www.zejournal.mobi
Senin, 18 November 2024

Diminta Serahkan Pekerjaan pada Pria, Perempuan Afghanistan Seperti Terkubur Hidup-hidup

Penulis : Ian - Publica News | Editor : Anty | Jumat, 12 Agustus 2022 10:15

Pada 15 Agustus nanti, genap setahun Taliban mengambil alih pemerintahan Afghanistan. Bagi Masuda Samar (43), itu sebuah kenangan menyakitkan.

Pada hari itu, perempuan pejabat senior sebuah kementerian tersebut bergegas pulang lebih awal. Ia mendengar Presiden Ashraf Ghani lari dari Afghanistan.

Beberapa hari setelah kekacauan itu Samar, bukan nama sebenarnya, dikabari bahwa ia tidak boleh lagi ke kantor. Taliban tidak secara langsung memecat perempuan pegawai, tapi menyuruh mereka tinggal di rumah dengan gaji yang dipotong sangat signifikan.

Dalam setahun ini Samar beberapa kali menanyakan nasibnya. Ia pergi ke kantor kementerian, tapi selalu diusir penjaga.

Samar setiap bulan masih mengambil 'gaji buta' --yang tinggal tak seberapa karena dipotong-- di bank. Tapi dia merasa dipermalukan.

"Setiap kali saya menyeka air mata terlebih dahulu karena merasa sangat terhina untuk mengambil jumlah itu. Saya bahkan tidak memiliki hak untuk bekerja dan berpenghasilan. Saya merasa seperti pengemis," katanya kepada Al Jazeera, Kamis (11/8).

Bulan lalu, ia menerima telepon dari bagian SDM, memintanya untuk memperkenalkan anggota keluarga laki-laki untuk menggantikannya. "Atau saya dipecat," ujarnya.

Kementerian hanya ingin mempekerjakan kaum pria. Samar makin terhina dan marah.

"Saya bekerja keras untuk naik pangkat dan mendapatkan posisi ini. Mengapa saya harus menyerahkan pekerjaan saya kepada suami atau saudara laki-laki saya?” ujarnya, suaranya bergetar. Ia frustasi.

Sektor swasta setali tiga uang. Mereka mengurangi jumlah staf perempuan, baik karena krisis keuangan, paksaan Taliban, atau untuk menghindari kemarahan kelompok tersebut.

Sebuah studi oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun ini mencatat terjadi penurunan 16 persen pekerja perempuan di Afghanistan. Sebaliknya, pekerja laki-laki turun 6 persen.

Sebelum pengambilalihan Taliban, perempuan merupakan 22 persen dari angkatan kerja Afghanistan.

Perempuan seperti Samar merasa terhina disuruh mencari kerabatnya yang pria untuk menggantikan posisinya di kantor. Ia memilih bergabung dengan perempuan lainnya untuk menuntut haknya atas pekerjaan.

"Salah satu rekan saya adalah seorang janda dan putranya berada di Iran. Siapa yang harus menggantikannya?" Samar menggugat.

Meskipun gaji yang ia terima tak lagi seberapa, tapi melengkapi pendapatan suaminya. Itu pun belum bisa mencukupi semua kebutuhan dasar, termasuk biaya pendidikan putrinya.

"Saya belum membayar uang sekolahnya selama dua bulan. Saya bahkan tidak mampu membeli buku untuknya," ujar Samar.

Dia khawatir putrinya yang duduk di kelas enam SD mungkin tidak akan bisa belajar tahun depan. Taliban melarang anak perempuan masuk sekolah menengah.

"Di negara tempat saya membangun hidup, karir, putri saya bahkan tidak memiliki masa depan. Saya merasa seperti telah terkubur dalam lubang yang gelap. Saya bernapas, tetapi saya tidak hidup," Samar menegaskan.


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar