www.zejournal.mobi
Senin, 23 Desember 2024

Di mana koalisi Arab dalam pertempuran melawan ISIS?

Penulis : Bruce Riedel - Al Monitor | Editor : Admin | Kamis, 19 November 2015 19:17

Menyusul serangan ISIS di Sinai, Beirut dan Paris, ada sebuah kebutuhan mendesak untuk memngerahkan kekuatan untuk menghadapi ancaman ini, terutama kekuatan di dunia Arab. Sebaliknya, Arab Saudi dan sekutu dari negara-negara Teluk mengerahkan kekuatan mereka yang mahal untuk kampanye militer di Yaman.

Ketika kampanye serangan udara terhadap ISIS dimulai lebih dari setahun yang lalu, Royal Saudi Air Force adalah peserta awalnya. Namun mereka belum mengerahkan serangan udaranya sejak September lalu, menurut The New York Times. Bahrain meluncurkan serangan terakhirnya pada bulan Februari lalu. Uni Emirat Arab menghentikannya pada bulan Maret – bahkan Yordania berhenti pada bulan Agustus.

Belum ada pengumuman resmi atau umum dari penghentian serangan ini. Semua pemerintah Arab menegaskan pertentangan kuat mereka terhadap ISIS. Minggu ini, gedung pencakar langit Riyadh dinyalakan dengan warna bendera Perancis untuk menunjukkan solidaritas dengan Paris. Raja Salman bin Abdul Aziz Al Saud mengatakan kepada Presiden Barack Obama di Ankara bahwa Arab Saudi akan memainkan peran utama di Suriah. Namun dalam prakteknya, para pejabat militer AS melaporkan peperangan di Yaman telah menguras habis kekuatan udara Arab Saudi daripada memerangi para teroris di Irak dan Suriah. Yaman adalah sebuah prioritas bahkan jika ada beberapa misi sesekali menyerang ISIS.

Tidak adanya angkatan udara Arab menciptakan sebuah kekosongan politik – bukan militer – meskipun Rusia, Perancis dan Amerika sepenuhnya mampu untuk melancarkan peperangan udara terhadap ISIS. Koalisi ini tidak memiliki jawaban Muslim bagi “Khalifah Ibrahim” yang memproklamirkan dirinya sendiri. Ini adalah sebuah kesia-siaan kekuatan yang penting.

Peperangan ini juga sangatlah mahal. Tidak ada perkiraan resmi dari biaya peperangan ini yang dirilis ke publik, namun perkiraan saat ini adalah puluhan milyar dolar dalam pembelian persenjataan, pemeliharaan dan biaya lainnya.

Misalnya, minggu ini Pentagon mengumumkan penjualan amunisi dari udara ke darat dan peralatan yang terkait dengan perlengkapan RSAF lainnya dalam kampanye militernya di Yaman senilai $1,29 milyar. Penjualan tersebut menyediakan lebih dari 20.000 amunisi baru untuk menggantikan yang telah digunakan. Inggris, sumber utama persediaan RSAF juga mengisi kembali persediaannya. Amnesty International dan Human Rights Watch telah mengangkat pertanyaan tentang penggunaan senjata ini dan adanya kemungkinan kejahatan perang.

Kerajaan Arab Saudi sendiri telah diserang oleh ISIS berulang kali, ketika ISIS melancarkan serangan bom bunuh dirinya baik di Arab Saudi maupun Kuwait. Kelompok teroris ini berjanji untuk menggulingkan Kepemimpinan Saud dan menancapkan bendera hitamnya di Mekah. Ratusan warga Arab Saudi berjuang dengan kelompok teroris ini di Irak dan Suriah, sementara Yordania telah menjadi sasarannya dengan salah satu pilotnya yang dikurung dalam sebuah sangkar dan dibakar hidup-hidup. Negara-negara ini memiliki sebuah keharusan dalam perang melawan ISIS.

Namun kekuatan dan perhatian Riyadh berfokus pada Yaman ketika peperangan di sana telah menemukan jalan buntu. Setelah beberapa keberhasilan selama musim panas, koalisi yang dipimpin oleh Arab ini berjanji untuk menduduki Sana’a (ibukota Yaman) pada musim gugur ini. Namun pendudukan tersebut terlihat tidak mungkin untuk saat ini. Peperangan ini juga merupakan sebuah bencana kemanusiaan bagi 25 juta orang Yaman, ketika blokade-blokade mencegah pasokan makanan dan obat-obatan.

Bahkan yang lebih buruknya adalah peperangan ini memberikan keuntungan terutama bagi al-Qaeda dan Iran. Al-Qaeda telah menguasai sebagian besar wilayah tenggara Yaman sejak perang tersebut dimulai. Bendera-bendera berwarna hitam berkibar di Aden, ibukota sementara pemerintah yang pro-Arab. Al-Qaeda di Semenanjung Arba telah tumbuh semakin kuat dalam beberapa bulan terakhir sejak mereka menyerang Paris pada bulan Januari. Ini adalah sebuah pertanda yang mengerikan bagi mereka yang berjanji untuk mengalahkan ISIS.

Iran sedang berjuang untuk memerangi pasukan Houthi terakhir, menertawakan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab karena telah menghabiskan banyak sumber daya. Keuntungan Iran di Suriah dan Irak adalah karena pasukan Suni terbagi juga ke Yaman.

Baik Washington dan Paris menikmati misi Riyadh di Yaman, ketika keudanya telah menerima kunjungan dari Menteri Pertahanan Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman – pangeran berumur 30 tahun yang memulai Perang Yaman – dan hanya melakukan sedikit untuk mengakhiri bencana ini. Mereka memiliki leverage bersama dengan London, karena mereka mengongtrol saluran pasokan militer kepada RSAF dan sekutunya. Kedua belah pihak telah menerima mediasi PBB dan resolusi dari Dewan Keamanan PBB untuk gencatan senjata, namun konflik tersebut masih berlanjut tanpa jeda.

Setelah pembantaian Charlie Hebdo pada bulan Januari lalu, ada janji-janji bahwa pelaku teroris Yaman yang melancarkan serangan tersebut akan menghadapi respon serangan global. Sebaliknya, mereka menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan Yaman telah menjadi medan pertempuran lain dalam peperangan sektarian antara Suni dan Syiah yang menghancurkan dunia Islam.

 


- Source : www.al-monitor.com

Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar