Tiga tahun setelah kejadian Charlie Hebdo: ‘Kebebasan berekspresi menjadi hal yang mewah’
Hari Minggu lalu menandakan tiga tahun sejak beberapa penembak Islamis menyerang kantor majalah Prancis yang menerbitkan konten yang kurang sopan, Charlie Hebdo.
Prancis menghormati ke 17 korban tewas di hari yang mematikan tersebut, yang menandai pertama kalinya serangan Islamis yang terjadi di Prancis.
Presiden Prancis Emmanuel Macron, bersama dengan Walikota Paris, Anne Hidalgo dan kepala editor dan kartunis Charlie Hebdo, Laurent Sourisseau, memimpun acara penghormatan yang diselimuti kesedihan itu. Mereka meletakkan karangan bunga dan menghayati dalam diam di luar bekas bangunan majalah mingguan satir itu dan supermarket Hyper Cacher di Paris.
France remembers Charlie Hebdo victims three years after attacks https://t.co/WvF6eM7nOa #blog pic.twitter.com/wtJQCMKObg
— Mark Horns (@GoodvibrasCom) January 7, 2018
Para jurnalis yang berhasil selamat juga melakukan penghormatan kepada seluruh korban meninggal. “Tiga tahun dalam sebuah kaleng timah,” bunyi isu pertama di tahun 2018 yang tertulis di sampul majalah tersebut. Kartunnya dulu digambar oleh Riss, yang menggantikan sang direktur yang terbunuh, Charb. Kembali di tanggal 7 Januari tahun 2015, Riss ditembak di bagian pundaknya dengan senapan Kalashnikov dan hidup dalam ketakutan semenjak kejadian itu.
Charlie Hebdo: Three years on, France remembers https://t.co/8NC59WtGiz pic.twitter.com/tH1B385g7F
— Terrorism Newz (@Terrorism_Newz) January 7, 2018
Dalam gambar terbarunya, sebuah wajah yang ketakutan menatap dari sebuah lubang intip di pintu baja yang dilipat. “kalender ISIS?” sang karakter bertanya, mengacu pada tradisi Prancis yang menjual berbagai kalender Tahun Baru dari pintu ke pintu. “Kami sudah diberikan.” Lainnya menjawab.
« Charlie Hebdo » : « Trois ans dans une boîte de conserve » et toujours la rage https://t.co/TSkKMeCBsT pic.twitter.com/BRPmho5yrR
— Ethan Chekroun (@ethan_chekroun) January 7, 2018
Serangan penembakan dengan senapan di Charlie Hebdo dilakukan oleh Said bersaudara dan Sherif Kouachi pada tanggan 7 Januari tahun 2015, mengakibatkan 12 orang tewas. Di pembunuhan setelahnya yang dilakukan kaki tangan mereka di supermarket kosher di Paris telah mengakibatkan empat orang lainnya terbunuh, termasuk seorang polisi wanita di sebuah serangan terpisah yang terjadi di luar Paris. Ketiga pelaku kejahatan tersebut terbunuh dalam baku tembak dengan pihak kepolisian.
Hampir empat juta orang melakukan jalan bersama menyusuri Paris beberapa hari kemudian dengan membawa spanduk “Je Suis Charlie,” dan David Cameron dan para pemimpin dunia lainnya ikut bergabung dalam gerakan jalan bersama tersebut dan slogannya menjadi seruan global bagi semua orang pendukung kebebasan berbicara.
Meskipun demikian, para jurnalis yang saat ini bekerja untuk Charlie Hebdo meningkatkan keluhan mereka bahwa pemerintah kurang memperhatikan keamanan mereka, mengutip kalau mereka harus membayar uang sejumlah 1,5 juta euros per tahunnya pada sebuha badan hukum pribadi demi menjada keamanan mereka. Sementara pemerintah menyediakan keamanan bagi sosok public yang bekerja di kantor editorial, pekerja lainnya dibiarkan bekerja dengan ketakutan dan kecurigaan mereka. Fabrice Nicolino, yang mengalami berbagai cedera akibat serangan senapan Kalashnikov yang terjadi di tahun 2015 silam, merupakan salah satu pekerja yang menuntut perhatian keamanan dari pemerintah.
“Apakah hal yang wajar jika lebih dari satu dari dua isu dari majalah yang terjual di negara demokratis harus membayar keamanan kantor dan para jurnalisnya yang bekerja di sana?” Riss bertanya dalam bagian tajuk rencananya. “Kebebasan berekspresi menjadi hal yang mewah saat ini,” dia menyimpulkan.
Nicolino telah mengajukan banding pada Presiden Macron: “Apakah adil bagi kami yang dipaksa untuk menyembunyikan kebebasan berekspresi dan keamanan kami dengan cara membayar pasukan keamanan polisi pribadi?”
Usai adanya protes keras tersebut, Macron mengatakan pada The Irish Times tentang harapan tahun barunya bagi pihak pers:
“Usai mendengar putusan banding mereka, saya telah meminta Menteri Dalam Negeri untuk mengevaluasi resiko yang ada dan menyediakan layanan keamanan jika resiko tersebut terbukti benar.”
Sementara itu, mereka yang mengidentifikasikan dirinya mendukung Charlie Hebdo dengan moto “Je Suis Charlie” telah berkurang dari jumlah sebesar 71 persen pada dua tahun lalu menjadi 61 persen di hari ini, menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh national institute for Public Opinion (UFOP). Para pemuda pemudi Prancis dan mereka yang bukan dari kalangan berada nampaknya menjadi pihak yang tak lagi mendukung Charlie Hebdo, jajak pendapat tersebut mengungkapkan. Diantara mereka yang tidak mendukunng majalah yang berisikan konten yang kurang sopan itu, 38 persennya percaya kalau satir yang dituliskan dalam surat kabar tersebut “telah bertindak terlalu jauh”.
- Source : sputniknews.com