Ibu-ibu Daechi, Kegilaan Menilai Sukses dari Kuliah Anak
Seoul - Setelah lebih dari dua dekade meniti karir di perusahaan swasta, Park (48) mengundurkan diri dua tahun lalu. Perempuan eksekutif itu memilih menjadi ibu rumah tangga.
Alasannya sederhana: ia ingin menemani anak perempuannya yang masih di bangku SMP menghadapi persaingan yang keras di lingkungan 'kejam' Daechi-dong. Di kawasan paling makmur di distrik elit Gangnam, Seoul, itu bercokol sekolah bergengsi.
"Para ibu memberikan waktu dan uang untuk menyekolahkan anak ke universitas terkemuka, dimulai dari sekolah dasar," kata Park kepada Korea Herald, Sabtu (28/1) petang.
Persaingan memperebutkan sekolah berkualitas di Daechi-dong membuat orang tua tak bisa 'sambil lalu' mengasuh anak-anaknya. Atau anak Anda akan tersingkir.
Para orang tua Korsel menganggap Daechi-dong sebagai ujian keberhasilan mereka mendidik anak. Daechi-dong adalah rumah bagi ribuan sekolah swasta, atau hagwon terbaik, dengan guru terbaik pula.
Park berhenti karena 'rasa bersalah menjadi ibu yang bekerja'. Selama bertahun-tahun, ia berpikir tidak akan pernah menjadi salah satu dari 'ibu-ibu Daechi' yang membuang karir untuk anak-anak mereka.
Sekarang, Park menjadi ibu sepenuhnya, jadwalnya adalah jadwal anak-anaknya. Ia bangun pukul 06:30 untuk mengantar sekolah, lalu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.
Pada sore hari, Park menyiapkan makanan saat dua anaknya pulang. Lalu sekitar pukul 4 atau 5 sore, mengantar mereka les dan menjemputnya pukul 10 malam.
Menurut Park In-yeon, kepala sebuah akademi setempat, peluang anak-anak mendapat universitas ternama rendah tanpa pendampingan seorang ibu. Daechi adalah lingkungan yang gila pendidikan.
"Karena banyak ibu Daechi-dong adalah 'ibu helikopter' yang fokus pada pendidikan anak-anak mereka. Ibu helikopter cenderung memilih anak mereka daripada karir," In-yeon menjelaskan.
Ibu helikopter adalah istilah untuk ibu yang selalu sedia mengawasi pendidikan anak.
Oh Myeong-jin (42), ibu dari anak perempuan kelas tujuh dan 10, menempuh jalan yang sama tahun lalu. Perempuan karir itu memilih menemani kedua anaknya agar kelak mendapat perguruan tinggi berkualitas.
"Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan anak-anak sendirian. Jika seorang ibu tidak ada untuk anak-anaknya, siapa yang akan membantu mereka?” ujar Myeong-jin.
Ia menyadari ijazah universitas menentukan status sosial di Korea. "Untuk memberi anak-anak saya kesempatan memasuki lingkaran elit dan memiliki pekerjaan kerah putih --itulah yang diperjuangkan oleh para ibu di Daechi-dong," Myeong-jin menjelaskan.
Ada tiga perguruan tinggi incaran warga Gangnam, yakni Universitas Nasional Seoul, Universitas Korea, dan Universitas Yonsei.
"Ini adalah permainan menang atau kalah. Anda kalah jika anak-anak Anda gagal masuk tiga perguruan tinggi terbaik ini," Myeon-jin menandaskan.
Namun, Huh Chang-deog, profesor sosiologi di Universitas Yeungnam, menilai perempuan keluar dari pekerjaan untuk mendukung pendidikan anak sebagai kerugian sosial.
Sebelum menjadi ibu, seorang perempuan memiliki kehidupan sendiri sebagai wanita karir. "Apakah mengorbankan pekerjaan mereka untuk anak-anak merupakan keputusan yang bijak? Saya tidak berpikir begitu," kata Chang-deog.
“Anak-anak memiliki hidup mereka sendiri, begitu juga para ibu. Itu adalah dua hal yang berbeda," ia menegaskan.
- Source : www.publica-news.com