ada di depan wajah mereka tidak ada hubungannya dengan integritas ilmiah dan lebih berkaitan dengan harapan dalam membuat prediksi karena mereka ingin itu benar, bukan karena bukti mendukungnya. Bagi parailmuwan politik AS, kudeta dan kekuatan politik paramiliter dianggap sebagai hal-hal yang terjadi di luar Amerika.
Studi mereka cocok dengan arus utama politik komparatif, yang mempelajari orang asing, bukan politik AS (kecuali untuk kelompok kecil spesialis dalam perkembangan politik AS, yang sangat menyadari sejarah kekerasan dalam sejarah politik negara). Hingga Rabu (6/1), rakyat Amerika membuat model seperti apa hasil Pilpres AS 2020 kelak, bukan apakah hasilnya penting, sementara pertanyaan itu penting bagi pihak lain.
Amerika Serikat sedang memasuki fase berbahaya. Transisi selama berbulan-bulan masih berlangsung hingga beberapa pekan lagi. Presiden Trump masih tetap berkuasa. Jika ada pelantikan Presiden AS terpilih Joe Biden, kemungkinan itu harus diadakan di lokasi yang lebih aman daripada di tangga Capitol Hill yang dulunya sakral.
Betapapun paranoidnya Paul Musgrave dalam analisisnya di Foreign Policy tentang kemungkinan pecahnya masalah serius, bahkan ia mengalah. Pada Rabu (6/1) pagi, setelah membaca artikel The Washington Post, Musgrave mengajak anjingnya berjalan-jalan di lingkungan Washington D.C. Musgrave melewati sebuah hotel di mana beberapa orang dari luar kota, yang tidak memakai masker, tampak berdiri.
Salah satu dari mereka memuji kecantikan anjing Musgrave. Dia berterima kasih kepada mereka dan menganggapi hari itu adalah pagi yang cerah di Amerika. Mengenakan topi merah MAGA Trump, mereka pergi untuk menyerbu Capitol Hill.
- Source : www.matamatapolitik.com