Mengamati Fenomena Antrean Program Bantuan Pemerintah di Tengah Bulan Puasa
Belum lama ini, saya mendapat kesempatan menyaksikan dari dekat pembagian bantuan dari pemerintah bagi masyarakat dengan kriteria tertentu, yang sepaket dengan bantuan untuk pembelian minyak goreng, dengan total nominal bantuan senilai Rp. 500.000. Aturan yang dibuat kali ini agak berbeda, karena ditambah dengan syarat wajib sudah vaksin bagi penerima bantuan, kecuali bagi mereka yang memang secara medis tidak dapat menerima pemberian vaksin.
Kalau belum vaksin, disediakan pemberian vaksin secara langsung on the spot pada bagian lain aula kelurahan, yang dipakai sebagai pusat lokasi pembagian bantuan, dengan target masyarakat yang berasal dari berbagai desa yang ada di sekitarnya.
Satu hal yang menarik perhatian saya setiap kali ada kerumunan semacam ini adalah cara “panitia lokal” kegiatan mengelola antrean, dengan kebanyakan masyarakat penerima bantuan jika sekilas saya amati adalah kaum wanita, dengan kategori emak-emak dan lansia yang cukup banyak. Di sinilah penanganan antrean yang dibantu oleh pamong kelurahan setempat dan dibantu oleh pihak kepolisian menjadi menarik untuk dicermati.
Biasanya, dalam pengaturan antrean saat pembagian bantuan pemerintah seperti ini, dibuatlah antrean berbaris ke belakang, dengan jumlah kursi setiap baris sekitar 10 sampai 15 kursi. Selanjutnya, alur putaran pun ditentukan apakah searah atau berlawanan jarum jarum, setelah antrean paling kiri yang ada di barisan depan mulai dilayani.
Ada pula yang mengggunakan pola per baris, dimana sebelum antrean dalam barisan paling depan habis, maka barisan di belakangnya belum diperbolehkan untuk maju. Namun, dalam kenyataannya, mengatur pola semacam ini maupun pola yang sebelumnya saya sebutkan, juga tidak mudah.
Jumlah aparat atau panitia yang mengatur dan mengawasi barisan akan menentukan, ditambah dengan kejelian dan ketegasan dalam mengatur barisan. Kejelian dibutuhkan karena jika ada yang lengah sedikit saja, maka orang-orang yang sejak awal mencari kesempatan untuk menyerobot antrean dipastikan akan beraksi.
Itulah yang tadi saya amati beberapa kali terjadi, dimana ada orang-orang yang menggunakan kelengahan petugas untuk menyerobot antrean. Namun, meski saya kira mereka mengerti ada beberapa orang yang mencurangi antrean, tetapi terkadang mereka biarkan. Capek juga soalnya kalau kudu melototin satu per satu, di tengah kondisi mereka yang sedang berpuasa seperti sekarang. Mungkin petugas ini berpikir:
“Ya kalau cuma satu atau dua orang biarkan sajalah, asalkan yang lain masih bisa ditertibkan.”
Melihat kondisi ini, saya pun semakin yakin bahwa melatih dan membiasakan diri untuk tertib dalam mengantre merupakan bagian dari life skill yang perlu dilatih sedini mungkin. Anak-anak yang terbiasa tidak tertib sejak masa kecilnya, mungkin karena tidak terbiasa dididik dan dilatih, mustahil rasanya berharap akan tertib ketika dia menjadi semakin dewasa, bahkan sampai tua nantinya.
Sebaliknya, orang-orang yang secara usia sudah tua tetapi terlihat mudah diatur dan diarahkan, tetapi mereka tidak bisa tahan untuk memprotes atau mencegah orang yang sukar diatur untuk mengantre, besar kemungkinan orang-orang terbiasa dididik untuk mengantre. sejak kecil, baik yang berasal dari orangtuanya maupun ketika dia bersekolah atau bermasyarakat.
Kelompok yang terdidik dalam antrean ini, jauh lebih mudah mengatur diri sendiri tanpa perlu dipaksa atau harus diatur oleh banyak orang. Seandainya dalam kerumunan hanya ada satu petugas pun, rasanya tidak masalah. Asalkan “aturan main” dalam antrean bisa disampaikan dengan jelas sehingga mereka bisa memahami: “Oke, saya akan ikuti alur antrean itu.”
Berbicara soal budaya mengantre memang seperti tidak ada habisnya. Entah bagaimana, selalu saja ada orang-orang yang susah diatur, bahkan tidak punya rasa malu ketika dia menerobos antrean. Apalagi kalau misalnya sudah mengaku berasal dari golongan tertentu, atau merasa dirinya orang spesial sehingga tidak perlu mengantre, maka biasanya akan yang mencoba mengatur justru akan mengalami masalah kalau tidak membiarkan orang seperti ini agar bebas mengantre. Ya kan?
Akan tetapi, bagaimana pun keadaan kondisinya, tetaplah perlu kita membiasakan diri untuk tertiba dalam mengantre. Apalagi sampai hari ini kita masih kerap dihadapkan dengan proses mengantre ini, sekalipun dalam beberapa hal sudah mulai diberlakukan sistem agar mengurangi antrean, termasuk dalam pembagian program bantuan … tetapi jumlahnya masih belum signifikan.
Caranya, tentu pembiasaan ini dimulai dari diri sendiri, lalu mulai diajarkan oleh orangtua kepada anak-anaknya, dan diperkuat ketika anak-anak dididik di sekolah hingga perguruan tinggi. Jika pembiasaan ini dapat dilakukan, maka saya yakin dalam kurun waktu 10-20 tahun lagi, kita akan melihat budaya tertib mengantre di masyarakat yang rasanya akan jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaan hari ini.
- Source : seword.com