www.zejournal.mobi
Sabtu, 28 Desember 2024

Potret Korban Serangan Drone AS

Penulis : Emran Feroz | Editor : Samus | Kamis, 10 Maret 2016 15:11

Kedai makanannya benar-benar hancur. Juga tubuh pemiliknya, Sadiq Rahim Jan yang berumur 21 tahun.

“Tubuh kakak saya hancur. Hampir tidak ada yang tersisa dari dirinya,” kata Islam Rahim Jan.

Insiden ini terjadi pada bulan Juli 2012 dan kematiannya menyebabkan keputusasaan dan kemiskinan dalam keluarganya.

Sadiq adalah pencari nafkah utama di keluarganya. Penghasilannya datang sebagai pemilik satu-satunya kedai makanan di desa Gardda Zarrai, di provinsi Paktia bagian timur Afghanistan, penghasilannya ini diberikan bagi kedua orang tuanya dan empat adik-adiknya.

Tidak ada yang tahu mengapa ia menjadi sasaran dalam serangan drone tersebut. Namun sejak awal tahun 2001, serangan-serangan drone AS telah menjadi sebuah yang biasa di kehidupan negara tersebut dan penyebab kematian, khususnya di bagian selatan dan timur Afghanistan.

Menurut Biro Investigasi Jurnalisme yang berbasis di London. Afghanistan adalah “negara yang paling banyak dibom oleh drone di dunia”. Antara tahun 2001 dan 2003, setidaknya ada 1.670 serangan drone yang terjadi di negara ini.

Namun data yang akurat mengenai dampak dari serangan-serangan ini, terutama jumlah korbannya, tidak ada. Ada sejumlah alasan mengenai hal ini.

Di satu sisi, media tampaknya sebagian besar mengabaikan peperangan drone dan korban-korbannya ini. Di sisi lain, ada sedikit kehendak politik untuk memberikan transparansi, baik di Washington atau Kabul. Pada tahun 2013, sebuah laporan PBB mengenai serangan drone di Afghanistan, Pakistan dan Yaman menunjukkan bahwa “sifat rahasia dari serangan-serangan drone AS ini menghalangi evaluasi dampak serangan tersebut terhadap warga sipil.”

Akibatnya, nama-nama dan cerita dari banyak korban tetap tidak diketahui oleh semua orang kecuali keluarga mereka sendiri.

Untuk menambah ketidaktahuan ini adalah sebuah fakta bahwa liputan-liputan media yang terbatas sering tidak akurat.

Ketika Sadiq tewas, beberapa media nasional melaporkan bahwa “komandan Taliban” telah terbunuh oleh serangan drone di Gardda Zarrai.

“Benar-benar sulit untuk menjabarkan kasus semacam ini apakah ini sebuah informasi salah yang sengaja disebarkan oleh seseorang dengan motif yang jahat, atau apakah ini murni sebuah kesalahan,” kata Jack Serle dari biro tersebut, yang telah bertahun-tahun mempelajari serangan-serangan drone ini.

“Dalam pengalaman saya, para pejabat kepolisian dan militer serta pemerintah provinsi adalah sumber jurnalistik utama untuk informasi semacam ini. Namun sering tidak jelas darimana mereka mendapatkan informasinya,” kata Serle. “Di masa lalu, orang-orang ini mengatakan kepada saya bahwa mereka mendapatkan intelijen dari NDS, dinas intelijen Afghanistan, yang mendapatkannya dari AS.”

Keluarga Sadiq mengatakan bahwa mereka marah ketika Radio Azadi, sebuah cabang layanan penyiaran pemerintah AS di Afghanistan, dan media berita nasional lainnya yang menghubungkan anak mereka dengan sebuah kelompok yang tidak ada hubungannya sama sekali. Bahkan, mereka mengatakan, Sadiq tidak pernah terlibat dengan kelompok bersenjata manapun.

