Mengapa Turki beralih diplomasi ke Iran
Setelah bereksperimen dengan mengambil sikap afresif dalam krisis Suriah, Turki tampaknya beralih ke dalam diplomasi sekali lagi. Pergeserang ini tidak masuk akal mengingat bahwa sikap afresifnya telah memakan biaya yang besar bagi Turki. Di sisi domestik, Turki harus menghadapi perlawanan dari pihak Kurdi yang cukup terorganisir. DI sisi eksternal, sikap agresif yang sebenarnya tidak diperlukan telah merusak hubungan negara tersebut dengan Rusia, berakhir dalam bentuk sanksi Rusia di Turki. Dua faktor tersebut tampaknya telah mendorong Turki untuk membuat pergeseran ini. Pertama-tama, Turki telah gagal untuk mencapai tujuannya di Suriah yaitu disintegrasi Suriah untuk memecahnya menjadi beberapa “zona”. Kedua, Turki telah gagal mendorong keluar Rusia dari lapangan melalui langkah-langkah provokasi yang disengaja. Selain itu, sanksi-sanksi dari Rusia secara pasti telah menempatkan kendala pada pasokan sumber daya energi ke Turki, menyebabkan kerusakan dalam perekonomian. Oleh karena itu, Turki bergeser ke Iran untuk mencari alternatif sumber minyak dan gas alam.
Dalam konteks beberapa kegagalan inilah yang harus kita baca dalam tawaran diplomasi “positif” Turki ke Iran. Dengan demikian, setelah langkah konsultasi baru-baru ini antara kedua kementerian luar negeri di Ankara, Turki dan Iran telah memutuskan untuk mengatur ulang hubungan bilateral mereka. Iran yakin bahwa Turki telah kehilangan perang di Suriah dan sebuah fase baru dalam kebijakan Ankara akan segera dimulai. Beberapa perkembangan di garis depan peperangna telah menunjukkan kegagalan ini dengan jelas. Selain itu, Turki merupakan sebuah pasar yang mapan sehingga Iran dapat mendapatkan pemasukan yang besar dari negara tersebut. Oleh karena itu, Iran menekankan pernguatan hubungan dalam bidang perekonomian.
Namun, bagi Turki, tidak hanya Iran dapat menjadi sumber pasokan minyak dan gas, tetapi juga dapat dimanfaaatkan untuk menyelesaikan permasalahan dengan pihak Kurdi agar Iran mendukung Turki. Terlepas dari hal ini, para elit bisnis Turki melihat ada sebuah pasar besar di Iran untuk berinvestasi, sebuah penglihatan yang juga dipandang oleh para pengusaha Eropa. Bagi Turki, pasar Iran memiliki sebuah unsur tambahan yang penting: Menilai bahwa Turki dapat menebus kerugian yang telah dideritanya dan terus diderita karena hubungan yang tegang dengan pihak Rusia.
Mengingat potensi keuntungan tersebut, sangat wajar Turki membuat sebuah perubahan yang drastis dalam posisinya. Daripada membuka jalan untuk menginvasi Suriah, Turki kini secara eksplisit mendukung semacam “penyelesaian politik” dari krisis tersebut. Perubahan tersebut terlihat jelas selama kunjungan Perdana Menteri Turki ke Iran baru-baru ini. Setelah kembali ke Ankara, Davutoglu membuat sebuah pernyataan bahwa Turki dan Iran telah mencapai sebuah kesepakatan mengenai penyelesaian masalah Suriah. Ia mengatakan, “Kami tidak ingin Suriah terbagi menjadi negara-negara kecil dan kami mencapai sebuah kesepakatan dengan para pejabat Iran bahwa disintegrasi ini tidak akan terjadi dan Suriah akan terus hidup dan hadir sebagai sebuah negara yang kuat.”
Posisi Turki yang baru dirancang ini adalah sesuatu yang telah didukung oleh Iran tidak hanya berkaitan dengan Suriah tetapi juga Irak dan Kurdi. Selama kunjungannya di Turki pada bulan Februari, diplomat Iran tersebut menyatakan posisi Iran dalam masalah regional yang lebih luas, “Kurdi adalah sahabat kami secara sejarah. Dan kami ingin mereka tetap makmur dan bahagia di negara di mana mereka menetap. Wilayah kita tidak cukup kuat untuk menanggung krisis-krisis yang baru. Kami berharap warga Kurdi di negara-negara lain akan mendapatkan hak kewarganegaraan yang penuh sama seperti warga Kurdi di Iran. Dan jika kami mempertahankan keutuhan wilayah Turki dan Iran, kami juga akan melakukan hal yang sama bagi Irak dan Suriah.”
