Penjelasan Lengkap Mendikbud Soal Pendidikan Karakter
Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy menjelaskan tentang pendidikan karakter sesuai Nawa Cita bagi siswa pendidikan dasar hingga menengah. Muhadjir mengatakan awal ide ini muncul saat dia mendapat 3 tugas dari Presiden Jokowi sebagai Mendikbud.
"Titik tolak ketika Presiden Jokowi memanggil saya. Waktu pertama ketemu ada 3 pesan yang disampaikan," ucap Muhadjir saat berkunjung ke kantor detikcom, Senin (15/8/2016).
Tiga hal itu adalah pertama mempertajam pendidikan vokasi, mempercepat Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan merealisasikan pendidikan karakter yang terkait dengan revolusi mental.
"Saya kemudian menyimpulkan pemerataan di pendidikan lebih fokus ke KIP, ketenagakerjaan vokasi dan pendidikan karakter," ucap Muhadjir.
Berangkat dari hal tersebut, Muhadjir lalu merumuskan pendidikan karakter berdasarkan Nawa Cita. Menurutnya ada dua hal yang mungkin dilakukan untuk mewujudkan pendidikan karakter ini. Pertama dengan mengubah kurikulum, yang menurutnya tidak mungkin dilakukan saat ini, atau kedua dengan menerapkan pendidikan karakter yang diberikan di sekolah.
"Pendidikan karakter tidak mungkin dimasukkan ke pelajaran karena penanaman sikap bukan pengetahuan. Makanya harus ada penambahan ekstra di luar mata pelajaran. Jadi ada waktu anak di sekolah untuk mendapatkan aktivitas dalam rangka menanamkan karakter itu," jelas Muhadjir.
Menurutnya ide ini sudah disampaikan ke Wapres JK saat mereka tengah berbincang beberapa waktu lalu. Wapres JK lanjut Muhadjir setuju dengan ide itu namun dengan beberapa catatan.
"Pak JK setuju dengan catatan jangan besar-besar harus lebih dalam dan ada pilot project," ucapnya.
Muhadjir mengatakan ide pendidikan karekter ini banyak yang salah menafsirkan. Berita yang ramai di masyarakat justru meributkan soal sekolah seharian atau full day school, padahal menurutnya bukan hal itu yang dimaksud.
"Intinya banyak yang salah tafsir, ada yang mengira belajar seharian di dalam kelas, mengganggu kursus dan lain-lain. Saya kan orang pendidikan jadi mengerti psikologi belajar, mengerti daya tahan murid berada di kelas," kata Muhadjir yang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga guru ini.
Menurutnya pendidikan karakter yang dimaksud adalah pendidikan kokurikuler yakni rangkaian kegiatan kesiswaan yang berlangsung di sekolah. Di luar jam belajar, akan ada kegiatan lain tetapi bukan ekstrakurikuler.
"Kegiatan tidak di luar kelas, berada di lingkungan sekolah dan menjadi tanggungjawab sekolah. Dilaksanakan secara lentur, pendekatannya non formal dan penyelenggara beradaptasi dengan lingkungan," jelasnya.
"Sekolah itu kita desain ramah anak, mencerdaskan, membangkitkan kreativitas. Guru sebagai motivator, fasilitator bukan sebagai orang yang mengajar. Guru sebagai gatekeeper," tambahnya.
Muhadjir mencontohkan misalnya guru bertanggungjawab bila muridnya melanjutkan kegiatan di Taman Pendidikan Alquran (TPA) atau ikut bela diri. Guru harus mengecek siapa pengajar kegiatan tersebut. Kegiatan itu di bawah pengawasan dan tanggungg jawab guru dan sekolah.
Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengaku sudah mulai merintis beban mengajar 24 jam untuk guru. Menurutnya guru tidak perlu lagi mencari pemasukan di luar sekolah, misal dengan memberi les dan lainnya.
"Guru cukup dikonfrontir dengan kokurikuler. Murid pulang jangan ada pekerjaan rumah. Itu bayangan saya," katanya.
"Saya ingin sekolah jadi rumah kedua. Jadi jangan dibayangkan seram," tambahnya.
Ide tersebut menurut Muhadjir membutuhkan waktu untuk persiapan. Namun dia berharap akhir tahun ini sudah ada sekolah yang menjadi pilot project pendidikan berkarakter ini.
"Gagasan itu jadi bukan full day-nya, intinya pembentukan karakter. Kalau ada alternatif lain ya silakan saja. Pilihannya ada 2 yakni ganti kurikulum atau ini. Saya pembantu Presiden, menerapakan visi misi Presiden," katanya.
- Source : news.detik.com