DKI Nusantara 2024 : Ganti System, Ganti Presiden
Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan Ibukota Negara yang baru bernama Nusantara. Seperti biasa kita lantas mendadak posesif, menggabungkan beberapa ilmu "cucoklogi" dengan berbagai asumsi identitas. Meski sempat heboh mewarnai atmosfer dunia Maya, akhirnya bisa diterima dengan status WTP (Wajar Tapi Penasaran), bukan Wajar Tanpa Perkecualian.
IKN Nusantara yang pada gilirannya akan menjadi daerah otorita khusus, bukan serupa provinsi atau kotamadya. Sebuah Kota administratif menjadi khusus karena dimungkinkan tidak ada pembagian wilayah berupa kecamatan, kelurahan atau RT-RW seperti di DKI Jakarta. Untuk lebih mudah menyebutnya kita namakan saja (sementara) DKI Nusantara yang dipimpin oleh Kepala Otorita.
DKI Nusantara akan selalu belajar dari beberapa kelemahan dan kekurangan di DKI Jakarta sebagai ibukota sebelumnya. Kota Jakarta yang seolah mensejajarkan potensi dan sumberdayanya dengan negara. Kesuksesan pembangunan Jakarta menjadi tolak ukur perkembangan negara. Jebloknya Jakarta jadi catatan buruknya negara juga. Standarisasi Jakarta menjadi rujukan kelayakan Indonesia. Gaduhnya Jakarta dengan Gubernurnya seolah mewakili situasi se-Indonesia. Itulah resiko kota yang menjadi Ibukota bercampur aduk dengan urusan bisnis. Kendali ekonomi bersatu dengan kepentingan mengendalikan bisnis, bersatunya sistem kekuasaan dengan bisnis yang menggurita di dalam satu kota.
Apa nggak lucu gegara bisnis entertainment balapan formula 44 sampai melibatkan kekuasaan, Gubernurnya dan tim soraknya terancam masuk bui karena gelaran hiburan yang "kebetulan" ide lokasinya di Ibukota. Event olahraga Asean Games 2018 lalu sukses karena dikelola oleh para pelaku bisnis dan olah raga yang sesungguhnya. Gubernur dan Presiden tinggal duduk manis menjadi tamu undangan
Di DKI Nusantara syndrome seperti itu kemungkinan besar tinggal kenangan. Kepala otoritanya hanya fokus menjadi tuan rumah bagi segenap kepentingan nasional, bukan berbisnis untuk gambling berinvestasi menambah APBD-nya. Warga DKI Nusantara nantinya sebagian besar dihuni para pendatang dari berbagai daerah yang berkumpul di satu kota untuk melayani kepentingan nasional. Bukan para pengadu nasib meninggalkan desa sekedar mencari peruntungan masa depan.
Fenomena urbanisasi sebagai calon kota besar menjadikan DKI Nusantara lebih cenderung menjadi transmigrasi. Perpindahan SDM dari satu kota tempat ke kota lain, bukan arus perpindahan dari desa ke kota. Bagi yang tidak memiliki kepentingan tugas negara akan sulit untuk mendapat ijin tinggal di DKI Nusantara.
Semua akan tertata pada waktunya, meski butuh waktu untuk menciptakan sebuah sebuah budaya keteraturan baru. Bisnis dan pemerintahan menjadi dua hal yang berbeda namun mustahil dipisahkan. Melokalisir pusat pemerintahan ke DKI Nusantara secara perlahan akan merubah peta bisnis. Pusat bisnis menjadi tidak melulu berpusat di Jakarta, tiap daerah bisa saling bersaing sesuai potensinya masing-masing.
Bukit Algoritma yang sedang dibangun akan menyulap kota Sukabumi menjadi Silicon Valley-nya Indonesia. Tempat berkumpulnya industri berbasis teknologi IT. Kawasan Danau Toba yang sedang digarap investor suatu saat akan jadi "Dubai-nya" Indonesia. Satu lagi yang sedang dalam rancangan desain, Pulau Bali akan menjadi "Singapore-nya" Indonesia, tempat berkumpulnya perusahaan jasa Internasional dalam satu kota. Mengendalikan transaksi keuangan dari banyak negara dari satu kota. Capek berbisnis Sabtu Minggu tinggal plesiran 1 jam perjalanan ke tempat wisata paling eksotik di dunia
Banyak hal yang bisa dilakukan setelah Ibukota negara tidak lagi di Jakarta. Kota yang ditangan gubernur terakhirnya penuh dengan sumpah serapah dari mulut 200 juta penduduk Indonesia. Kekecewaan nasional kepada Gubernur yang sudah terlanjur percaya diri menebar aroma menjadi calon Presiden. Borok Gubernur yang seolah dilimpahkan kepada Presiden hanya gegara berada dalam satu kota. Banjir Ibukota dilimpahkan tanggungjawabnya ke pusat hanya karena negara "numpang" berkantor di Jakarta. Menyamakan sumur resapan serupa serapan tidak jauh-jauh dari urusan anggaran.
Menjadikan DKI Nusantara steril dari kepentingan bisnis tetap butuh proses, tetapi minimalnya sudah terpisah persenyawaannya secara fisik, itu sudah mulai dilakukan. DKI Nusantara akan didominasi generasi pelayan nasional yang muda-muda, fresh graduate, dan yang pasti tidak gaptek dengan laju peradaban. 34 institusi kementrian yang ada sekarang mulai menyeleksi kandidat-kandidat nya, mengisi kantor-kantor pelayanan pemerintahan berbasis IT. Para ASN yang paham online, bukan sekedar sibuk berstatus online.
Pemerintahan Jokowi sedang membangun sistem baru, sesuai tuntutan para oposan : Ganti System, Ganti Presiden. Dan itu terjadi di DKI Nusantara, di 2024. Tuntutan mustahil oposan dituruti. Kurang baik apa lagi yang kalian dustakan??
- Source : seword.com