Namun berhari-hari dan berminggu-minggu setelah Sadiq terbunuh, tida ada seorang jurnalis pun mengunjungi desa mereka untuk mengumpulkan fakta-fakta atau berbicara dengan orang-orang yang mengenalnya.

Keluarganya melapor pada pihak kepolisian dan militer setempat. Namun, meskipun mereka menyatakan penyesalan atas kematian Sadiq, mereka mengatakan kepada keluarganya untuk tidak mengambil tindakan lebih lanjut.

“Bahkan, mereka hanya ingin membungkan keluarga saya, karena kejahatan perang seperti ini akan menunjukkan kejelekkan bagi pemerintah AS dan Afghanistan,” kata Farhad Khan, sepupu Sadiq yang tinggal di Jerman dan sekarang mencoba untuk memberikan dukungan keuangan bagi keluarganya.

Sampai saat ini, keluarga Sadiq belum menerima penjelasan mengapa anak mereka tewas atau mengapa ia kemudian diklasifikasikan sebagai anggota Taliban.

“Ia menyambut saya seperti seorang saudara (ketika saya akan mengunjungi Afghanistan),” kenang Farhad, menambahkan bahwa mereka telah menjadi teman dekat.

“Seluruh warga di desanya, dari yang muda sampai tua, menghormati dan menyayangi Sadiq. Ia dalah orang yang menarik dan penuh karisma yang percaya pada perdamaian, cinta dan kebebasan,” kata Farhad.

“Atas alasan ini, rasanya sangat salah bagi semua orang-orang ini mengingat Sadiq hanya dianggap sebagai seorang teroris oleh slueuh dunia.”

Memotret korban-korban

Kasus-kasus seperti Sadiq ini (korban-korban drone tak bernama dan tak berwajah yang digambarkan sebagai anggota Taliban dengan tidak adanya bukti yang mendukung) yang membuat Noor Behram, seorang fotografer wartawan dari Waziristan Utara, wilayah perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan, berangkat utnuk menjelajahi lokasi-lokasi serangan drone.

“Saya memulai penyelidikan ini pada tahun 2007, ketika dilaporkan sebuah serangan udara menewaskan militan-militan yang terkait dengan al-Qaeda,” kata Behram. “Namun saya menemukan pakaian wanita yang robek, yang merupakan bukti bahwa warga sipil juga ikut terbunuh dalam serangan ini.”

Sejak saat itu, ia telah mengunjungi lokasi-lokasi serangan drone segera setelah sebuah serangan terjadi. Bepergian menggunakan sepeda motor, ia memotret lokasi-lokasi dan berbicara kepada para saksi mata.

Ia menyadari bahwa tampaknya yang hanya diperlukan bagi media Pakistan dan internasional untuk menggambarkan korban pria sebagai seorang anggota Taliban adalah ketika ia memiliki rambut panjang dan berjenggot – sebuah paras yang umum di antara banyak pria Pashtun di kedua sisi perbatasan.

“Setelah berbicara dengan para editor dan wartawan, saya mengerti bahwa sebuah serangan drone menewaskan seorang warga sipil pria dewasa yang tidak bersalah, seperti penjual buah atau makanan, rambut panjang dan jenggot korban akan menjadi sebuah bukti yang cukup untuk mencapnya sebagai seorang militan.”

Sadiq memiliki rambut yang panjang dan jenggot.

Seorang korban berumur empat tahun

Pada bulan April 2013, Naqibullah membawa anaknya, Amir yang berumur empat tahun ke kota Asadabad, di provinsi Kunar bagian timur untuk mendapatkan perawatan medis. Naqibullah mengatakan kepada adiknya, Abdul Wahid yang berumur 25 tahun untuk membawa kembali ananknya ke desa mereka sementara ia masih berada di kota tersebut.

Ketika ia menelpon ke rumah untuk memastikan apakah mereka telah kembali dengan selamat, ia diberitahu bahwa adik dan anaknya tidak kembali dengan selamat.

