www.zejournal.mobi
Minggu, 22 Desember 2024

Kasus Ferdy Sambo Membuat Internal Polri Tidak Nyaman

Penulis : Publica News | Editor : Anty | Jumat, 16 September 2022 10:53

Mantan Ketua Komnas HAM 2009-2012 Ifdhal Kasim sejak Januari 2020 lalu menjadi salah satu dari 17 Staf Ahli Kapolri. Ifdhal juga pengacara yang punya firma hukum, dan pernah menjadi Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden.

Sebagai Staf Ahli Kapolri, pria kelahiran Tapak Tuan, Aceh, pada Januari 1962 ini, punya banyak informasi mengenai kasus mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo --yang diberhentikan dengan tidak hormat, menyusul tuduhan sebagai otak pembunuhan berencana terhadap mantan ajudannya Brigadir Polisi Nofriasnyah Yosua Hutabarat.

Kasus yang semula diskenariokan sebagai 'polisi tembak polisi' ini sempat alot karena dugaan adanya 'perang bintang', banyak cerita beredar melibatkan langsung atau tidak langsung pangkat bintang kepolisian.

Polri semula enggan mengungkapkan motif pembunuhan ala mafia ini --main tembak, nyaris tanpa alasan. Keseriusan Polri membuat terang-benderang sangat diuji dalam hal ini. Seberapa besar kasus Sambo ini mempengaruhi citra Polri?

Berikut petikan percakapan Edi Hartanto dan Mursidi Hartono dari Publicanews dengan alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu di kantor Publica Law Firm, diawali pekan lalu.


Kita bicara kasus Ferdy Sambo sekarang. Kami tahu Anda punya banyak informasi. Citra Polri sempat jatuh pada pekan-pekan awal kasus ini.
Memang itu sangat dirasakan ya. Sebelumnya, tingkat kepuasan publik yang dikeluarkan berbagai lembaga survei sangat tinggi di atas 60 persen. Kemudian, dengan munculnya kasus Sambo menimbulkan sikap publik kepada kepolisan berubah.

Tidak hanya publik sebenarnya, di internal Polri juga terjadi ada efek psikologis yang merasa tidak nyamanlah dengan kasus ini. Kita lihat dalam beberapa minggu setelah kasus ini mencuat, itu ada kehati-hatian di Polri. Kita lihat dari Kapolri, tim yang menangani ini. Apalagi kemudian muncul isu-isu yang mengaklerasi kasus ini yang membuat tingkat kepercayaan dari polisi juga terdampak secara psikologis.

Sempat muncul wacana di Komisi III DPR agar mereformasi ulang Polri. Institusi Polri tidak punya lembaga pengawas yang kredibel?
Memang kemudian isunya beralih dari pembunuhan ke isu reformasi kepolisian yang bermacam-macam, hingga ke soal di mana letak Polri ini dalam sistem ketatanegaraan kita. Ada beberapa pemikiran di situ ya. Pertama ingin kembali ke masa lalu, yaitu menempatkan Polri kembali di bawah TNI.

Kedua yang ingin menempatkan Polri di pemerintahan yaitu di bawah satu kementerian. Apakah Menteri Hukum dan HAM atau Kementerian Dalam Negeri. Ketiga, yang menginginkan Polri ini berada di bawah Jaksa Agung. Tapi, juga ada yang ingin tetap di bawah tanggung jawab Presiden.

Sebagai orang yang punya informasi, dari opsi-opsi tersebut mana yang menjadi arus utama di lingkungan Polri?
Nah, ini menguras energi juga karena diskusinya seperti bolak-balik, padahal ini diskusi yang sudah lama sekali tetapi tidak selesai-selesai. Ketika ada kasus kemudian dilarikan ke sini lagi. Padahal soal Sambo adalah kasuistik dan sudah ditangani, polisi tidak membiarkan meski dengan cost yang besar bagi polisi. Ya, itu harus dibayar Polri untuk melakukan reformasi polisi juga.

Penanganan kasus ini, yang dilakukan terbuka, itu juga punya implikasi pada proses-proses yang selama ini di Polri, misalnya tata ulang pengawasan internal dan eksternalnya hingga soal recruitment, penempatan-penempatan personel, mutasi-mutasi. Itu semua dalam satu sistem yang mungkin perlu dikoreksi setelah kasus ini.

Anda menyebut ongkosnya besar, seberapa besar?
Itu kita bisa lihat dengan berapa jenderal yang perlu diambil tindakan hukum, tidak sekadar etik. Dari bintang dua, bintang satu, perwira menangah, hingga tamtama yang total mendekati 100 orang. Itu kan jumlah besar sekali. Berapa Polri telah mengeluarkan anggaran untuk menjadikan mereka ini. Itu kan cost negara.

Jadi penegakan hukum untuk ini merupakan bagian dari upaya melakukan perombakan-perombakan kemudian, supaya kasus ini tidak terulang ke depan. Dengan demikian bisa melokalisir tidak terlalu besar sehingga tidak membawa ke isu ketatanegaraan lagi.

