Cangkul Made in China
Dua bulan terahir ini, masalah pacul (Cangkul) impor dari Tiongkok (China) menjadi pemberitaan besar di media, mulai dari anak mahasiswa hingga mantan ketua DPR Ade Komarudin memperbincangkannya, padahal para pemakai dan penjual cangkul tersebut tidak ada yang mempersoalkannya. Memang masyarakat kita ini termasuk aneh kalau tidak mau dikatakan “sakit kejiwaan” karena suka “meracau” membicarakan suatu hal tanpa tahu masalahnya secara komprehensif. Kalau masalahnya saja tidak diketahui secara benar, bagaimana mungkin mampu untuk mencari solusinya?
Impor cangkul ini sebenarnya disebabkan oleh karena produksi didalam negeri tidak mampu untuk memenuhi permintaan cangkul didalam negeri, sehingga pemerintah melakukan impor dari Tiongkok. Baiklah, agar kita tidak ikut terseret menjadi penderita sakit jiwa, lebih baik kita meneliti seluk beluk dunia pacul ini secara komprehensif dan bijaksana.
Berbicara perihal cangkul yang terbuat dari besi itu, tentu kita harus membahas tentang industri besi/baja. Dimana-mana diseluruh dunia ini, ketika kita membahas baja, wajib hukumnya kita memelototi biji besi/scrap sebagai bahan baku, tanur/tungku yang membutuhkan energi yang super besar untuk peleburan dan manajemen industri baja itu sendiri.
Dari semua sisi, Indonesia jelas tertinggal dari Tiongkok (China) Listrik kita masih byar-pet dan mahal. Sementara listrik Tiongkok melimpah, stabil dan murah. Sekalipun dibayar lebih mahal, buruh Tiongkok produktivitas kerjanya melebihi buruh Indonesia. Ahirnya produk ahirnya (cangkul) Tiongkok tersebut menjadi lebih murah dan bagus bila dibandingkan dengan produk Indonesia sendiri.
Coba bandingkan sendiri cangkul buatan Tiongkok dengan cangkul buatan lokal. Ketebalan pelat dan Kadar carbon pada besi pelat Tiongkok lebih besar dibandingkan dengan pelat besi lokal. sehingga otomatis cangkul Tiongkok lebih kuat daripada cangkul lokal. Pada cangkul Tiongkok, sambungan antara pelat cangkul dengan kepala (tempat untuk gagang cangkul) dilas semi robotic pada indutri cangkul terpadu sehingga kualitasnya bagus dan seragam.
Pada cangkul lokal, pelat besi memang dari pabrik besi, sedangkan pembuatan cangkul masih “ala Tarzan” di sentra home industri. Pelat besi dipotong secara manual (pelatnya lebih tipis) Biasanya si abang tukang sambil duduk diatas “dingklik” dan rokok ditangan” mengelas pelat tadi ke kepala cangkul. Kawat las untuk menyambung kedua besi tersebut biasanya juga berkualitas rendah. Pada ahirnya kualitas cangkul itu tidak seragam dan bermutu rendah. Kalau kebetulan si abang tukang lagi galau, maka cangkul yang dihasilkan pasti jelek. Ketika si abang tukang lagi kasmaran, mungkin cangkulnya pun akan kasmaran, eh bermutu baik maksudnya!
Walaupun hanya cangkul, akan tetapi cangkul Tiongkok ini dibuat di pabrik secara massal dengan kualitas tinggi dan seragam. Cangkul tersebut didesain ergonomis sesuai dengan kebutuhan dan bentuk tubuh rata-rata orang Asia timur, agar hasil pekerjaan mereka bisa optimal. Mungkin yang harus diwaspadai adalah kalau-kalau sekiranya pemerintah Tiongkok melakukan “dumping” terhadap produk cangkul ini ( harga ekspor disubsidi, sehingga harga ekspor lebih murah dibandingkan dengan harga produk tersebut didalam negeri)
Dua dekade lalu pertumbuhan konstruksi di Tiongkok sungguh luar biasa. Pembangunan gedung-gedung pencakar langit dan ribuan kilo meter jalan tol dibangun dengan dukungan industri baja dalam negeri. Akan tetapi itu adalah kisah masa lalu. Pertumbuhan ekonomi kini melambat mengikuti lemahnya ekonomi global. Perlu kita ketahui, saat ini industri baja Tiongkok kelebihan pasokan. Permintaan besi beton menurun drastis. Agar tidak bangkrut, pabrik harus memutar otak, dengan jalan membuat perkakas/peralatan berbahan besi.