“Penduduk setempat mengatakan kepada saya bahwa adik dan anak saya telah tewas akibat sebuah serangan drone,” kenang Naqibullah.

“Saya tidak tahan mendengar berita itu, saya kehilangan semua rasa pada saat itu,” katanya. “Tiba-tiba, semua gambar adik dan anak saya masuk ke dalam pikiran saat air mata tak dapat berhenti menetes.”

Menurut Naqibullah, para pejabat pemerintah bersikeras bahwa adik dan anaknya adalah anggota Taliban. Mereka mengatakan tanggung jawabnya ada pada dirinya untuk membuktikan kebenarannya.

Hari ini, Naqibullah menjaga anak-anak dari Abdul Wahid, adiknya. Ia mengatakan bahwa salah satu dari anaknya, Hilal, selalu menanyakan tentang ayahnya.

Tidak terlaporkan

Menurut sebuah laporan terbaru oleh Misi Bantuan PBB di Afghanistan / United Nations Assistance Mission in Afghanistan (UNAMA), lebih dari 11.000 warga sipil tewas atau terluka pada tahun 2015.

Sementara kelompok-kelompok bersenjata dan militer Afghanistan diduga telah bertanggung jawab atas 98 persen dari insiden-insiden ini, 2% dari jumlah korban sipil disebabkan oleh pasukan internasional, terutama dalam bentuk serangan-serangan udara.

Namun, laporan ini menunjukkan bahwa para korban yang tewas karena pasukan militer internasional dan angkatan udara Afghanistan meningkat menjadi 83% pada tahun 2015, yang menewaskan 296 korban sipil. 57% dari korban ini tewas oleh pasukan internasional.

Menurut UNAMA, alasan utama atas peningkatan jumlah korban sipil ini adalah serangan-serangan terhadap rumah sakit MSF di Kunduz pada tanggal 3 Oktober 2015.

Data pemerintah AS tidak membedakan antara serangan-serangan udara yang klasik dan serangan drone. Karena hal ini, tidak jelas berapa banyak serangan drone yang benar-benar terjadi di Afghanistan.

Namun dengan tiga sumber yang diperlukan untuk mengkonfirmasikan satu korban sipil yang tewas, banyak keluarga dari mereka yang tewas mengatakan bahwa keluarga mereka yang tewas bahkan tidak masuk dalam jumlah korban yang tewas.

“Anda tidak akan menemukan nama saudara saya atau korban lain seperti dirinya dalam laporan-laporan ini,” kata Farhad sepupu Sadiq.

Para kritik yang mengkritik laporan PBB mengatakan bawha tanpa jurnalis atau aktivis hak asasi manusia yang hadir di daerah-daerah yang paling dilanda oleh perang, pembunuhan-pembunuhan ini sering tidak dilaporkan dan tidak berdasar, tidak pernah memasukan pembunuhan ini dalam catatan resmi nya.

“Sebagian besar wilayah yang dilanda perang di Afghanistan, terutama di mana serangan-serangan drone berlangsung secara teratur, tidak dikunjungi oleh para wartawan atau aktivis. Wilayah-wilayah ini dianggap terlalu berbahaya, dan disebut sebagai zona kematian,” kata Waheed Mozhdah, seorang analis politik yang berbasis di Kabul.

Selain itu, catatan dari para korban sipil baru dimulai pada tahun 2009, delapan tahun setelah peperangan dimulai.

Bahkan, kejadian pertama dari serangan drone yang pernah tercatat terjadi pada tanggal 7 Oktober 2001, ketika pasukan AS menargetkan pemimpin Taliban yang telah tewas, Mullah Mohammad Omar di Kandahar.

Omar tidak terbunuh pada hari itu – namun banyak warga sipil biasa, seperti Sadiq tewas sejak tahun itu.


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar