Denny Siregar ke Menkes: Ke Mana-Mana Bayar Rapid 300K, Ternyata 70 T Ngendon!
Nama Terawan Agus Putranto sebagai menteri kesehatan awalnya menuai polemik. Pada mulanya banyak orang simpati karena penemuan terapi otaknya ditolak IDI hingga ia menerima sanksi tak masuk akal. Saat ia diangkat jadi Menkes beberapa penulis termasuk saya sendiri terjebak pada pemikiran kalau ia akan sehebat Ahok. Seorang minoritas yang akan membawa kemajuan di pemerintahan. Tapi, kini semua harapan itu harus berujung kecewa.
Terawan tak memiliki gebrakan berarti di kementrian, malah cenderung terus membebani rakyat. Banyak pernyataan blundernya keluar saat awal mula pandemi corona. Mulai dari menganggap enteng pandemi hingga melarang pemakaian masker. Terawan seakan terjebak pada egonya dan tak bisa mengantisipasi kasus ini.
Kita masih ingat kalau Terawan mulanya berfokus pada penangkapan hoaks terkait corona. Karena perintahnya beberapa warga biasa ibu-ibu rumah tangga yang harus di penjara lantaran tak bisa membedakan suspect dan positif corona. Padahal mereka cuma orang yang panik dan tak bisa membaca bahasa media maisntream. Alih-alih mengedukasi rakyat, Terawan dengan emosional hanya berfokus pada penindakan aparat.
Memang di negara-negara lain pemerintah mereka juga menindak penyebar hoaks, tapi pemerintahannya juga bertindak proaktif dengan isu corona. Tidak ada seorang menteri di negara lain yang menyepelehkan kasus corona seperti sikap nyantai Terawan. Kalaupun maksudnya agar tidak menimbulkan kepanikan, harusnya tetap ada langkah untuk mengedukasi, bukan malah menyamakan kasus ini seakan flu biasa.
Keanehan Terawan semakin menjadi saat protap terapi plasma digagas Dr. Monica yang juga penulis seword. Padahal seharusnya ia yang berani mengambil metode cuci otak yang anti mainstream harusnya bisa gerak cepat mengambil terapi plasma. Namun, ia malah melempem dengan terapi plasma yang terbukti menyelematkan pasien kritis corona.
Apakah ini semua salah Jokowi? Tentunya sebagai atasan kita tahu Jokowi baru akan mengenal siapa Terawan saat sudah bekerja bersama. Dan inilah hasilnya saat ada pandemi corona, Terawan yang diharapkan sebagai sosok anti mainstream malah melempem bak krupuk basah. Puncaknya kemarahan Jokowi terlampiaskan pada rapat terbuka. Ucapannya mengenai reshuffle didahului oleh data kinerja buruk bidang kesehatan.
Jelas sekali yang dibidik di sini adalah menteri kesehatan, karena tak mungkin kementrian lain yang mengurusi insentif dokter spesialis hingga tenaga medis. Setelah itu baru sektor ekonomi. Meski bansos tersalurkan, namun bidang UMKM dan insdustri lainnya termasuk padat karya nyatanya belum tersentuh bantuan sedikitpun. Hingga kini riuh di media sosial sindiran ke Menkes Terawan termasuk dari pegiat medsos, Denny Siregar.
"Ealah, pak Menkes... Org disuruh Ropad Rapid kemana2 bayar minimal 300rebu rupiah, ternyata ada duit ngendon 70 triliun tohh.. Apa gak sadar, para traveler ini kecekek semua ??" cuit @DennySiregar7
Cuitan Denny hingga kini diretweet 600 lebih dan dilike 3000 lebih. Artinya banyak masyarakat yang sepakat akan kinerja bobrok Terawan sebagai Menkes. Saya rasa salah satu penulis Seword, Manuel Mawengkang yang dulu memujanya kini sadar diri mulai ikut mengkritiknya.
Semoga Terawan segera mengambil kebijakan cepat menyalurkan 70 triliun lebih dana untuk kesehatan. Jangan terlalu kalem menghadapi ribetnya peraturan yang ada. Kita tak lupa dan tetap mengapresiasi langkahnya untuk memulangkan WNI dari Wuhan. Kita juga mengapresiasi pemulangan WNI dari kapal pesiar World Dream dan Diamond Prince. Tapi lebih dari itu tugas Kemenkes di dalam negeri jauh lebih berat.
Benar kata Jokowi kalau para pembantunya tak boleh terlena. Jangan karena berhasil menjalankan satu dua misi lantas mengabaikan tugas yang lebih berat. Padahal fokus selanjutnya adalah menekan kematian akibat Covid 19 termasuk penyederhanaan aturan rapid test. Sudah ada bantuan protap terapi plasma dari Dr. Monica, kenapa berat sekali bagi Terawan untuk langsung mengeksekusi di lapangan.
Begitu juga Gugus Tugas yang mungkin adalah yang dimaksud Jokowi sebagai lembaga yang hendak dibubarkan. Faktanya di lapangan lembaga ini juga ikut mempersulit prosedur terapi plasma. Malahan ikut berbisnis dengan memproduksi massal obat Covid 19 dengan UNAIR. Padahal obat semacam ini tak boleh sembarangan diedarkan karena belum ada uji klinisnya. Justru terapi plasma yang sudah diujikan ke pasien dan terbukti membawa kesembuhan malah tak dikembangkan.
Kini kita tunggu saja ke depan siapa yang akan terkena reshuffle dan pembubaran lembaga. Menjadi menteri beda dengan menjadi aparat atau penemu. Menjadi pembantu presiden artinya ikut membantu ratusan juta rakyat Indonesia keluar dari pandemi corona. Termasuk tak mempersulit dengan biaya rapid test yang mencekik. Meski terlambat tapi rakyat pasti sudha menunggu perombakan di kabinet yang nyatanya diisi banyak orang yang tak bisa kerja.
- Source : seword.com