Di permukaan, posisi Iran ini menguntungkan kepentingan Turki. Jelas, Iran masih jauh dari mendukung sebuah negara Kurdi yang “independen” di Timur Tengah. Dan, ini adalah apa yang dicegah oleh Turki selama bertahun-tahun.
Pejabat Iran tersebut secara jelas menggarisbawahi bahwa Iran dan Turki berada dalam posisi yang sama dalam masalah Kurdi dan Ankara dapat mengandalkan Teheran untuk melakukan semua yang diperlukan untuk mencegah munculnya negara “Kurdistan yang independen di mana saja di peta wilayah ini – baik di dalam atau di luar wilayah Turki atau di sepanjang perbatasan Turki atau disekitarnya. Iran memahami bahwa sebuah negara Kurdi hanya akan membangkitkan penduduk Kurdi itu sendiri, mengarah kepada munculnya nuansa politik yang tidak diperlukan di dalam negeri. Oleh karena itu, Iran mendukung untuk memberikan “hak kewarganegaraan” bagi Kurdi di mana pun mereka berada di wilayah tersebut.
Namun, meskipun adanya pemulihan hubungan antra Iran dan Turki atas masalah Suriah dan Kurdi, perbedaan di antara mereka terus berlangsung dalam beberapa tingkat. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pemulihan hubungan Iran-Turki tidak begitu kuat seperti yang terlihat di atas kertas. Isyarat saat ini dapat dijelaskan sebagai penilaian kedua negara mengenai manfaat apa yang dapat diperoleh dengan pembenahan hubungan mereka.
Perbedaan ini cukup jelas bahkan selama kunjungan bilateral baru-baru ini antara para pejabat Iran dan Turki. Misalnya, Davutoglu meninggalkan Iran untuk kembali ke negaranya secepat Wakil Menteri Luar Negeri Hossein Amir Abdolllahian menjelaskan kepada Majelis Keamanan Nasional dan Komisi Kebijakan Luar Negeri bahwa kebijakan Turki di Suriah telah gagal, namun Ankara masih melanjutkan dan menekankan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk menggulingkan Presiden Suriah Bashar Assad dan didukung oleh Arab Saudi, Qatar dan AS.
Para pejabat Iran tidak malu menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap para pejabat Turki mengenai cara beberapa negara regional, khususnya Arab Saudi, yang terus-menerus mendukung kelompok-kelompok perwakilan mereka untuk menciptakan ketegangan di wilayah tersebut. Demikian pula, media resmi Iran juga terus menyatakan peran Turki dalam menciptakan ketegangan geopolitik yang sama.
Meskipun adanya perbedaan-perbedaan ini, Iran memahami bahwa pihaknya masih memiliki kepentingan yang lebih banyak kesamaan dengan Turki daripada dengan negara-negara regional lainnya, terutama Arab Saudi dan sekutu-sekutunya di wilayah Teluk. Bagaimanapun, bertemunya kepentingan dari kedua belah pihak, terutama di bidang ekonomi karena keduanya saling membutuhkan untuk alasan-alasan yang berbeda. Ketegangan geopolitik di tengah perjuangan atas supremasi daerah tersebut terus ada di antara kedua negara.
Oleh karena itu, dengan pandangan yang mengarah ke masa depan, Iran membayangkan bahwa sebuah perpanjangan pipa gas yang menghubungkan Turki ke Eropa mungkin adalah cara yang layak untuk mempromosikan ekspor gas negara Iran ke pasar-pasar yang menguntungkan. Di sisi lain, pasokan sumber daya energi seperti ini dari Iran pasti akan membantu Turki mengurangi ketergantungannya terhadap Rusia. Dengan demikian, sementara geo-ekoonmi tampaknya masuk akal bagi kedua negara, geo-strategi terus menempatkan bayangan gelap pada prospek untuk menerjemahkan calon hubungan ekonomi ini ke dalam sebuah aliansi strategis yang baik.
- Source : journal-neo.org