www.zejournal.mobi
Rabu, 20 November 2024

Modyarr! Serang Jokowi, Petinggi Demokrat Malah Ungkit Aib SBY!

Penulis : Ninanoor | Editor : Anty | Selasa, 28 Juli 2020 10:04

Partai Demokrat memang (terpaksa) berdiri di pihak oposisi. Betul kan terpaksa. Kalau saja AHY masuk Kabinet Indonesia Maju pada awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, maka posisi Partai Demokrat tidak akan jadi oposisi. Lucunya, sekarang pun tercium aroma-aroma manuver AHY mengarah ke keinginan untuk bergabung dengan pemerintahan Jokowi. AHY tampak blusukan ke para ketum partai koalisi, sesudah ada isu reshuffle kabinet. Bahkan ada semacam endorsement dari Cak Imin Ketum PKB, bahwa katanya Cak Imin dulu pernah mendorong AHY masuk kabinet.

Nah, lucunya lagi petinggi Demokrat malah (masih saja) menyerang Jokowi, seakan mereka tidak peduli dengan keinginan AHY ditarik Jokowi ke dalam pemerintahannya. Jadi sebenarnya Demokrat ini maunya apa? Posisi uenak apa posisi nggak uenak? Ok lanjut, apa sih omongannya petinggi Partai Demokrat?

Yang bicara adalah Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Herzaky Mahendra. Mahendra menanggapi posisi AHY dalam survei elektabilitas yang dirilis oleh lembaga Indikator pada pertengahan Juli lalu. Ada peningkatan perolehan bagi AHY. AHY mendapatkan 6,8%, meningkat dari angka sebelumnya 4,8%. Sedangkan elektabilitas Partai Demokrat juga mengalami peningkatan menjadi 5,7%, meningkat dari angka sebelumnya 3,6%.

Menurut Mahendra ini merupakan efek dari diangkatnya AHY jadi Ketum Partai Demokrat. AHY disebut mengeluarkan instruksi yang menyebabkan seluruh elemen Partai Demokrat bergerak membantu rakyat di segala lapisan, terutama yang terdampak pandemi Covid-19. Itu menyebabkan “masyarakat merasakan dan percaya dengan ketulusan gerakan AHY dan Partai Demokrat,” ujar Mahendra. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat saat ini sedang mengidolakan tokoh yang tidak saja populer, tapi siap bekerja untuk rakyat dalam situasi sulit. Hal ini kata Mahendra berbanding terbalik dengan menurunnya kepuasan publik kepada pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19. “Masyarakat sudah bosan dengan kepemimpinan dramatis dan pencitraan. Aksi marah-marah, nangis-nangis, dan lempar tanggung jawab,” ujar Mahendra Sumber. Ehh??? Halooow, siapa yang dramatis dan pencitraan?

Presiden Jokowi? Sosok sederhana yang bisa disebut sebagai pencipta kegiatan blusukan. Yang tidak masalah naik pesawat kelas ekonomi untuk urusan pribadi, karena memang sudah biasa begitu. Yang anak-anaknya pun terkenal sederhana, bukan sok bangsawan seperti klan-klan mantan presiden. Memangnya Presiden Jokowi pernah nangis-nangis di depan umum, sembari curhat gitu? Kalau merujuk ke video Presiden Jokowi marah-marah sih, ya wajar kan. Itu marahnya ke anak buahnya, para menteri. Isi omongan Presiden Jokowi di kala marah itu pun sangat masuk akal. Bukan sekedar marah tanpa isi. Presiden Jokowi tidak pernah marah tuh ke rakyatnya, apalagi sampai menegur anak-anak yang ketiduran ketika beliau berpidato. Ehh, siapa itu yak? Btw, sori ya, anak-anak hampir tidak pernah ketiduran ketika Presiden Jokowi berpidato, karena Pak Jokowi selalu lucu di depan anak-anak dan suka ngasih sepeda hehehe…

Mau tahu siapa yang suka dramatis dan pencitraan? Tiada lain adalah SBY, bapaknya AHY, mantan Ketum Partai Demokrat. Bukan saya yang ngomong, banyak yang sudah memberikan pernyataan lugas soal ini. Kita lihat lagi ke masa lalu.