Mari kita cermati siapa-siapa saja yang pro dan kontra menyikapi cangkul Tiongkok ini.
Pertama, Petani
Petani jelas membutuhkan cangkul yang baik dan bermutu. Kalau sekiranya bermutu baik dan harganya terjangkau, sekalipun cangkul tersebut dibuat di planet Mars, tentulah petani tidak akan mempemasalahkannya. Jadi mohon agar nama kaum petani jangan dibawa-bawa dan dipojokkan tidak nasionalis dalam kasus cangkul Tiongkok ini.
Ini sama halnya dengan tempe. Tahukah anda bahwa kacang kedele, bahan baku tempe itu diimpor dari Negara kafir yang kapitaslis itu? Kalau sekiranya tempe harus dinasionalisasi, maukah anda membeli sepotong tempe goreng seharga Rp 50.000? Tempe bukanlah makanan asli Indonesia, karena kita tidak menanam kacang kedele. Amerika yang tidak memakan tempe, menyuruh orang Indonesia memakan tempe agar mereka bisa menjual kacang kedele mereka kepada Indonesia. Entahlah saya tidak tahu, apakah sekarang kita sudah mampu memenuhi 20% kebutuhan kacang kedele nasional!
Kedua, produsen cangkul lokal
Kalau ditanya pengrajin cangkul lokal, yang mereka butuhkan adalah, agar harga besi pelat dan kawat las jangan mahal! Itu saja dan sangat sederhana, harapan khas “wong cilik!” Mereka itu sudah punya pangsa pasar sendiri, dan tidak terganggu dengan cangkul dari Hongkong atau cangkul dari Hollywood, selama pasokan cangkul impor itu dibatasi hanya untuk menutupi kekurangan pasokan dari produsen cangkul lokal, dan jangan ada dumping harga cangkul impor!
Pasar utama mereka biasanya adalah Pemerintah Daerah yang membutuhkan cangkul untuk “proyek bantuan” mereka. Para kontaraktor, kuli bangunan dan rumah tangga juga memakai produk lokal karena pertimbangan harga yang lebih murah dan karena pemakaian jangka pendek/sesekali saja.
Ketiga, Pedagang
Yang namanya pedagang dimana-mana urusannya hanya berdagang lalu dapat untung, sederhana saja, dan tidak perlu dikait-kaitkan dengan Nasionalisme! Bagi pedagang, menjual cangkul lokal atau impor itu tidak ada masalah selama masih menguntungkan. Masalah besar kalau menjual cangkul, lalu merugi! Sekalipun cangkul itu buatan mertua sendiri! Kalau merugi, ya tidak usah dijual!
Keempat, Pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Nah inilah pihak-pihak yang paling banyak berkomentar miring soal percangkulan ini. Sekalipun tidak pernah memegang cangkul, apalagi mencangkul, tetapi mereka ini tidak malu memberikan statemen di media soal percangkulan ini. Saya masih ingat omongan seorang petinggi Senayan disebuah radio, yang intinya kira-kira begini, “Bahwa kita adalah Negara besar dengan bumi yang subur dan kaya akan hasil tambang, tetapi mengapa kita harus mengimpor cangkul?”
Ditempat terpisah jurnalis abal-abal menulis di media abal-abal, “Bahwa Pemerintahan Jokowi itu pro China, rencananya 15 juta penduduk China akan dipindahkan ke proyek reklamasi, sekarang banyak proyek China dengan tenaga kerja China. Kini ada jutaan aseng mencari kerja di Indonesia, bahkan kini cangkulpun harus didatangkan dari China, wadoh…” hahahaha…
Nah manusia-manusia begini ini yang selalu membuat kerusuhan di negeri ini. Selain tidak capable, mereka ini memanfaatkan isu ini untuk kepentingan jahat pribadinya sendiri.
Sekalipun sering makan tempe dan bermental tempe, mereka ini tidak paham kacang kedele. Ini merefleksikan diri mereka sendiri, “Berbicara tanpa tahu apa yang dibicarakan!” kini dunia dipenuhi dengan orang-orang sesat dengan media sesat pula. Mereka ini kasar, garang dan cenderung untuk memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain. Ini memang era kebebasan berekspresi, akan tetapi tetap diperlukan etika dan kejujuran dalam berekspresi. Kini terpulang kepada kita, agar berhati-hati dengan apa yang kita baca dan bijaksana terhadap apa yang kita lihat. Yang terlihat sering tidak sama dengan yang sebenarnya….
- Source : seword.com