Haruskah kita memperbaiki masalah kesehatan mental atau mencegahnya?
Cerita dalam Berita – Kehabisan waktu bagi peraturan kesehatan mental
Wisconsin adalah salah satu dari banyak negara bagian yang mempertimbangkan peraturan yang akan mengubah bagaimana masalah kesehatan mental ditangani, tetapi bebrapa dari peraturan yang diusulkan akan segera berakhir jika tidak ditindaklanjuti.
Menurut Post Crescent dari Kota Fox, peraturan-peraturan yang diajukan terutama mengacu kepada anak-anak, dan “melibatkan berbagai isu, termasuk penanganan klinis yang tersedia di sekolah-sekolah, kredit pajak untuk para psikiater baru, aturan zonasi peristirahatan dan tunjangan-tunjangan baru bagi dewan penasehat kesehatan mental...” Perwakilan Negara Bagian Paul Tittl mengidentifikasi dua peraturan tertentu yang ia percaya sangat penting. Yang pertama “akan memungkinkan para ahli kesehatan mental yang telah dikontrak untuk memberikan perawatan di sekolah-sekolah tanpa adanyan sertifikasi negara di klinik,” dan yang kedua “akan memberikan sebuah kredit pajak penghasilan bagi para psikiater baru yang berkomitmen untuk berpraktek di negara bagian setidaknya 10 tahun.”
Dapat dipastikan ini adalah upaya-upaya yang terpuji, namun penelitian menunjukkan bahwa peraturan peraturan-peraturan ini hanyalah sebuah penenang bagi sebuah masalah yang jauh lebih dalam, dan bahwa mungkin legislatif negara bagian akan lebih baik untuk melihat keadaan keluarga anak-anak yang menyebabkan anak tersebut harus mendapatkan perawatan tersebut.
Penelitian Baru – Pikiran para pemuda menjadi lebih tidak terpaku
Hukum AS yang serba memperbolehkan perceraian tidak memberikan anak-anak kesempatan untuk angkat bicara saat orangtua mereka memilih untuk berpisah. Namun bukti-bukti terus meningkat yang menunjukkan bahwa anak-anak sangat menderita ketika orangtua mereka gagal untuk mempertahankan perkawinan yang langgeng. Penderitaan tersebut dapat berubah menjadi sejumlah bentuk. Dalam sebuah penelitian yang diselesaikan baru-baru ini di Charles University di Praha, para peneliti mengidentifikasi gangguan mental yang serius sebagai gejala dari penderitaan yang disebabkan perceraian orangtua.
Bermaksud untuk mengidentifkasi “potensi resiko kesehatan mental yang berkaitan dengan pengaruh-pengaruh depresi terkait dengan status pernikahan seorang ibu,” para penulis dari penelitian baru ini menguraikan data dari 364 anak Ceko berusia 19 tahun yang berpartisipasi dalam European Longitudinal Study of Parenthood and Childhood. Dengan data ini, para peneliti dapat mendiagnosa tekanan mental yang disebabkan oleh hancurnya pernikahan orangtua – atau tidak ada masalah ini dari awalnya. Data ini menunjukkan bahwa kehidupan tanpa seorang ayah mengganggu pikiran para pria muda, dan yang hidup dengan ayah tiri menyebabkan konsekuensi yang sama denga para wanita muda.
Ketika mereka memeriksa data pria muda dalam penelitian mereka, para cendekiawan Ceko mendeteksi psikopatologi dalam gejala-gejala disosiatif yang meningkat secara signifikan – termasuk “perasaan depersonalisasi, derealization dan amnesia psikogenik” – antara mereka yang hidup dengan ibu yang bercerai atau tidak menikah (p<0,01 dengan pria muda yang hidup di rumah yang lengkap orang tuanya sebagai dasar). Para peneliti berspekulasi bahwa disosiasi psikologi ini berkembang di kalangan anak laki-laki yatim karena “anak laki-laki membutuhkan keterpisahan tertentu dari ibu mereka untuk mendapatkan identitas pria mereka, di mana mereka membutuhkan seorang ayah atau figur seorang ayah.” Selain itu, mereka menunjukkan, rumah yang tidak memiliki seorang ayah dapat menumbuhkan “keterkaitan patologis yang bergantung antara ibu dan anak.”
Ketika mereka mengalihkan perhatian mereka ke wanita muda dalam penelitian tersebut, para peneliti menemukan kejadian disosiasi yang mengganggu tidak di antara mereka yang tinggal tanpa ayah melainkan mereka yang hidup dengan ayah tiri. Dibandingkan dengan mereka yang hidup dengan kedua orangtua yang utuh, wanita muda dari keluarga tiri secara signifikan lebih mungkin memiliki gejala disosiasi psikologis (p<0,01). Para cendekiawan Ceko ini melihat bukti pola bahwa “anak permepuan memiliki lebih banyak kesulitan untuk berinteraksi dengan ayah tiri daripada anak laki-laki.” Menunjukkan alasan yang lebih mengganggu namun masuk akal untuk tingkat tinggi disosiasi antara ankan perempuan di keluarga tiri, para peneliti mencatat “bahwa keterkaitan seksual ayah tiri dan anak perempuan dan pelecehan seksual lebih menonjol daripada oleh ayah biologis.”
Para peneliti menginterpretasikan temuan mereka terhadap latar belakang dari penelitian sebelumnya, membangun “hubungan antara masalah emosi dan perilaku anak-anak tanpa ayah” dan menunjukkan bahwa “perceraian dan konflik dalam hubungan pernikahan orangtua merupakan faktor utama bagi berbagai bentuk disfungsi dan manifestasi psikopatologis pada anak-anak.” Para penulis penelitian ini juga menemukan konteks yang relevan untuk kesimpulan mereka pada penelitian mereka sebelumnya, yang mengindikasikan bahwa “anak-anak dari orang tua tunggal atau keluarga yang dicampur telah meningkatkan kerentanan terhadap peristiwa-peristiwa kehidupan yang penuh stres traumatis dan lainnya.”
Para peneliti Ceko menyerukan “penelitian lebih lanjut... untuk menjelaskan sejauh mana faktor-faktor psikodinamik memainkan peran penting dalam proses keluaga yang terkait dengan diosiasi. “Tapi warga AS sudah memiliki penelitian yang cukup untuk mengetahui bahwa pikiran banyak dari orang-orang muda telah hancur dengna perceraian orangtua, difasilitasi oleh hukum perceraian yang serba boleh.
- Source : www.mercatornet.com