Menguak Kejanggalan Tuntutan Mati Terdakwa Kasus Asabri!
Meski kerugian negara di kasus Asabri dinilai lebih besar dibanding Jiwasraya, harus diakui kalau beritanya tak seheboh Jiwasraya. Mungkin karena publik sudah bosan mendengar korupsi di jasa asuransi pemerintah. Atau bisa jadi tak terdengar banyak nama besar di Asabri seperti halnya di Jiwasraya yang menyengkut nama Bakrie, watimpres hingga menteri BUMN. Masalahnya apakah benar kalau jaksa sudah berjalan di jalur yang tepat dan patut dianggap pahlawan? Bandingkan dengan tuntutan hukuman pada direksi Jiwasraya dan Asabri, koruptor Djoko Tjandra hingga Pinangki.
Jangan sampai karena yang bersangkutan tak memiliki koneksi hingga diberi tuntutan paling berat. Sedang mereka yang erat dengan penegak hukum malah vonisnya disunat habis. Padahal menurut pakar hukum sekaligus guru besar Universitas Airlangga (UNAIR), Nur Basuki Minarno, tuntutan ke Heru Hidayat justru tidak tepat. Tuduhan mengulangi perbuatan korupsi tidak bisa dijadikan acuan lantaran kasus Jiwasraya dan Asabri terjadi bersamaan. Kecuali kalau setelah Jiwasraya selesai dibuat pailit lalu beralih pada Asabri.
Lagipula direksi dan penyelenggara negara hanya dituntut seumur hidup di kasus Jiwasraya dan dituntut sepuluh tahun di kasus Asabri. Padahal tanggung jawab perusahaan negara justru ada pada direksi ini, bukannya pihak swasta. Kalau Heru Hidayat dituntut mati, maka semua direksi yang terlibat harus diberi tuntutan yang sama. Ini baru jaksa bisa dianggap pahlawan. Juga harus ditekankan bahwa pasal yang digunakan harus sesuai dan tidak ngawur seperti yang disangkakan pada Heru Hidayat.
Kejanggalan tuntutan jaksa pada Heru Hidayat dibanding tuntutan persekongkolan antara Djoko Tjandra dan Pinangki memang patut dipertanyakan. Saat ada kasus yang membelit penegak hukum, kenapa tuntutannya hanya 4 tahun dengan berbagai alasan. Sedang pihak swasta yang notabene tak berhubungan dengan marwah negara justru dituntut maksimal. Benar apa kata orang kalau Benny dan lainnya hanya tumbal kasus Jiwasraya dan Asabri. Bisa jadi jaksa memberi tuntutan mengerikan agar bobrok mereka dikasus Pinangki dan lainnya tenggelam, atau hanya pencitraan saja.
Kita lihat masyarakat bersorak memberikan dukungan pada jaksa saat ini. Padahal sebelumnya lembaga anti korupsi seperti MAKI, ICW mengkritik habis kejaksaan di kasus Djoko Tjandra dan Pinangki. Kini hukuman korupsi bansos eks menteri Juliari ikut dipertanyakan netizen lantaran janji ketua KPK yang dulu mengatakan akan menerapkan hukuman mati pada koruptor tak terealisasi. Karena namanya korupsi sejatinya sama saja, mau nominal besar atau kecil sama-sama merugikan. Mau korbannya militer atau sipil, yang jelas menyengsarakan banyak pihak.
Justru perlakuan semena-mena dan kejam pada pihak swasta, sementara menutupi borok penyelenggara negara membuat jatuh marwah bangsa ini di hadapan hukum. Istilahnya hukuman ini terkesan dipaksakan dan tebang pilih. Kalau dirasa yang bersangkutan tak memiliki kedekatan dengan pemerintah atau berasal dari institusi negara, maka seenaknya saja tuntutan dijatuhkan. Para penegak hukum dengan mental dan karakter seperti ini yang harusnya direvolusi.
Bukannya Jokowi sendiri selalu menekankan pentingnya menjaga nama baik di depan investor. Kalau model perlakuan terhadap investor swasta semacam ini, apa tidak berdampak buruk bagi iklim investasi. Kalaupun ada korupsi yang dilakukan karena penurunan saham. Bukankah yang paling bersalah adalah direksi dan manajemen perusahaan yang diberi amanah mengelolah keuangan nasabah? Bukannya kontrak investasi didasarkan pada perjanjian kedua belah pihak? Tak ada penipuan di sana, kecuali mereka tahu akan bermasalah dan memilih menerima suap dengan artian membiarkan begitu saja.
Kalau memang mental koruptor dimiliki oleh penyelenggara negara termasuk direksi, kenapa tak sekalian menjual perusahaan pada swasta? Bukankah penyelematan aset justru membuat negara kembali tekor dan merugi dua kali. Apalagi heboh sita-sitaan aset juga belum jelas uangnya ada atau tidak. Inilah makanya DPR yang digawangi Arteria Dahlan menyemprot habis kejaksaan waktu itu. Menyuruh kejaksaan tak jadi pengecut karena tak berani memanggil Bakrie dan hanya jago menindak pihak swasta.
Justru tuntutan memberatkan pada pihak swasta, sementara memberi tuntutan ringan pada direksi mengesankan kalau hukum masih lemah di hadapan para pejabat. Kalau sudah tahu begini sebaiknya lelang saja semua perusahaan negara ke swasta dengan kepemilikan saham terbesar masih milik bangsa. Ketimbang menjadi direksi dan manajemen korup yang akhirnya menumbalkan pihak swasta dan membuat negara menanggung kerugian. Lucunya jaksa yang selalu ngawur dalam memberi tuntutan, tiba-tiba ingin dianggap pahlawan lantaran tuntutan ugal-ugalan pada investor swasta.
Referensi:
- Source : seword.com