Kenaikan Harga BBM Mengerek Inflasi, Apa Upaya Terbaik Pemerintah?
KENAIKAN harga BBM atau bahan bakar minyak mendapat respons positif dari pasar, terbukti IHSG dan nilai tukar IDR terhadap USD menguat dalam beberapa pekan. Meski saat ini nilai rupiah melemah, bukan berarti karena dampak langsung dari kenaikan BBM. Kekhawatiran berlebihan Presiden Joko Widodo bahwa kebijakan memangkas subsidi energi dalam upaya menyelamatkan keuangan negara bakal mengganggu stabilitas politik dan ekonomi nasional tidak terbukti. Yang muncul hanyalah ketidakpuasan beberapa kelompok masyarakat terhadap kebijakan pemerintah tersebut yang khawatir berdampak pada meningkatnya harga barang-barang dan jasa yang membuat penghasilan mereka tergerus oleh inflasi.
Ketidakpuasan beberapa kelompok masyarakat tersebut ditunggangi oleh kepentingan politik para elite sehingga mereka mudah disulut untuk digerakkan melakukan unjuk rasa dan meneriakkan berbagai tuntutan kepada pemerintah diiringi caci-maki yang menyerang pribadi Presiden Jokowi serta menuntutnya untuk mundur.
Seperti biasa, Jokowi tetap tenang dan tidak merespons secara berlebihan gelombang unjuk rasa yang dilakukan beberapa kelompok masyarakat di berbagai daerah tersebut. Kita semua sangat yakin gelombang unjuk rasa tersebut hanya bersifat sporadis bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan, yang akan berhenti bertumbuh dengan sendirinya ketika musim panas tiba.
Terlepas dari itu, yang lebih penting dilakukan Pemerintah adalah mengendalikan tingkat inflasinya, seiring juga dengan mengurangi dampaknya terhadap penurunan daya beli masyarakat. Menurut para pakar kenaikan BBM dimaksud akan mengerek inflasi mencapai 6-7 persen, dan berpotensi menurunkan tingkat konsumsi masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Menjaga tingkat konsumsi masyarakat memiliki arti yang sangat penting untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi. Karena konsumsi masyarakat memiliki kontribusi 56-60 persen terhadap Produk Domestik Bruto. Untuk menyiasati tidak turunnya daya beli, Pemerintah menambah anggaran bantuan sosial (bansos) sebesar Rp. 24,17 triliun sebagai bantalan pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Bansos itu dialokasikan untuk bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), dan bantuan untuk angkutan umum.
Belajar dari pengalaman pada 2005, tingkat inflasi kala itu mencapai 17,11 persen lantaran pemerintah melakukan kenaikan harga BBM sebanyak dua kali di bulan Maret dan Oktober. Dimana bensin naik sebesar 32,6 persen dan solar sebesar 27,3 persen pada Maret 2005. kemudian, pada Oktober 2005, pemerintah kembali menaikkan harga bensin sebesar 87,5 persen dan solar sebesar 104,8 persen.
Terakhir, Pemerintahan SBY juga menaikkan harga BBM pada Juni 2013 dimana bensin premium yang sebelumnya Rp 4.500 per liter naik menjadi Rp 6.500, atau naik sebesar 44,44 persen. Sedangkan solar yang semula Rp 4.500 per liter dinaikkan menjadi Rp 5.500, atau naik sebesar 22,22 persen. Naiknya harga BBM saat itu membuat tingkat inflasi mencapai 8,38 persen.
Secara historis, tingkat dan volatilitas inflasi di Indonesia periode 2005 - 2014, yaitu di masa Pemerintahan SBY memiliki inflasi rata-rata tahunan sebesar 8,5 persen. Sedangkan pada periode 2015 - 2021 inflasi rata-rata tahunan hanya sebesar 3,5 persen, atau sejak Pemerintahan Presiden Jokowi Indonesia memasuki era baru tingkat inflasi rendah. Oleh karena itu pemerintah optimis tingkat inflasi akan tetap berada pada kisaran 3-4 persen sampai akhir masa jabatan. Optimisme yang berlebihan ini barangkali yang menjadi dasar pemerintah bersama BI mentargetkan tingkat inflasi selama 3 tahun ke depan sebesar 3, 3 dan 2,5 persen pada 2024 dengan plus-minus 1 persen. Itulah mengapa, asumsi makro dalam menyusun APBN 2022 dan juga RAPBN 2023 pemerintah mentargetkan angka inflasi sebesar 3 persen, walau Menteri Keuangan untuk tahun ini sudah merevisinya menjadi 4,5 persen.
Pertanyaan kemudian muncul, mampukah Pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia mewujudkan inflasi tahunan sesuai dengan asumsi makro yang ditetapkan tersebut? Dan strategi apa yang akan digunakan jika ternyata kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang baru lalu mengerek inflasi di atas 4 persen?
Memasuki tahun 2022, Indonesia mengalami tekanan inflasi yang cukup tinggi dibandingkan 7 tahun terakhir selama pemerintahan Jokowi. Tekanan inflasi ini antara lain disebabkan karena kegiatan ekonomi yang baru mulai menggeliat seiring dengan meredanya pandemi Covid-19 yang kemudian terpukul oleh dampak perang Rusia vs Ukraina yang menyebabkan harga pangan dan energi global melambung tinggi. Angka inflasi tahunan tertinggi terjadi pada bulan Juli sebesar 4,94 persen atau meningkat dari bulan sebelumnya yang masih bertengger di angka 3,55 persen. Namun pada bulan berikutnya mengalami sedikit penurunan dengan tingkat inflasi sebesar 4,65 persen (y to y). Inflasi tertinggi terjadi pada kelompok makanan jadi, minuman, dan tembakau serta bahan pangan yang bersifat volatile. Bahkan menurut BPS inflasi di sektor pangan ini dikatakan anomali karena lebih tinggi dari tingkat inflasi sektor pangan sebelum-sebelumnya.