(Ifdhal enggan bercerita lebih jauh kasus Ferdy Sambo karena merasa bukan kapasitasnya sebagai Staf Ahli Kapolri. Ia mengingatkan soal koleganya Fahmi Alamsyah yang dianggap lancung. Kami menghargainya)

Apa yang salah dari reformasi pemisahan Polri dengan ABRI atau TNI?
Reformasi telah benar, yaitu menempatkan Polri sebagai sipil, tidak di bawah TNI. Kemudian organisasi hingga pelatihan menggunakan aturan kepolisian bukan lagi militer. Misalnya, tidak ada AKABRI lagi dengan unsur Polri. Materi pendidikan di Akpol, misalnya, sudah materi kepolisian berbeda di era sebelumnya, materi pendidikan separuh TNI dan Polri. Mereka di tingkat satu itu TNI dulu, baru kemudian diarahkan dalam jurusan.

Di sejumlah negara, kepolisian di bawah Kemendagri atau Kejaksaan. Anda setuju?
Saya kira itu beda ya, kita lihat sistem ketatanegaraannya dulu. Kebanyakan di negara yang meletakkan polisi di bawah kementerian biasanya dalam sistem parlementer. Memang karakterisitik dari suatu negara itu melahirkan dan menuntut sistem yang berbeda. Mungkin, kita ini meawarisi negara pos-kolonial terutama dalam sektor justice. Sistem hukum kita sebenarnya mengambil oper di zaman kolonial. Misalnya, Kejaksaan Agung dulu untuk mengadili pribumi sehingga jaksanya jaksa pemerintah. Polisi dan jaksa masuk dalam pangreh praja. Waktu kita merdeka itu diteruskan kelembagaan ini.

Polisi sewaktu bangsa Indonesia merdeka menjadi bagian dari pemerintah sesuai sistem presidensial. Perdana Menteri Syahrir kemudian mengubah kejaksaan sempat membawahi kepolisian. Setelah Orde Baru terjadi penataan yang paling jelas dan terpusat sehingga polisi disatukan dan di bawah ABRI.

Ketika kita reformasi dikembalikan lagi ke tentara sipil. Karena organisasi yang besar sehingga tak mungkin diletakkan di bawah koordinasi kementerian.

Memang tidak ideal, tetapi menurut saya lebih tepat di bawah presiden, sama dengan Kejaksaan Agung. Jika di bawah Kemenkumham atau Kemendagri akan sulit. Polri bekerja tidak hanya untuk pelayanan publik tetapi juga wilayah judisial. Polri diberi wewenang melakukan proses hukum, seperi menangkap hingga menahan. Akan bermasalah jika Polri di bawah Kemendagri, misalnya, bagaimana dengan Satpol PP?

Jadi diperlukan riset yang mendalam dan proses yang panjang. Jangan kemudian reaktif lalu kedudukan Polri diubah. Itu tidak menyelesaikan masalah.

Kasus Sambo mengungkap ketidakberdayaan polisi terhadap kejahatan yang dilakukan jenderal mereka. Polisi seperti bermain dengan dirinya sendiri, tidak ada yang mengawasi.
Memang yang dibutuhkan sebenarnya adalah pengawasan. Saya dulu terlibat dalam penyusunan UU Kepolisian dari pihak civil society, bagiamana penguatan oversight body. Itu lahirnya Kompolnas, sulitnya karena tidak diterima saat itu. Meski akhirnya diterima, tapi komprominya kan fungsi dan wewenangnya diperkecil sehingga Kompolnas tidak memiliki kewenangan oversight di tempat lain.

Memang dalam tubuh kepolisian ada pengawasan tetapi lebih bersifat internal, misalnya Irwasum, Propam. Diperlukan pengawasan di luar.

Banyak yang menyebut Kompolnas tak lebih layaknya lembaga stempel...
Tidak 100 persen efektif iya, tapi ada dampaknya. Tidak sepenuhnya buruk, tetapi membawa perubahan juga di kepolisian. Ada lembaga oversight yang melihat mereka. Mereka punya batas kewenangan tetapi polisi ada yang mengawasi dari luar.

Sebelum kasus Sambo, Kompolnas nyaris tak terdengar ya?
Ya, itu tadi karena ada kompromi, karena melahirkan Kompolnas itu sulit sekali waktu itu. Ketuanya ex-officio melibatkan ketiga kementerian, dan pelaksana dari unsur matan Polri hingga masyarakat. Kewenangannya tidak sampai melakukan pemeriksaan. Jika ada komplain masyarakat maka tidak bisa melakukan penyelidikan langsung.

Dalam kasus Ferdy Sambo, masyarakat lebih mendengar Komnas HAM ketimbang Kompolnas, bagaimana pendapat Anda
Karena itu tadi, tidak bisa seperti Komnas HAM. Itu karena organisasinya ada di kepolisian. Sebenarnya tidak masalah juga sepanjang orang-orang di situ bebas atau diberi kebebasan meski anggaran melekat di Polri. Sebagai lembaga oversight diberikan kewenangan dan otoritas juga diberikan sehingga lebih kuat. 


Berita Lainnya :


Anda mungkin tertarik :

Komentar

Kirim komentar anda dengan :



Tutup

Berlangganan Email

Dapatkan newsletter, kami kirimkan ke email anda

  


Keluar