Jakarta Buruk Sambut Asian Games, Jokowi akan Dicap Gagal
Minggu lalu saya ke Jakarta, terlihat jelas bahwa beberapa trotoar di jalan protokol masih berserakan, belum selesai dikerjakan. Menteri Basuki beberapa waktu lalu bahkan berjalan kaki sepanjang 3 kilometer untuk melihat langsung pekerjaan anak buahnya. Saya juga melihat pemasangan umbul-umbuh penghias pinggir jalan, sebagai tanda sambutan terhadap peserta Asian Games juga banyak yang belum selesai. Masih setengah-setengah. Lalu kemarin kita dikejutkan dengan pemasangan bendera negara-negara Asian menggunakan bambu runcing.
Publik pun kaget. Bagaimana bisa sebuah perhelatan akbar disambut dengan hiasan yang seadanya? Mirip seperti lomba tingkat kelurahan. Sandiaga pun langsung berkelit dan menyebut bahwa bendera-bendera tersebut bukan milik Pemprov dan berjanji akan merapikannya. Namun sehari kemudian, Sandiaga berubah komentar, meminta publik untuk tidak nyinyir, karena pemasangan bendera dengan bambu itu adalah partisipasi warga menyambut Asian Games.
Anies pun senada dengan Sandiaga, mengapresiasi warga dan bahkan menginstruksikan jajarannya untuk memasang kembali bendera-bendera tersebut dengan bambu runcing, dan mengikatnya dengan tali rafia.
Dengan segala narasi kerakyatan dan menganggap bahwa bambu-bambu itu adalah hasil dari penjualan serta penanaman rakyat di desa-desa, dan diberikan hak mewarnai ibu kota, semuanya jadi seolah indah dan benar. Bahwa ini tentang keberpihakan kepada rakyat kecil, rakyat lemah.
Padahal logikanya, mana ada masyarakat yang mengoleksi bendera-bendera negara Asian? Kalau bendera merah putih, kita maklum lah. Setiap bulan Agustus kita pasang bendera dengan bambu runcing. Tapi ini kan Asian Games, tidak selalu di Indonesia dan bukan setiap tahun. Mana bisa warga mengoleksi bendera-bendera negara Asia?
Logika ini pun dikonfirmasi oleh pihak kecamatan. Bahwa bendera-bendera tersebut digunakan untuk pawai obor Asian Games yang dipasang pada 15 Juli 2018. Umis Suripto staf Kecamatan Penjaringan mengatakan akan menertibkan bendera-bendera tersebut karena memang sifatnya hanya sementara, dan acara sudah selesai. Memang bukan untuk menyambut peserta Asian Games.
Entah bagaimana akhir dari nasib bendera diikat bambu ini. Sebab Sandiaga yang awalnya berjanji akan menertibkan, belakangan malah mengapresiasi warga yang dianggapnya ikut demam Asian Games. Sementara pihak kecamatan pun mungkin akan kebingungan, karena setelah bendera-bendera tersebut dicopot, Gubernurnya malah meminta dipasang lagi. Kita lihat saja bagaimana akhirnya.
Hikmah yang bisa saya petik dari kejadian ini adalah, Anies dan Sandiaga berusaha memanfaatkan momentum isu viral. Kemudian mengambil kebijakan untuk menyenangkan publik, dengan segala narasi dan penataan katanya. Keduanya nampak tidak peduli dengan Jakarta. Seakan-akan, kalau Jakarta jelek, mereka jadi bahagia sekali. Bayangkan, untuk urusan trotoar saja harus Menteri PUPR yang turun tangan menyelesaikan.
Jadi kalau sekarang ada bendera diikat dengan bambu runcing, bukannya dirapikan, malah mereka puji-puji sebagai sumbangsih rakyat kecil. Mereka memang tidak tahu kalau bendera-bendera itu digunakan untuk pawai obor. Ya apa yang mereka tahu?
Tapi sekalipun telah dibantah oleh pihak kecamatan, tetap saja mereka ingin bendera-bendera diikat bambu runcing itu kembali dipasang. Sebab itu ide cemerlang untuk menghancurkan citra Jakarta, sekaligus merusak citra Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018. Kalau Indonesia dianggap gagal, secara otomatis Jokowi juga bisa dianggap Presiden yang gagal.
Saya pikir menjelang hari H akan banyak hal-hal aneh untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang gagal menyelenggarakan Asian Games dengan baik. Sekarang bendera dengan bambu runcing, besok-besok mungkin akan ada acara lagi di Monas untuk menebar tanda tanya dan keresahan bagi peserta Asian Games.
Semua itu akan menjadi bagian dari kejadian-kejadian memalukan dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah yang gagal. Apalagi kebetulan Asia Games ini sudah masuk masa kampanye, jadi semakin gagal, maka semakin bagus bagi oposisi. Persetan dengan citra buruk Indonesia ke depan, yang penting Jokowi bisa dikritik gagal.
Beginilah politik, beginilah cerita perebutan kekuasaan. Indonesia maju masih cita-cita, dan mungkin akan lebih lama tercapai jika pemimpin daerah yang kita pilih hanya mengandalkan pidato dan SARA. Yang penting kyai, menang. Yang penting muslim, menang. Dan seterusnya. Sehingga kalaupun sebuah daerah tidak berkembang dan malah lebih buruk, itu tidak jadi soal. Yang penting nanti mati masuk surga.
Meski begitu saya masih yakin Presiden Jokowi mampu mengatasi hal ini semua. Sehingga nantinya Asian Games berjalan lancar, dan nama baik Indonesia terselamatkan.
- Source : seword.com