Inflasi tahunan bulan Juni - Agustus tersebut belum terdampak kenaikan harga BBM di dalam negeri yang baru ditetapkan pemerintah pada 3 September yang lalu. Padahal, mulai dari sektor produksi, logistik dan distribusinya sampai ke pedagang pengecer semuanya membutuhkan BBM. Sehingga kenaikan harga BBM sangat berpengaruh pada harga barang dan jasa, baik bahan baku, bahan penolong, maupun barang setengah jadi dan barang jadi. Bahkan kemudian, tidak tertutup kemungkinan timbul tuntutan dari para buruh untuk mendapat kenaikan upah, dan juga pemilik barang-barang modal akan menaikkan biaya sewa atas penggunaan aset-asetnya.
Secara umum inflasi dapat terjadi karena adanya tarikan permintaan (demand pull inflation); tekanan dari sisi penawaran yang lazim terjadi karena kenaikan biaya produksi (cost push inflation); dan dapat juga terjadi dari kedua sisi, baik permintaan maupun penawaran (demand and supply side inflation) biasanya berupa ekspektasi produsen dan konsumen terhadap tingkat inflasi yang terjadi terkait kebijakan pemerintah ataupun shock pada volatile foods.
Inflasi yang sekarang terjadi berupa kombinasi kenaikan biaya-biaya produksi akibat naiknya harga BBM, juga karena dampak inflasi global yang menurut IMF akan mencapai rata-rata 7,6 persen sampai akhir tahun 2022. Tekanan inflasi di Amerika yang mencapai 9,1 persen telah memaksa the FED menaikkan suku bunga acuannya dari 3 persen pada awal tahun dan diperkirakan mencapai 4,4 persen sampai akhir tahun 2022.
Tak ayal, untuk menjaga stabilitas mata uang rupiah yang menjadi fungsi tunggal Bank Indonesia karena dampak terjadinya capital outflow, Bank Indonesia (BI) terpaksa menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali sebesar 25 dan disusul 50 basis poin dalam sebulan terakhir. Kebijakan moneter yang diambil BI di satu sisi diharapkan mampu mengerem merosotnya nilai tukar IDR terhadap USD, tapi di sisi lain berdampak pada semakin mahalnya cost of money.
Akibat yang ditimbulkan karena dampak kenaikan harga BBM dapat berupa: kenaikan upah; bahan baku/bahan penolong; biaya modal (cost of money); biaya sewa properti maupun peralatan dan mesin; biaya logistik termasuk distribusinya serta biaya-biaya produksi lainnya.
Sudah barang tentu upaya Pemerintah yang terbaik untuk mengendalikan tingkat inflasi adalah disesuaikan dengan faktor-faktor penyebabnya. Jangan sampai terjadi salah minum obat. Berbeda dengan cara mengatasi inflasi yang berasal dari tarikan permintaan yang pada umumnya diakibatkan dari banyaknya jumlah uang yang beredar dibandingkan jumlah arus barang dan jasa yang terekspose di pasar, maka kebijakan BI yang menaikkan suku bunga acuan menyusul dinaikkannya giro wajib minimum (GWM) perbankan dapat dikatakan kurang tepat sasaran. Begitu juga dengan menyebarkan helicopter money seperti yang dilakukan pemerintah pada tahun 2020 dan 2021 juga tidak akan memperbaiki kondisi perekonomian. Satu dan lain, setiap kebijakan fiskal dan moneter harus tetap menjaga keseimbangan sisi demand dan supply.
Apa yang dilakukan Presiden Jokowi pada 12 September yang baru lalu dengan mengajak para Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia bergotongroyong secara bersama-sama seperti saat mengendalikan pandemi Covid-19 sudah sangat tepat. Dimana presiden mengajak agar Kepala-kepala Daerah menjaga ketersediaan bahan pangan --kalau perlu melakukan operasi pasar, agar harga pangan tetap terjaga karena harga pangan khususnya beras memiliki bobot besar dalam membentuk tingkat inflasi. Disamping menggunakan DAU sesuai petunjuk Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri untuk memberikan subsidi angkutan umum.
Menjaga ketersediaan pasokan bahan pangan khususnya beras serta menjaga stabilitas harganya memang perlu, tapi itu belum cukup. Pemerintah hendaknya mampu mengendalikan biaya produksi barang-barang kebutuhan pokok khususnya industri pangan untuk mencegah melambungnya harga-harga di pasar.
Untuk itu, pemerintah harus bekerja keras agar mampu: (1) mengendalikan tingkat upah pekerja; (2) menjaga ketersediaan bahan baku dan barang modal industri baik komponen lokal maupun impor dengan harga yang terkendali; (3) menjaga nilai kurs IDR terhadap USD serta CNY dan JPY tetap stabil agar harga bahan baku dan barang modal impor tetap terkendali; (4) menekan biaya logistik dan distribusi dengan menindak tegas pelaku pungutan liar baik saat dalam perjalanan maupun saat bongkar-muat barang dari/ke gudang; (5) menekan biaya modal dengan tingkat suku bunga acuan BI yang tetap rendah dan atau memberikan subsidi bunga kepada UMKM; (6) memberikan insentif pajak atas sewa properti serta peralatan dan mesin dan lain-lain.
- Source : www.publica-news.com