Dilansir viva.co.id, seorang eks kader Partai Demokrat, Tridianto menyebut, “Pak SBY bukan hanya jago pencitraan. Tapi begawannya pencitraan di Indonesia”. Tuh, begawan itu macam ahlinya ahli. Menurut Tridianto saat ia masih di Demokrat, memang diajari metode-metode pencitraan. Bahkan ia mengingat, SBY pernah menceritakan kepada para kader secara khusus belajar atau kursus pencitraan. “Siapa yang menolak Pak SBY disebut jago pencitraan berarti tidak kenal Pak SBY atau sedang berbohong,” ujar dia Sumber. Ini dinyatakan pada tahun 2016.

Mari kita mundur lagi ke 2014, ketika Jokowi sudah memenangkan Pilpres 2014. Seorang pengamat politik, Jerry Sumampow memberikan wanti-wanti agar Presiden Jokowi tidak mengikuti jejak SBY memainkan politik pencitraan saat memerintah. Menurut Jerry, masyarakat sudah muak dengan politik pencitraan SBY. "Kita mau supaya pemerintahan Jokowi-JK mengganti politik kebohongan, politik pencitraan dengan politik aksi nyata atau politik kerja dalam kejujuran,” tegas Jerry Sumber. Memang kerja nyata kan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi. Begitu banyak buktinya. Pembangunan infrastruktur yang masif hingga ke Papua, sampai ke pedalaman dan pelosok merupakan bukti kerja Presiden Jokowi yang sangat nyata.

Kita mundur lagi ke tahun 2011, bulan Juni. Saat itu hasil sebuah survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyatakan bahwa kepuasan publik atas kinerja SBY melorot. Saat itu kepuasan publik atas kinerja SBY turun 9,5%, menjadi hanya 47,2%. "50 persen itu batas mayoritas. Kalau di bawah 50 persen ini berarti sudah critical time buat SBY," kata peneliti senior LSI, Sunarto Ciptoharjono. Salah satu penyebabnya adalah sikap reaktif SBY jika diserang isu dengan menyampaikan curhat di depan publik. "Sebaiknya yang seperti itu (curhat) dihentikan saja. Karena ini adalah politik pencitraan dan masyarakat sekarang sudah sadar ditipu politik pencitraan, politik persepsi," kata analis politik dari Undip M Yulianto kepada detik.com. Malah menurut Yulianto, dari segi pendekatan kepemimpinan, SBY merupakan publik figur yang tidak punya ketegasan, keberanian dan lemahnya integritas Sumber.


Berita Lainnya :

Bicara tentang survei, pada tahun yang sama, pada bulan April 2011, Institute for Strategic and Public Policy Research (Inspire) merilis hasil survei yang menunjukkan besarnya ketidakpercayaan publik terhadap SBY. Di antaranya, sebanyak 64,8% publik tidak percaya Presiden SBY telah melindungi TKI. Dalam kasus Century, sebanyak 54,1% publik merasa SBY belum bersikap transparan. Dalam hal pemberantasan korupsi, sebanyak 56,9% publik tidak percaya Presiden SBY telah bersungguh-sungguh. Presiden SBY juga dinilai belum menunjukkan kinerja optimal dalam membongkar mafia pajak (66,8%). "Dari sini sudah terlihat politik pencitraan SBY gagal. Dari temuan ini sudah sangat jelas trennya menurun," ucap Abdul Malik Gismar, ahli psikologi politik Sumber. Mau lebih banyak bukti lagi, google saja dengan kata kunci “SBY pencitraan”, pasti banyak sekali hasilnya.

Akhir kata, lain kali kalau mau menyerang pihak lain, lebih baik dikarang dulu kata-katanya dengan cermat dan akurat. Kalau seperti ini kan sama dengan bunuh diri. Apalagi Pilkada Serentak sudah dekat. Dampak negatifnya akan terasa di sana. Sementara sang Ketum sendiri tidak menutupi keinginannya untuk bergabung ke dalam pemerintahan Presiden Jokowi. Jadi lucu kan. Atau mungkin Demokrat memang ingin melucu, agar rakyat terhibur di tengah pandemi, hehehe…. Sekian dulu!


- Source : seword.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar